#PAILIT
#Part_5Dion menyelimuti tubuh putrinya yang tengah meringkuk di kasur tipis. Sejenak, gerakan tangan lelaki itu terhenti kala netra menangkap lebam pada kaki mungil di depannya. Ditatapnya lekat-lekat, dan ... ia merasa ada yang tak beres. Pasalnya, Maylin pasti akan bercerita jika ia terjatuh atau terluka saat bermain, dan sore tadi wajahnya kuyu dengan sorot mata ketakutan.
Dikecupnya kening sang malaikat kecil dengan sayang, sebelum akhirnya masuk kamarnya sendiri untuk menghampiri sang istri yang sudah berbaring membelakangi.
“Dik ....” Dion menyentuh pundak Nadia dengan pelan, takut jika ternyata wanita itu sudah tertidur.
Dion mengembuskan napas berat, lalu merebahkan diri di samping istrinya.
“Maylin kenapa, Dik?” Dion masih mencoba bertanya, dia yakin raga di dekatnya masih terjaga meski tak merespon. “Apa kamu melukainya lagi?”
Perlahan Dion merasakan pergerakan dari Nadia. Wanita itu berbalik, menatap tajam dalam diam.
“Tidak bisakah kita lebih lembut padanya?” Lelaki yang mengenakan kaus biru itu membalas tatapan sang istri dengan lembut. “Kasihan dia, Dik.”
Hening. Terdengar detak jarum jam beradu dengan embusan napas Nadia, sebelum akhirnya bersuara dengan sedikit bergetar, “Aku pun kasihan, Bang. Tidak tega rasanya jika Maylin masih saja tertinggal di kelasnya.”
“Tapi bukan begitu caranya, Dik.”
“Lalu? Apa Abang punya cara agar dia bisa mengejar teman-temannya? Apa kita punya uang untuk bimbel? Dan aku satu-satunya orang yang disalahkan di sini?” Suara Nadia pelan, tapi penuh penekanan. Sekuat tenaga ia tahan emosinya agar tak meledak di keheningan malam.
“Abang tidak menyalahkanmu, hanya saja tidak setuju jika kamu mendidiknya terlalu keras. Mentalnya bisa terganggu, Dik.”
“Kalau begitu, urus saja sendiri, Bang! Aku capek!” Nadia lantas berbalik, memunggungi suaminya yang masih ingin melanjutkan bicara. Bagaimanapun, ini adalah hal serius yang harus diselesaikan segera. Namun, jika Nadia sudah begini, Dion bisa apa? Bukan ia tak bisa tegas, tapi berdebat dengan sang istri sama dengan menabuh genderang perang.
Lelaki dengan kumis tipis itu teramat lelah jika harus bertengkar dengan permaisurinya. Maka yang ia lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari nafkah. Barangkali, jika ekonomi kian membaik perangai Nadia kembali seperti sedia kala.
***
Hari silih berganti, berkali-kali lebam di tubuh Maylin tak kunjung hilang, membuat sang ayah menjadi geram. Terlebih saat dengan mata kepala sendiri dia mendapati Nadia tengah memukul Maylin dengan gagang sapu. Amarah yang sedari kemarin ia simpan, kini tak bisa lagi ia bendung.
Tanpa suara, Dion segera merebut sapu yang berada di tangan Nadia dan melemparnya sembarang. Diraihnya tubuh sang putri yang terduduk di lantai dengan air mata berderai. “Tenang, Sayang, ada papa,” ucap pria itu seraya menggendong Maylin ke kamar. Mengabaikan sang istri yang masih mematung, tak menduga Dion akan pulang sebelum pukul lima.
“Sakit, Pa.” Maylin merengek saat diletakkan di kasur. Dion mengumpat dalam hati, mendapati garis merah membujur di kaki putrinya.
“Papa obati, ya,” kata Dion seraya bangkit dan keluar kamar, tak lama kemudian ia kembali dengan sebaskom air hangat dan juga handuk kecil. Dengan telaten lelaki itu mengompres luka sang putri.
“Kenapa mama bisa marah sama Maylin? Hm?”
“Maylin keasyikan main ....” Maylin masih tersedu-sedu. “Lu-lupa nggak belajar ....”
Dion, mengusap puncak kepala Maylin, seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dia pun meminta sang anak untuk beristirahat dan tak keluar kamar.
Sementara itu, Nadia terduduk di meja makan dengan gelisah. Dia tahu, dari sorot mata Dion tadi menyiratkan betapa kecewa lelaki itu terhadapnya. Perempuan itu pun sebenarnya bertanya-tanya, ada apa dengan dirinya? Kenapa kian hari emosi tak terkendali?
“Bisa jelaskan padaku?” Pertanyaan Dion membuyarkan lamunan Nadia. “Apa kejadian seperti ini terulang setiap hari?” Sekuat tenaga lelaki itu berusaha menekan emosi.
Perempuan yang duduk menghadap jendela tak kunjung menjawab, jemarinya mengusap ujung netra. Mencoba mengurai sesak dalam dada, tapi dia juga tak tau harus memulai dari mana. Dion yang melihat hal itu justu geram.
“Nad! Jangan paksa aku buat ngomong kasar sama kamu.” Lelaki itu mencondongkan badan ke istrinya dengan satu tangan bertumpu pada meja.
“Aku ... capek ...,” kata Nadia dengan suara parau, seperti ada aksara yang tersendat di pangkal lidah. Dia memberanikan diri untuk mendongak hingga netranya beradu dengan sang suami yang tengah menatap lekat.
“Aku nggak sanggup ngajarin Maylin terus.”
“Ya udah, biarin dulu.” Dion mengembuskan napas kasar seraya memalingkan pandangan jengah. “Maylin gak harus jadi anak pinter, tapi dia harus jadi anak yang bahagia.”
“Tapi aku malu, Bang.”
“Malu? Memangnya anak kita mencuri? Memangnya dia ngemis di jalanan sampe kamu merasa malu dan senaknya memukuli dia, begitu?” Tampak lelaki yang masih mengenakan seragam kerja itu frustrasi, ia menjambak rambutnya sendiri.
Malam harinya, suhu tubuh Maylin merangkak naik. Satu hal yang menjadi sesal tak terhingga bagi Nadia karena sakitnya sang putri tak lain dan tak bukan adalah karena dirinya. Apalagi bibir mungil bocah itu mengigau, “Ampun, Ma. Ampun ....” Maka, sudah barang tentu hati wanita itu merasa tercabik-cabik. Apalagi, sang suami sejak sore tadi belum mau lagi berbicara. Nadia sadar, perbuatannya sudah keterlaluan.
Menjelang dini hari, demam Maylin tak kunjung reda meski sudah dikompres berulang kali. Tubuhnya tiba-tiba menegang dengan mata terbelalak, membuat Nadia panik luar biasa.
"Bang! Maylin, Bang!"
***
Derap langkah disertai isak tangis memecah sunyi lorong rumah sakit tempat di mana Maylin mendapat pertolongan pertama. Nadia tak pernah menyangka, perbuatannya bisa menyebabkan anaknya masuk ke ruang IGD.
Dalam kasus ini, Nadia adalah tersangka utama. Meski suami dan mertuanya tak tau apa yang selama ini ia rasa. Mereka hanya bisa menyudutkan tanpa bertanya dia kenapa dan ada apa?
Wanita itu kini hanya bisa terduduk, meringkuk memeluk raganya sendiri. Menulikan telinga dari mertua yang terus saja berbicara. Sementara Dion, sekuat tenaga meredam amarah yang membuncah dalam dada.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PAILIT (Sudah Terbit)
General FictionMaylin, gadis kecil bermata sipit hanya mempunyai tangan sang ayah sebagi pegangan untuk menapaki jalan terjal berliku. Dia tertatih-tatih memunguti satu per satu tawa yang pernah tenggelam di kubangan luka.