Bab 3

149 25 2
                                    

Hari berikutnya aku bangun dengan suasana hati paling buruk. Mataku sembab dan merah saat melihat pantulan diriku di cermin. Aku menggerang dan menjambak rambutku yang sudah awut-awutan. Kuakui aku tidak akan bisa langsung melupakan kejadian kemarin—tidak setelah kejadian itulah yang membuat kondisi mataku bengkak.

Air mataku tidak bisa berhenti semalam, perasaanku campur aduk karena sebelumnya tidak pernah dikatai busuk oleh siapapun, demi Tuhan, itu adalah kata terkasar yang pernah aku dengar sepanjang hidupku menganai tanggapan orang untuk diriku.

5 tahun terakhir ini aku biasa dipuji, baik dari segi prestasi yang kuraih—yang Mama akan dengan sangat bangga menceritakannya saat arisan—sampai physical appearance-ku.

Tidak ada lagi Tante Nana yang akan menasehatiku untuk berhenti main layangan yang membuat kulitku cokelat gelap karena betah berjam-jam main di bawah teriknya matahari tanpa sunscreen. Dia memekik ngeri ketika membayangkannya. Pun Oma tidak lagi akan membahas mengenai kawat gigi untuk gigiku yang kurang rapi. Atau protes-protes kecil dari sepupuku yang mengatakan pakaian yang kukenakan kurang feminim di setiap pertemuan keluarga besar.

Aku menyentuh pinggiran figura yang menampilkan seorang cewek remaja berambut pendek kusut dengan celana selutut berjongkok menggengam sekantung bibit bunga mawar yang tersenyum lebar ke arah kamera.

Lyra Naresvari sudah berubah dan aku sangat bangga dengan hal itu. Tidak ada lagi rambut pendek se-telinga yang tidak terawat, rambut panjangku selalu wangi karena rutin memakai conditioner saat keramas. Kawat gigiku juga sudah terlepas menghasilkan gigiku yang rapi dan cantik. Bahkan Kak Geo—sepupuku dari pihak Papa—nggak sungkan untuk memujiku dengan "Dek, puberty hits you so well." Atau Kak Ayana yang juga sepupuku terus mendesakku membuat YouTube channel  untuk mempublikasikan perubahanku, "Ra, 'kan banyak tuh influencer yang bikin now and then atau puberty glow up mereka, lo buat deh, di YouTube. Gue yakin bakal banyak yang nge-view." Yang tentu saja aku tolak mentah-mentah.

As much as I grew up, I learnt a lot. Aku menyadari bahwa orang-orang akan berubah. Ke arah baik atau buruk, they choose. Well, tapi tidak semua orang akan berubah 'kan? Aku sangat yakin Bobby Hadichandra tidak pernah berubah. Dia masih sekasar dulu dan acuh dengan sekitarnya. Cowok itu berpikir bahwa hidup hanya berputar disekelilingnya—him and his life—which is not true dan aku akan menyadarkannya. Nggak semua hal yang dia inginkan akan semudah itu terwujud dan nggak semua orang akan selalu tunduk kepadanya.

Aku menyantap oatmeal dengan campuran strawberry dan granola di hadapanku dengan tidak berselera. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin pergi ke kampus. Aku yakin aksi menerjang seorang Bobby Hadichandra masih hangat dibicarakan oleh orang-orang. Aku meringis. Ada banyak pasang mata yang melihat kejadian kemarin, dan sialnya 80% dari orang-orang yang nongkrong di Starbucks kemarin adalah mahasiswa yang sedang menunggu kelas berikutnya.

"You okay?" Mama menepuk pundakku lembut. Aku menoleh dan mengangguk sambil menyuapkan sesendok oatmeal. "Minum susunya dulu, Alyssa dan Sierra sudah nunggu di depan. Kamu kenapa nggak bilang mau berangkat bareng mereka? Pak Ujang tadi malah buru-buru panasin mobil kamu." Aku lagi-lagi meringis di pagi hari yang cerah ini. Kemarin ketika aku menemui mereka sehabis kelas berakhir—aku bolos, omong-omong—untuk mengambil barang-barangku, mereka tidak menanyakan apa-apa selain apakah aku bisa menyetir sendiri yang kubalas anggukkan. Aku merasa terharu dan tersanjung atas perhatian mereka yang tidak langsung menembakku dengan pertanyaan. Oh, harusnya aku sudah hafal diluar kepala bagaimana tabiat kedua sahabatku itu. Tidak kusangka saja mereka sudah nangkring di depan rumahku bahkan tanpa mengirimi pesan apapun.

*

"Jangan buat bad mood deh dengan ngomongin cowok bajingan itu pagi-pagi. Habis kelas Linguistik aja gue ceritanya." Setelah melempar kalimat itu tepat saat aku menempatkan bokongku di jok belakang SUV-nya Alyssa, mereka berdua bungkam—hanya lagu Mean It dari Lauv dan Lany yang memenuhi mobil—hingga kami sampai di pelataran parkir kampus yang kelihatan lumayan ramai pagi ini.

Bobby HadichandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang