“May ... ini bekalnya, ya,” kata Nadia seraya menyodorkan kotak bekal berisi roti kepada Maylin. Namun, bocah itu beringsut mundur seraya menunduk.
Nadia menghela napas, pasrah. Semenjak tragedi seminggu lalu, anaknya memang berubah. Maylin menjadi pendiam dan tak berani membantah perintah sang ibu. Namun, hal itu tak membuat perempuan berdaster biru itu senang, dia justru sedih karena merasa teramat jauh dengan putri kecilnya itu.
“Nanti mama jemput, ya,” kata Nadia lagi seraya berjongkok di depan putri kecilnya, dan memasukkan kotak bekal ke dalam tas. Setelah itu, Maylin langsung berlari keluar rumah, tanpa mengucapkan salam. Terhitung sudah tiga hari ini Maylin berangkat sekolah tanpa mencium punggung tangan sang ibu.
Tak ada yang bisa Nadia lakukan selain menghela napas dan berjalan menuju dapur seraya mengusap embun yang hadir di ujung netra.
“Lihat, kan, Nad? Anakmu jadi seperti itu?” Suara ibu mertua menghentikan langkah Nadia, membuatnya mau tak mau harus memandang wanita tua yang tengah menyesap teh di meja makan.
“Saya, kan, sudah minta maaf berulang kali, Bu.”
“Apa maaf kamu bisa mengembalikan senyum Maylin? Ibu menyesal meninggalkan kalian berdua di rumah.”
“Bu—“
“Ibu dulu nggak pernah lho, Nad, mukulin Dion waktu kecil, apalagi sampai masuk rumah sakit. Itu sih sakit jiwa namanya,” ujar sang mertua seraya bangkit dan berlalu meninggalkan secangkir teh yang masih menguap.
Juga, meninggalkan ibu muda yang kini menyenderkan punggung di dinding, kedua tangannya menjambak rambut sendiri. Nadia benar-benar tak tahu, bagaimana harus menebus semua kesalahanya pada Maylin.
***
Maylin berlari di bawah terik mentari. Tak menggubris ajakan kawan-kawannya untuk bermain gundu. Bocah kecil itu tak mau terlambat sedetik pun sampai rumah, ia takut sang ibu akan marah apabila hal itu terjadi.
Gadis kecil berseragam merah putih itu mengetuk pintu rumah berulang kali, tapi tak kunjung dibuka.
“Nenek!” Maylin mengitari teras samping, jendela-jendela tertutup rapat.
“Mama!” Bocah itu mencoba mendorong pintu belakang,lalu kembali berjalan ke arah pintu utama. Dia duduk memeluk lututnya sendiri, serta menenggelamkan kepalanya di sana.
Maylin meringis saat merasakan cacing-cacing di perutnya meronta. Bekal yang diberi sang ibu tak ia sentuh sama sekali. Entah mengapa, Maylin teramat takut dengan segala hal yang berkaitan dengan wanita itu.
“May ....” Suara sang ibu membuat Maylin segera mendongak dan berdiri. “Mama, jemput kamu ke sekolah, lho.”
Maylin menunduk dalam-dalam, jemarinya meremas bagian samping rok merah putihnya.
“Maafin mama, ya. Ayo kita masuk!” Nadia mengeluarkan anak kunci dari sakunya dan buru-buru membuka pintu. Maylin mengekor dalam diam.
“May ....” Nadia terus mencoba mengajak sang putri berbicara, tapi Maylin tetap saja diam meski langkahnya terhenti.
“Lekas ganti baju, nanti kita makan siang, ya?”
Maylin hanya mengangguk dan berlalu.
Nadia terkejut saat Maylin menyodorkan buku tepat setelah mereka menyatap makan siang dalam diam. Seminggu lalu,wanita itu harus berbicara panjang lebar dengan berbagai acaman agar sang anak mau belajar. Namun, kini sungguh menyakitkan saat anak yang dulu pembangkang justru teramat manut. Ini bukan Maylin!
“Sudah, May, nanti malam lagi,” kata Nadia saat Maylin terus saja meminta tambahan soal matematika. Padahal, biasanya mengerjakan satu soal saja membuat sang ibu mengeluarkan tanduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAILIT (Sudah Terbit)
General FictionMaylin, gadis kecil bermata sipit hanya mempunyai tangan sang ayah sebagi pegangan untuk menapaki jalan terjal berliku. Dia tertatih-tatih memunguti satu per satu tawa yang pernah tenggelam di kubangan luka.