Bab Empat

3.2K 275 55
                                    

Setelah kejadian di hotel, membuat Pras mengubah pikirannya, bahwa Varel memang harus menikah. Dia kembali menghubungi Alan untuk membicarakan masalah itu.

Kedua pria yang dewasa itu duduk di sebuah kafe ditemani secangkir kopi.

"Ada apa, Pak Pras?" Alan membuka suara terlebih dahulu.

"Saya mau buat perjanjian." Pras memperbaiki posisi duduknya  lalu menatap Alan tanpa ekspresi. "Varel itu gay, jadi nggak mungkin dia menghamili anak Bapak."

Alan terkejut mendengar ucapan Pras, tapi dia tetap menjadi pendengar yang baik.

"Jadi kita saling timbal balik saja. Begini, saya mau anak kita menikah, anak Dara lahir memiliki ayah, tapi dengan syarat selama menjadi suami dan istri, Dara harus mengubah Varel menjadi laki-laki normal, saya kasih waktu sampai setahun."

Alan berpikir keras, bukan masalah uangnya tapi masalah akta kelahiran anak Dara, biar jelas asal dan usulnya. Setidaknya, mau Dara berhasil atau tidak mengubah hidup Varel yang penting anak Dara lahir memiliki ayah.

"Oke, saya terima, tapi saya lakuin ini bukan karena saya tertarik sama harta Bapak, saya cuma ingin anak Dara memiliki ayah."

Pras mengeluarkan selembar surat dari dalam ampol coklat. "Silakan dibaca dan ditanda tangani."

1. Pihak pertama (Prasetyo Harris) mengizinkan putranya untuk menikahi putri dari pihak kedua (Alan)
2. Selama berstatus suami dan istri, putri dari pihak kedua (Alan) harus membantu putra dari pihak pertama agar kembali menjadi laki-laki normal.
3. Apabila putri pihak kedua (Alan) berhasil, maka 50% harta kekayaan pihak pertama (Prasetyo Harris) menjadi milik pihak kedua (Alan).
4. Terlepas dari berhasil atau tidaknya putri pihak kedua (Alan) membuat putra pihak pertama (Prasetyo Harris) maka satu tahun kemudian mereka harus bercerai.

Setelah membaca surat perjanjian itu, Alan pun menandatangi di atas materai 10.000.

"Ini sebenarnya keuntungan buat Bapak, karena saya yakin harta kekayaanmu tidak sebanding dengan kekayaanku," ujar Pras dengan bangganya. Dia pun berdiri dari tempat duduk. "Satu lembar Bapak pegang ya, saya permisi dulu."

***

Setelah pulang sekolah Nabila langsung ke rumah Dara, katanya rindu dengan Dara karena sudah seminggu tidak bertemu. Nabila itu contoh real friend, saat temannya jatuh, bukan ditinggalkan tapi dia tetap berada di sampingnya.

"Dar, sorry ya gue baru sempat datang ke sini," ujar Nabila.

Dara mengangguk. "Gue justru makasih karena lo masih peduli sama gue, gue kira setelah gue dikeluarin dari The Queen, gue nggak punya teman lagi."

"Gue kan beda dari Nadia dan Niken."

Kita hidup di zaman toxic friend, jadi susah bedakan mana yang benar-benar tulus atau cuma angin lalu, saat kita terjatuh, di saat itu lah sifat aslinya terlihat.

"Btw lo benar mau nikah sama Varel?"

"Kenapa enggak? Gue juga kan pernah suka sama dia, lagian ini kesempatan biar anak gue jelas status ayahnya."

Waktu kelas sebelas, saat itu dia pulang sekolah sedikit terlambat karena menunggu jemputan, keadaan sekolah sudah sepi, namun tiba-tiba Nabila melihat Varel dan seorang laki-laki asing berjalan ke belakang sekolah sambil berpegangan tangan. Dengan mata kepalanya, dia melihat kedua laki-laki itu berciuman, sambil tangan meraba-raba area kejantanan masing-masing, karena jijik akhirnya Nabila pergi begitu saja, lagian ini bukan masalahnya, terserah mereka.

"Dia gay."

"Hah? Atas dasar apa lo bisa bilang seperti itu? Apa buktinya?"

"Gue emang nggak punya bukti karena waktu gue lihat mereka ciuman, gue nggak foto, tapi gue nggak bohong, Dar."

Dara terkekeh. "Nggak ada dari gerak-gerik dia yang nunjukkin kalau dia gay, dia normal, nggak usah fitnah gitu lah."

"Dar—"

"Gue kira lo benaran teman, Bil. Tahunya lo ke sini biar anak gue nggak punya ayah. Lo bisa pulang."

"Dar, gue—"

Dara bangkit dari sofa. "Gue rasa lo nggak lupa pintu keluar rumah ini." Tidak peduli lagi dengan Nabila, dia pun naik ke kamarnya, di lantai dua.

***

Saat ini Gilang bertemu Varel bertemu di kafe. Keduanya langsung ke toilet, untuk sekadar melakukan ritual setiap bertemu yaitu kissing. Perlahan Varel membuka resleting celana Gilang, lalu memijat daerah kejantanannya, Gilang pun melakukan hal yang sama, dengan bibir yang tetap melumat dengan ritme yang sedikit lebih cepat, tangan Varel yang satunya menaikkan kaos Gilang hilang terlihat dada laki-laki itu, dia meraba-raba dan ciumannya beralih ke dada itu. Sementara Gilang mencium daerah kejantanan Varel.

"Yang di dalam pingsan, ya? Lama amat, saya kebelet nih," ujar seorang pria dari luar.

Otomatis Gilang dan Varel menghentikan aktivitasnya, dan sebelum keluar, mereka membenahi pakaian terlebih dahulu.

Setelah pintu terbuka, mereka langsung disambut pertanyaan. "Kalian gay?"

Tanpa menjawab, Gilang dan Varel langsung pergi.

"Aku belum puas, Sayang," bisik Varel.

"Aku juga, kita check in aja."

"Oke, aku mau matikan hape, biar Papa nggak lacak."

Mereka pun langsung keluar dari kafe itu dan ke hotel terdekat.

***

Aku sebenarnya jijik nulis ini guys😭

Aku nulis ini berdasarkan fakta temanku ada yang gay tobat, jadi menarik aja buat dijadiin cerita. Walau banyak yang aku tambah dan kurangin, tp secara garis besar, ide ini dari kisah temanku yang gay.

Vote dan comment guys.

DifferenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang