Bisakah aku bilang jika akhir-akhir ini hidupku dihadapkan dengan segudang kebetulan?
Cowok itu. Cowok yang tadi berdiri di pintu apartemen sebelah itu kini sedang mencari screwdriver miliknya dan meninggalkan pintu apartemennya terbuka lebar dengan seekor German Shepherd tinggi duduk menatapku penasaran serta menggoyangkan ekornya lambat adalah Raveno Tradjasana. Dia adalah anak Fakultas Kedokteran yang setingkat lebih tinggi dari angkatanku. Dan astaga, cowok itu benar-benar terkenal diseluruh fakultas yang ada di kampus.
Dan ingatanku kembali pada kejadian demo beberapa minggu yang lalu ketika seluruh mahasiswa turun ke gedung pemerintahan. Aku ingat dengan jelas alasanku ikut turun adalah karena Alyssa dan Sierra memaksaku untuk ikut aksi tersebut. Kata mereka, solidaritas. Di tengah-tengah kericuhan itu—saat beberapa polisi turun dan melemparkan gas air mata—aku melihat Raveno. Cowok itu dengan kotak P3K menggantung di bahunya berlari ke arah mahasiswa yang jatuh dan membawanya ke tempat yang aman. Aku bahkan bisa mengingat dengan jelas jas universitas yang dia pakai saat itu penuh dengan tanah dan debu.
Dan aku menemukan diriku terpana. Setidaknya dia masih peduli pada orang lain di situasi genting seperti itu. Tidak seperti seseorang. Siapa lagi kalau bukan Bobby. Duh, kenapa juga aku harus memikirkan cowok berandal itu di saat-saat seperti ini.
"Sori. Lo nunggu lama," Dia tersenyum tipis dan aku menahan napasku diam-diam karena lagi-lagi harus dihadapkan dengan wajah aristokratnya yang luar biasa tampan itu.
Aku mengangguk kaku. Meraih screwdriver yang dia sodorkan. "Gue... pinjem dulu." Kataku kemudian. Benar-benar kaku dan canggung.
"Tunggu," Panggilnya ketika aku akan berlalu dari pintu apartemennya. Aku menoleh, bertanya-tanya ketika Raveno menatapku dengan alis berkerut. "Kita satu universitas?"
Mataku membulat saat mendengar pertanyaannya. Kita sedang membicarakan seorang Raveno Tradjasana alias cowok populer seantero kampus 'kan? Dia tidak mungkin mengenaliku. Iya 'kan? Aku tidak bisa menemukan suaraku saking gugupnya karena dia tidak berhenti menatapku.
"Cewek yang fotonya dipajang di banner gedung Fakultas Ilmu Budaya?"
Aku sontak tertawa, melupakan kecanggungan di antara kami. Mengingat kembali bagaimana keogahanku ketika dosen pembimbing menghubungiku saat weekend untuk pengambilan foto banner tersebut. "Gue nggak suka hasil fotonya tapi mereka tetep pajang." Balasku tersenyum mengangkat bahu. Lebih rileks.
Raveno balas tersenyum kemudian menyenderkan tubuh di pintu apartemen miliknya. "I like it. Fotonya eye catching." Kurasakan senyumku sedikit demi sedikit menghilang karena kegugupan lagi-lagi melanda seluruh saraf yang ada di tubuhku. Tanpa kendaliku, kedua pipiku memanas. Bisakah kita membicarakan bagaimana senyum dan tatapan Raveno itu? Cowok itu sukses membuatku terlihat seperti kambing cengo. "Raven. Raveno Tradjasana." Dia mengelurkan tangannya.
Aku memandang wajah dan tangannya secara bergantian. Menimang-nimang.
"Lyra. Lyra Naresvari." Akhirnya aku menyambut tangan kanannya yang—kurasa—sangat pas itu dan melempar senyum.
Setelah melepas jabatan tangan kami, Raveno menunjuk screwdriver di tanganku dengan dagunya. "Lo butuh bantuan?"
*
"Ganteng." Itu adalah bisikan Ayana selepas pintu apartemennya tertutup rapat. Kami saling menatap. "Itu beneran tetangga gue? Modelannya udah kayak artis papan atas."
Aku mengangguk dengan pikiran yang melayang bagaimana cekatannya Raveno ketika merakit clothing rack milik Ayana tadi. Tidak butuh waktu 30 menit dan clothing rack itu sudah terpasang dengan tepat.
Ayana masih mengejarku yang melangkah menuju sofa. "Dia beneran anak kedokteran?"
"Hm." Lagi-lagi aku mengangguk. "Satu universitas."
"Gila. Apa semua anak kedokteran emang—"
"Na," Aku menatap Ayana dan kakak sepupuku itu juga tengah menatap balik, terlihat penasaran. "Kayaknya gue terpesona deh sama Raveno."
*
Tepat saat aku mengendarai mobilku keluar dari pelataran parkir Starbucks setelah mendapatkan Americano-ku, hujan turun dengan deras. Seharusnya aku bisa menebak mengingat pagi ini awan tebal kelabu memenuhi langit yang biasanya cerah dan hujan juga sempat turun pagi tadi sebelum berhenti sebentar. Aku melajukan mobil menuju kampus. Ada kelas Public Speaking yang harus aku hadiri jam 10. Masih ada banyak waktu. Aku bahkan berencana untuk sarapan di kafe dekat kampus—atau sebaiknya tidak karena hujan sedang deras-derasnya turun saat ini. Aku benci kehujanan karena aku benci saat rambutku menjadi lembab dan lepek terkena airnya.
Ketika memasuki gerbang kampus yang lebar, Pak Ujang—salah satu pihak keamanan kampus dengan payung pink stabilo itu—menghentikkan mobilku. Mengetuk jendela sebentar hingga aku menurunkannya.
"Kenapa Pak Ujang?" Tanyaku penasaran.
"Parkir di dalam lagi penuh, Neng. Soalnya lagi ada tamu dari Dikti. Parkirnya di lapangan samping kampus aja, ya?" Pak Ujang menunjuk arah menuju lapangan yang dimaksud.
Aku menghela napas panjang setelah menutup jendela. Sial banget. Parkir di lapangan samping berarti aku harus rela berjalan kaki lagi beberapa meter untuk sampai ke kampus. Pada akhirnya aku memarkirkan mobilku di sebelah SUV hitam entah milik siapa. Nyatanya ada banyak mobil yang sudah terparkir di sini.
Hujan masih turun walau tidak begitu deras seperti sebelumnya. Setelah memasukan barang-barangku ke dalam tas, aku mencari payung di jok belakang karena aku tidak mungkin hujan-hujanan. Atau sepertinya aku memang harus hujan-hujanan karena aku tidak bisa menemukan satu payungpun di jok belakang.
Aku memang tidak punya pilihan lain 'kan? Berlarian seperti orang gila melawan hujan benar-benar tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Namun di sinilah aku, berlari sepanjang jalan yang tampak lenggang itu dengan mulut yang tidak berhenti melempar makian dan sumpah serapah. Aku meringis karena hujan lagi-lagi turun lebih deras yang membuatku spontan berlari ke arah warung kecil yang ada di depan gerbang kampus—yang sialnya tengah ada segerombolan cowok duduk di sana. Mungkin ada 7 orang, aku tidak memperhatikannya karena sibuk menekan rasa maluku dan membersihkan sisa air di lengan blazer-ku.
Yang benar saja, di dalam tasku yang bahannya tidak waterproof ini terdapat laptopku dan aku tidak bodoh untuk membiarkan laptopku basah lalu rusak dan kemudian kehilangan tugas-tugas yang harus kukumpulkan. Lagipula aku tidak ingin basah kuyub. Ugh, menjijikkan.
"Cantik, Bro!" Di tengah-tengah suara air hujan yang ribut jatuh menyentuh atap warung ini, aku bisa mendengar beberapa suara dari segerombolan cowok itu di belakangku. Aku yakin mereka sedang membicarakanku. Tanpa sadar aku mencengkram cup Americano yang sedaritadi aku genggam. Untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir ini, aku menyesal mengenakkan rok. Selain kedinginan karena hujan, sepertinya rok ini benar-benar menarik perhatian segerombolan cowok di belakang sana.
Kutatap gerbang kampus di seberang sana, pikiranku campur aduk. Aku ketakutan. Nyatanya aku adalah tipe cewek yang akan melewati jalan lain—walau harus memutari sekolah—ketika ada banyak anak cowok yang memblokade lorong atau tangga sekolah.
"Buat gue elah. Lo 'kan udah punya cewek, Met."
Aku semakin bertekat untuk menerjang hujan ketimbang berdiri di sini lebih lama lagi. Bagaimanapun, aku mulai ketakutan. Kupandang sepatuku yang sudah kotor akibat tanah basah—memastikan jika ikat sepatuku tidak kendor.
Ketika akan berlari menyebrangi jalan lenggang itu, seseorang merangkul bahuku dengan tiba-tiba yang membuat tubuhku kaku seketika.
*
Sori aku updatenya lama😭 dan untuk nebus itu, aku bakal double update. Aku gatau masih ada yang nunggu cerita ini atau engga, tapi kalau ada, here you go! Semoga engga bosen❤️🥺
Thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bobby Hadichandra
Fanfiction"Denger-denger nih, gengs, Bobby yang anak Teknik itu mau di skors karna ngisengin dosen baru di fakultasnya dia." * "Hih, doi kan desas-desusnya playboy gitu dari zaman orok. Jadi gue nggak heran deh dia begitu." * "Beb, lo 'kan yang pernah lihat...