Seorang ibu muda dengan baju kebesarannya tengah sibuk mencuci piring, sesekali lengannya menyeka cipratan air yang mengenai wajah.
Tak jauh dari sang ibu, Maylin duduk di lantai dengan selonjoran. Wajahnya basah, sesenggukan dan merengek.
"Ma, jajan ...." Gerak tangan ibu yang memutar spons penuh sabun di piring berhenti, menoleh pada Maylin.
"Enggak, May! Nilai kamu nol lagi hari ini!"
Maylin tersentak, meremas ujung kaosnya dengan gemas. Gadis kecil tujuh tahun itu menekuk wajah kian dalam.
Tanpa dia tahu, sang ibu meraba saku daster lusuhnya dengan tangan basah. Sial. Tak ada satu pun koin yang bersarang di sana."Mama pelit!" Maylin berdiri, mengentakkan kaki, lalu berlari keluar rumah dengan mata sembap.
Sang ibu hanya mampu menatap punggung putri kecilnya dengan nelangsa. Bukan ia tega, tapi perekonomian keluarga memang sedang pailit. Perihal ketegasan nilai Maylin hanya dalih untuk melarang anaknya jajan. Sungguh, hatinya hancur tiap air mata Maylin jatuh.
Punggung Maylin kian mengecil dan menghilang dari pandangan. Tanpa gadis kecil itu tahu, bahwa diam-diam sang ibu menghapus embun yang hadir di ujung mata. Bahwa hujan deras dan gemuruh sudah lama di dalam dada hingga napas seketika sesak, lalu isak tak dapat ditolak.
Maylin masih terlalu kecil untuk tahu bahwa dalam beberapa minggu terakhir, sang ayah pulang dengan tangan hampa. Bahwa periuk sudah jomplang, sebab bulir beras tak ada lagi yang bersemayam.
Sebagai seorang ibu hanya bisa membalut kekurangan dengan ketegasan, agar sang anak juga sama-sama berjuang untuk memperbaiki keadaan.
***
Bel istirahat berbunyi, siswa kelas satu berebut keluar menuju kantin sekolah. Mengerubungi Kang Cilok, atau penjual permen kapas, tapi Maylin hanya bisa menatap teman-temannya lalu lalang dan menyantap jajan.
Jemari mungilnya perlahan meraba saku rok merah. Mendapati satu benda sebesar genggaman tangan yang ibu masukkan sebagai pengganti uang saku. Maylin mengeluarkan ubi itu, menggigit ujungnya. Dia mengunyah dengan malu-malu, takut jika kawannya mengetahui bekal yang tak biasa.
Sebenarnya, dia sangat ingin mencecap manis permen kenyal bersalut gula, atau es rasa mangga. Namun, lagi-lagi dia hanya bisa menelan ubi yang terasa seret di tenggorokan.
Pulang sekolah, gadis kecil itu menyusuri jalan sendirian. Hidupnya kesepian, tak ada kawan, sebab tak punya gundu di genggaman.
Langkahnya terhenti saat merasa menginjak sesuatu yang barusan menggelinding. Dia mendongak, mendapati Ryan--teman sekelasnya--tengah memegangi bungkus permen yupi yang kosong.
Maylin sadar, yang dia injak adalah permen yupi milik Ryan. Buru-buru dia mengangkat kakinya, tapi Ryan pergi begitu saja. Tak peduli pada benda kenyal berbentuk hati merah jambu.
Maylin mengedarkan pandang. Hanya dia yang berdiri di jalan dekat lahan kosong. Perlahan ia membungkuk, memungut permen yang sudah gepeng, bersalut gula dan ... debu.
Gadis kecil berkucir kuda itu kemudian berlari, dengan permen yupi di genggaman. Perasaannya membuncah, harapan untuk mencecap manisnya permen akan segera jadi kenyataan.
Maylin masuk rumah dengan tergesa, langsung menuju keran air di belakang.
"May, kamu ngapain?" tanya sang ibu dengan heran.
"Lihat, Ma! Aku nemu permen yupi!" Maylin menunjukan permen yang sudah ia cuci, meski debu belum sepenuhnya pergi.
"May it--" Ucapan ibu terhenti saat gerakan tangan Maylin dengan cepat memasukkan permen ke dalam mulut. Mata sipitnya kian tenggelam saat mulutnya dengan riang menikmati permen yang bersarang.
Ibu Maylin menghela napas panjang untuk mengurai sesak yang kembali menghimpit. Ingin sekali menyuruh sang anak mengeluarkan permen--yang mungkin sudah terkontaminasi bakteri--dari mulut mungilnya, tapi ... melihat wajah itu tersenyum membuatnya ... serba salah.
"Enak, Ma," kata Maylin dengan riang. "Semoga besok Ryan jatuhin permennya lagi."
Kalimat itu, menohok hati seorang ibu yang merasa gagal, hingga doa yang keluar dari bibir sang anak adalah sesuatu hal sederhana yang ... hina?
Sekadar permen yupi, yang harganya tak lebih dari lima ratus perak saja dia tak mampu membeli untuk sang putri. Himpitan ekonomi, seolah membuatnya menjadi ibu tak punya hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PAILIT (Sudah Terbit)
Genel KurguMaylin, gadis kecil bermata sipit hanya mempunyai tangan sang ayah sebagi pegangan untuk menapaki jalan terjal berliku. Dia tertatih-tatih memunguti satu per satu tawa yang pernah tenggelam di kubangan luka.