Sore tadi, saat Nadia menyerahkan satu cincin yang teramat berharga bagi mereka, Dion segera bergegas pergi entah ke mana. Padahal toko perhiasan tentu sudah tutup, tapi entah bagaimana sehingga lelaki itu bisa pulang membawa bahan makanan untuk keluarga kecil itu.
Kini, Dion memerhatikan sang istri sedang membereskan piring bekas makan malam bersama putrinya. Hati lelaki itu menghangat kala mendapati seulas senyum di wajah kedua bidadarinya itu. Perlahan, jemarinya meraba saku celana. Lalu, sudut bibirnya tertarik ke samping, setidaknya mereka akan bisa menyantap makanan yang lebih manusiawi beberapa hari ke depan.
Sejenak, beban di kepala terasa lepas. Namun, tak berapa lama, otaknya dipaksa untuk memikirkan kehidupan ke depan.
Andai kalender yang menempel di dinding seindah panorama, tentulah lelaki itu tak akan gundah. Namun, lingkaran hitam yang mengurung dua digit angka di sana tampak begitu menyiksa. Jatuh tempo bayar kontrakan yang tidak bisa ditunda meski sudah mengiba pada empunya.
“Dik, bagaimana kalau kita pindah saja?” kata Dion begitu merebahkan diri di samping sang istri saat malam kian larut. Wanita itu berbalik, mendapati suaminya tengah menatap lekat.
“Abang akan cari pekerjaan yang dekat rumah ibu. Nanti kita tinggal di sana aja biar—“
“Bang.” Nadia mendesis, menatap tajam.
“Abang gak bisa bertahan dengan pekerjaan sekarang, Dik. Upahnya tidak menentu, abang nggak tega liat kamu dan Maylin begini terus.”
Dion menyingkirkan anak rambut yang menutupi pipi istrinya. “Percayalah, semua akan baik-baik saja.”
Nadia bergeming, aksara yang berputar di kepala tak bisa dijabarkan begitu saja. Teringat berapa lubang hutang yang sudah ia gali, jika tetap bertahan di sini, tidak menutup kemungkinan semuanya akan bertambah sulit.
Tak pernah terbesit di benaknya delapan tahun lalu, akan hidup seperti ini. Nadia terbiasa bergelimang harta bersama orang tua, rela meninggalkan kenyamanan demi hidup bersama Dion. Mereka terlalu tergesa untuk memegang buku garuda. Belum punya ketrampilan atau bahkan pengalaman untuk menghadapi kerasnya dunia. Dua sejoli itu hanya bermodalkan cinta mengarungi bahtera.
Prinsip yang Nadia bangun selama delapan tahun untuk hidup mandiri dan tidak tinggal seatap dengan mertua kini runtuh sudah. Demi Maylin. Dia tak ingin, kejadian beberapa hari lalu terulang kembali. Biarlah, kali ini ia menurunkan kadar egonya, mengalah demi kelangsungan hidup bersama.
Siang dan malam sudah berganti berulang kali, keluarga kecil itu akhirnya pindah ke rumah ibu Dion. Lelaki itu mendapat pekerjaan baru. Lembar-lembar rupiah mulai mengisi pundi-pundi, tapi tidak serta merta membuat masa kecil Maylin bahagia.
Dion pikir, memboyong serta anak-istri ke rumah ibunda adalah solusi tepat untuk mengurangi biaya pengeluaran hidup. Namun, ternyata semua tidak sesederhana itu. Senyum yang biasa menghiasi wajah kekasih hati, belakangan ini sirna. Lelaki itu tidak tahu, ada gesekan-gesekan kecil yang terjadi antara istri dan ibunya.
Semua tindak-tanduk Nadia tidak lepas dari kritik tajam sang mertua, bahkan hal remeh temeh sekalipun. Namun, perempuan muda itu bisa apa?
Hasrat tak dapat terbendung lagi untuk berkeluh kesah pada Dion. Menunggu waktu yang tepat agar tak terjadi kesalahpahaman.
Suatu malam, Nadia menghampiri suaminya yang tengah menikmati teh di teras.
"Bang."
Lelaki yang tengah memandangi gemintang itu menoleh, menautkan kedua alisnya saat melihat wajah sendu sang istri.
"Kenapa, Dik?" Dion semakin heran karena Nadia tak kunjung bersuara. "Maylin mana?"
"Udah tidur, Bang," jawab Nadia seraya menghela napas, kesal.
Lelaki di hadapannya hanya manggut-manggut, kembali menatap langit yang memesona.
"Lihat, Dik. Bintangnya bagus," ujar Dion. "Membentuk rasi Orion. Dalam mitologi, Orion itu pemburu ya--"
"Bang!" Suara Nadia naik setengah oktaf karena sang suami tak kunjung peka. Lelaki itu bisa dengan mudah membaca konstelasi di angkasa, tapi sangat buta akan mendung yang bergelayut di wajah istrinya.
Mendengar nada tinggi dari ibu negara, Dion berbalik sempurna. Menatap lekat manik yang kini sebak. Dalam hati bertanya, apa gerangan yang membuat wajah ayu itu sendu?
"Aku ... aku nggak betah ...." Satu bulir bening jatuh ke pipi Nadia yang tirus.
Buru-buru dia menyeka, berharap suaminya tak menyadari.Namun, terlambat. Dalam temaram lampu teras, Dion tahu ada gerimis yang jatuh di wajah bidadarinya.
"Kenapa, Dik?" tanya pria itu lembut seraya memegangi bahu Nadia yang mulai bergetar. Wanita itu tak kunjung menjawab, membuat Dion segera merengkuh ke dalam pelukan.
"Sepertinya ibu nggak suka aku di sini," kata Nadia pada akhirnya. Dia menarik napas sebelum melanjutkan, "bahkan, ibu nggak mau makan masakan aku." Bahu wanita itu kian berguncang dalam dekapan, menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendirian.
Dion hanya mampu terdiam. Mengurai pelukan agar bisa menyelami telaga yang tengah beriak di depannya. Ulu hati lelaki itu berdenyut nyeri saat tahu tak ada dusta di sana.
"Hei ... nggak gitu, Dik." Jemari Dion menghapus jejak air mata yang tak kunjung berhenti di pipi Nadia. "Mungkin ibu memang menghindari makanan tertentu yang kebetulan kamu masak. Ibu punya riwayat kolesterol tinggi," sambung lelaki itu dengan hati-hati.
"Tapi ini setiap hari, Bang," kata Nadia di sela sedu sedan.
"Nanti abang yang tanya ke ibu. Semua akan baik-baik saja. Oke?"
Dion berusaha meyakinkan. Kristal di depannya tak boleh retak, apalagi pecah. Pun dengan sang wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Dion tak bisa untuk memihak dan menghakimi salah satu di antara mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PAILIT (Sudah Terbit)
Ficción GeneralMaylin, gadis kecil bermata sipit hanya mempunyai tangan sang ayah sebagi pegangan untuk menapaki jalan terjal berliku. Dia tertatih-tatih memunguti satu per satu tawa yang pernah tenggelam di kubangan luka.