"Ma, kok, buburnya nggak pake ayam?" tanya Maylin saat sang ibu menyodorkan semangkuk bubur bertabur daun bawang.
Wanita muda itu hanya terdiam, menggigit ujung lidahnya sendiri. Menelan getir.
"May, ayamnya lepas waktu mau ditangkap," ujar ayah Maylin dengan suara riang yang sangat dipaksakan.
"Memangnya ayam siapa, Pa? Kan Mama nggak punya ayam."
"Ayam tetangga," jawab sang ayah seraya melirik wanita muda yang berdiri di dekat anaknya. "Udah, ayo sarapan."
Maylin terkikik geli mendengar jawaban ayahnya, lalu melirik sang ibu yang tak kunjung bersuara.
Gadis kecil itu tidak tahu, bagaimana wanita itu semalam tak bisa tidur dengan nyenyak, karena berpikir keras bagaimana caranya agar setengah gelas beras yang tersisa bisa menjadi menu sarapan bertiga.
Jangankan suwiran ayam, sekadar kerupuk saja tak ada. Sungguh, setengah hati wanita muda itu menghidangkan bubur yang terlampau encer untuk orang-orang terkasih.
Selesai sarapan, Maylin segera bergegas berangkat sekolah. Bocah itu sudah biasa pulang pergi sendiri, mandiri di usianya yang masih tujuh tahun.
"Bang, beras kita habis," kata Nadia saat sang suami sudah berada di ambang pintu depan.
Langkah lelaki itu terhenti, kemudian berbalik dan mendapati manik sang istri yang sebak. Mungkin sebentar lagi, hujan akan turun di pagi yang cerah.
"Aku malu kalau harus ngutang lagi, Bang." Nadia memalingkan wajah, menggigit bibir bawah kuat-kuat.
Jika Nadia berpikir kalau sang suami tidak tahu perihal periuk yang jomplang, maka ia salah besar. Diam-diam, lelaki itu menilik persediaan pangan, dan juga merasakan kegelisahan wanita di sampingnya sewaktu merebah semalam.
Dion mengembuskan napas. "Abang usahain pulang bawa duit, Dik," ujarnya pelan. Tangan kokoh itu terulur, menghapus embun yang baru saja jatuh di pipi sang istri. "Doain abang, ya."
Nadia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Pikirannya kalut, membayangkan apa yang akan ia persembahkan kepada putri semata wayang saat makan siang.
***
Cakrawala bagian barat kian menjingga, tapi ayah Maylin tak kunjung tiba. Membuat Nadia menunggu dengan perasaan was-was. Apakah sang suami akan pulang membawa rezeki?
Ribuan detik berlalu, sayup-sayup terdengar suara serak nan berat mengucap salam dari pintu depan. Wanita itu segera beranjak dan menyambut suaminya yang kelihatan kuyu, lelah dan ....
"Maaf, Dik." Lelaki itu berkata lirih begitu pandangannya beradu dengan netra sang istri.
Tanpa harus berkata lagi, Nadia tahu bahwa suaminya pulang dengan tangan hampa. Setitik asa yang sedari pagi ia lambungkan, perlahan pecah dan berserakan.
Padahal, Maylin sudah merengek kelaparan. Siang tadi, hanya jagung bakar pemberian Wak Darsih yang digunakan sebagai pengganjal perut. Lalu, apa yang akan mereka santap malam ini?
Andai hanya perutnya saja yang harus diisi, wanita itu akan tahan berpuasa. Namun, bagaimana dengan putri kecilnya?
"Dik, ab--" Lelaki bertubuh tegap itu memangkas jarak.
"Bang." Nadia cepat-cepat memotong kalimat lelaki itu. Dia mengangkat tangan kirinya. "Cincin ini ... kita jual aja, Bang ...."
Bulir bening lolos dari netra sebening telaga yang kini beriak. Bahunya bergetar, jiwanya terguncang dengan kata-katanya sendiri. Namun, dia tak punya pilihan lagi selain menjual cincin pernikahan yang sudah delapan tahun melingkar di jari manisnya.
"Dik ...."
"Maylin kelaparan, Bang."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PAILIT (Sudah Terbit)
General FictionMaylin, gadis kecil bermata sipit hanya mempunyai tangan sang ayah sebagi pegangan untuk menapaki jalan terjal berliku. Dia tertatih-tatih memunguti satu per satu tawa yang pernah tenggelam di kubangan luka.