Bab Lima

2.9K 282 30
                                    

Kepala Varel rasanya hampir pecah saat Pras mengatakan bahwa dirinya harus menikah dengan Dara. Bagaimana bisa seorang gay menikah dengan perempuan? Akan jadi apa rumah tangganya nanti? Bahkan, untuk untuk ereksi saat melihat perempuan telanjang bulat pun dia tidak bisa.

"Pa, aku enggak bisa, seleraku bukan perempuan. Kasihan Dara nanti kalau aku enggak bisa memberikan kebutuhan biologis ke dia."

Pras menggeleng serius. "Enggak ada penolakan, Rel."

"Pa!"

"Kalau kamu enggak mau, berarti kamu siap-siap angkat kaki dari rumah ini, dan seluruh harta kekayaan Papa biar disumbangin aja ke panti asuhan. Nama kamu bakal Papa hapus dari kartu keluarga."

Varel tersenyum miring. "Yakin Papa berani?"

"Kenapa enggak? Papa tinggal suruh anak buah Papa untuk urus semuanya sekarang."

Varel menghela napas kasar, pilihan yang berat, dia juga enggak bisa kehilangan rumah ini dan seluruh hartanya, yang ada Varel jadi gembel di luar sana, bahkan ijazah SMA saja belum punya. Namun di sisi lain, Varel juga enggak mau menikah dengan perempuan, apalagi itu Dara, perempuan yang membuat nama Varel tercap buruk di SMA Nusa Bakti.

"Ah, kamu lama, Rel." Pras langsung mengeluarkan ponselnya dan berpura-pura menelepon orang di seberang sana. "Saya mau kamu urus kartu kel—"

"Iya, aku mau, Pa."

Pras tersenyum lebar. "Oke, kamu tinggal duduk manis, biar Papa yang urus segala persiapan pernikahan kamu."

"Tapi aku mau pernikahan ini dirahasiakan. Papa tahu kan kalau sekolah aku ada peraturan enggak boleh nikah?"

"Tahu, kamu tenang aja."

Ternyata Varel gampang sekali untuk diancam.

***

"Varel gay?" Dara sungguh kaget saat Alan bercerita tentang Varel, dari postur tubuh, gerak-gerik, dan tampang benar-benar manly, tidak ada dari sisi manapun yang membuat Varel terlihat belok. Dara masih belum bisa mencerna tentang Varel. "Papa becanda, kan?"

"Serius, Pak Pras sendiri yang cerita ke Papa, makanya dia minta kamu untuk bantu dia berubah."

"Pa, aku enggak mungkin dong nikah sama gay, dia aja enggak tertarik sama perempuan."

"Itu tugas kamu, bikin dia jatuh cinta. Lagian ini juga kesempatan anak kamu biar jelas status ayahnya. Udah deh, enggak usah nolak. Nikah sama Varel atau Papa akan kirim kamu ke desa terpencil, baru boleh balik kalau anaknya udah lahir. Gimana?"

Dara bukannya enggak mau nikah sama Varel, tapi yang jadi masalahnya Varel ini adalah gay.

"Oke deh, segimana Papa aja. Aku nurut."

"Oke, biar Papa dan Mama yang urus semuanya, kamu terima beres aja."

Dara langsung ke kamarnya yang ada di lantai dua. Dia jadi mikir perkataan Nabila tempo hari, ternyata benar, Varel gay dan Nabila enggak bohong.

Oh my god. Sorry, Nabila.

Tak lama kemudian muncul chat dari nomor tak dikenal.

082236xxxxxx: Katanya lo mau ubah gue jadi laki-laki normal, kan? Jadi tugas pertama lo adalah ke rumah gue sekarang!

Dara juga penasaran alasan Varel menyuruhnya ke sana, tanpa lama-lama, Dara langsung mengambil sling bag-nya.

***

"Mau ketemu Mas Varel, ya? Mbak Dara langsung ke kamarnya aja, di lantai dua, pintunya ada tulisan Varelio," ujar asisten rumah tangga itu.

Dara langsung ke lantai dua, anak tangga di rumah ini terlalu banyak, sehingga bikin kaki pegal. "Hilih, bikin lift aja sih, buat capek aja ini rumah."

Saat menemukan kamar Varel, Dara langsung mengetuk pintu, setelah ada jawaban dari dalam, akhirnya dia membuka pintu itu dan terlihat Varel yang sedang rebahang di kasur king size-nya itu.

Varel memperhatikan penampilan Dara dari atas sampai bawah, rambut dikuncir satu, wajah tanpa make up, bahkan bedak atau lipstik pun enggak, kaos oblong, celana jeans panjang, dan sneakers putih yang sepertinya sudah tiga hari enggak dicuci.

Kamarnya Varel gede banget, bersih, dan wangi lagi. Beda banget sama kamar gue, yang pakaian kotor di mana-mana, sampah berserakan, bahkan debu masih nempel di lantai kamar gue. Apa semua gay bakal seperfect ini, ya?

Varel beranjak dari kasurnya. "Lo kan mau ketemu calon suami lo, enggak ada niat sedikit buat dandan? Minimal yang enak dilihat lah. Gue ragu, ini calon istri gue apa gembel?"

"To the point aja, kenapa suruh gue datang? Enggak usah bacot komentarin penampilan gue."

"Gue gay," ujar Varel dengan entengnya. "Lo tahu?"

"Udah dikasih tahu Papa."

"Lo mau nikah sama gue?"

Dara mengangguk. "Demi anak di kandungan gue."

"Kalau nanti setelah kita nikah, kita nggak berhubungan intim lo nggak apa-apa?"

"Oke."

Varel mendekat dengan seringai jahilnya. "Yakin?"

Dara masih saja kagum dengan wajah tampan Varel, Tuhan menciptakan Varel seakan tidak ada cacat sedikit pun.

Varel mendekatkan wajah mereka, dan menatap bibir Dara dengan intens, mungkin saja dengan jarak sedekat ini akan muncul hasrat untuk menciumnya, dan sialnya walaupun Dara sudah memejamkan mata, Varel sama sekali tidak ada keinginan untuk menyentuhnya.

"Enggak ada rasa, Dar."

Dara membuka matanya. "Kenapa lo sama sekali enggak ada rasa sama perempuan?"

Varel mengendikkan bahunya. "Ada alasan yang buat gue jadi kayak gitu."

"Rel, gue mau bantu lo, tapi lo jangan nolak ya."

"Maksudnya?"

Dara langsung menghilangkan egonya, dia sedikit berjinjit dan menempelkan bibirnya ke bibir Varel, melakukan pergerakan dengan indah, walaupun Varel hanya mematung, sama sekali tak membalas ciuman itu. Tangan Dara mengalung di leher Varel, dan terus memainkan bibir itu.

"Sorry, Rel. Anggap aja itu awal dari kisah kita. Gue doain lo jadi normal, dan bisa jatuh cinta sama gue."

Tiba-tiba Varel memeluk Dara. "Izinin gue buat meluk lo, gue lagi kangen seseorang."

Dara membalas pelukan itu, memberikan rasa nyaman untuk Varel. "Lo kangen siapa, Rel?"

"Ibu sama Kakak gue yang entah sekarang di mana keberadaannya. Gue kangen pelukan mereka."

"Lo bisa peluk gue kapan aja."

Tiba-tiba terlintas di benak Varel, bagaimana buruknya masa lalu dulu, saat ibunya dana Selin lebih memilih pergi bersama orang baru, lalu meninggalkan dirinya dan Pras. Sejak saat itu Varel kehilangan pelukan hangat dari seorang ibu dan kakak, sekaligus kehilangan jati dirinya sebagai laki-laki normal.

Varel akhirnya melepaskan pelukan itu. "Thanks."

"Lo bisa cerita apa pun ke gue, Rel. Anggap aja gue teman lo."

"Selain gue nggak bisa jatuh cinta sama perempuan, gue juga nggak bisa temanan sama perempuan, karena gue nggak mau suatu saat nanti kaum lo ninggalin gue lagi. Jadi kita biasa aja, nggak boleh terlalu dekat."

Sekarang gue bisa paham sedikit tentang lo, Rel. Dari pelukan lo tadi, gue bisa tahu, kalau lo punya masa lalu yang buruk, sehingga buat lo jadi kayak gini. Gue bakal bantu lo, Rel.

Varel melirik jam yang menggantung di dinding. "Gue harus cabut, mau ketemu Gilang."

"Gilang siapa?"

"Pacar gue."

Jadi gue bakal nikah sama gay yang udah punya pacar? Poor you, Dara.

***

Nah lho wkwkwkw.

Kalian tim mana?

#DaraVarel

#GilangVarel

Bantu lapak ini agar ramai yang baca dan komen guys wkwkw. Makin banyak baca dan komen, makin semangat aku nulisnya wkwkw.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DifferenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang