Ini adalah tulisan pertama gue di tahun 2020. Selamat Januari, sobat. Semoga aja apa yang gue perjuangin selama ini bukan nonsense dan tindakan wasting time.
Gue punya uang. Dan... gue berkesempatan buat memenuhi harapan gue ketika lagi nggak punya uang lebih. Gue bisa membelikan hadiah buat seseorang. Itu momen ketika gue merasa benar. Dan... nggak ada kata salah buat tindakan gue. Gue memang benar-benar berterima kasih pada beliau.
Gue membelikan sebuah jilbab dan bros yang ada nuansa hijaunya. Gue perlu menghabiskan banyak waktu buat itu, karen gue bingung mau membelikan apa. Gue enggak tahu apa beliau akan suka sama apa yang gue beli. Atau apa beliau mau memakainya.
Ketika gue di rumah, jilbab sama bros itu tersimpan di lemari baju. Butuh waktu lagi buat kapan membungkusnya. Dan ketika gue sudah bersiap dalam artian, menambahkan sebuah isyarat gue berterima kasih dan mendoakan something buat beliau, gue membungkusnya dengan rapi. Buat artian gue sendiri.
Lalu apa?
Jangan terburu-buru, Sobat. Gue masih menyimpannya di rumah. Bingung kapan momen pas buat memberikannya. Gue takut kalau di ruang guru, karena di situasi itu begitu ramai. Atau ketika pulang, kadang itu masih riskan karena gue sendiri nggak jelas kapan pulangnya. Gue terlalu takut, padahal gue melakukan hal yang benar.
Lalu hadiah itu berada di dalam tas. Gue membawanya selama beberapa hari dan butuh waktu lagi buat memberikannya. Bahkan teman-teman yang tahu kalau ada sebuah kado di tas, berpikiran itu hadiah dari atau untuk someone yang sama teman-temab dikabarkan gue suka dia. Gue diam dan senyum aja. Padahal harusnya gue berani buat memberikannya, karena gue enggak salah.
Lalu momen itu ada.
Kamis itu. Ketika gue terlambat. Dan enggak sendirian. Mungkin itu hari yang cukup banyak yang telat.
Setelah menyapu halaman depan lab, gue dan yang lain kembali ke lapangan utama. Di sana gue melihat beliau, berjalan tergesa-gesa ke lobi. Gue buka tas... lalu ambil hadiah itu. Gue lari. Padahal harusnya gue tetap di lapangan utama sama yang lain. Gue mengejar sampai ke ruang guru.
Ruang guru sepi. Sepenglihatan gue cuma beliau sama salah seorang guru Geografi gue. Ketika beliau melihat gue, gue salim dan menyodorkan hadiah itu.
Lidah gue kelu.
Dan pandangan gue jatuh pada mata beliau.
"Itu apa?"
"Hadiah," kata gue pelan.
"Dari siapa?"
"Dari saya buat Ibu."
"Jangan nangis."
Gue takut mengakuinya. Gue selalu takut menangis to do something what I need to someone. Selalu ada yang bergetar ketika gue mulai membayangkan. Padahal harusnya gue berani, karena apa yang gue lakukan itu benar. Tapi... gue menangis lagi. Beliau memeluk gue dan gue bilang terima kasih dengan pelan.
Gue selalu berharap, kenangan indah tentang orang-orang baik seperti beliau selalu tersimpan di memori gue, bahkan sampai gue tua. Gue bisa cerita ke banyak orang, seperti kalian, karena gue enggak harus nunjukin seperti apa ketika gue menulis ini. Gue enggak perlu mencubit tangan gue sendiri, supaya gue enggak menangis.
Dan hari ini, ketika gue ke ruang guru buat mengurus beberapa hal untuk kegiatan lawatan sejarah, gue melihat beliau. Memakai apa yang gue berikan. Cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
T E M P O (Terlalu Emosi Membuat Pembaca Ogah)
Non-FictionRemaja kaya gue mungkin cuma bisa bacot dan ngomong nggak jelas. Tapi percayalah sobat, karena gue mencoba menjadi baik, tetapi lo membuat gue semakin sulit. Gue bilang: Orang yang mencintai diri sendiri, nggak akan membenci orang lain. Orang yang m...