Kulihat Debra menggeser tempat duduk di hadapanku dengan kasar lalu menghempaskan bokongnya setelah menghembuskan napas keras-keras. Aku melirik Kirana yang ada di sampingku, bertanya melalui mata. Siang di hari Jumat yang cerah ini aku memang memutuskan untuk makan siang di kafetaria kampus dengan Kirana. "Kenapa sih dia?"
Kirana terkekeh, memandang Debra yang wajahnya tertekuk sedang memainkan ponselnya.
"Pasti habis jualan kue buat penggalangan dana tuh."
"Penggalangan dana?" Dua tahun lebih mengenal Debra, aku tahu cewek itu tidak memiliki kepedulian sosial yang tinggi—terkecuali bersosialisasi untuk update selera fashion atau gosip, tentu saja.
Kirana mengangguk. "Iya. Penggalangan dana. Gue kemarin buat brownies. Lo nggak tahu?"
"Nggak. Kalian join organisasi?"
"Bukan. Kita galang dana buat acara tiga minggu lagi di Panti Kita Bersama." Itu suara Debra. Cewek itu menjawab tanpa mengangkat wajahnya dari ponsel.
Aku masih tidak mengerti. "Panti?"
"Bobby dan temen-temennya yang buat acara di sana. Gue sama yang lain harus bantu-bantu. Ya salah satunya penggalangan dana gitulah."
"Bobby?"
Kirana lagi-lagi mengangguk santai dan memakan salad-nya. "Inget 'kan masalah yang kemarin? Kalau lo harus jadi menejer band-nya, kita mesti bantu-bantu gitu biar acaranya sukses. Lo beneran nggak tahu?"
Aku menggeleng. Aku benar-benar tidak tahu-menahu tentang penggalangan dana atau acara yang akan dilangsungkan di Panti oleh Bobby.
"Denger-dengar, hasil band-nya manggung bakal dikumpulin juga sama hasil penggalangan dana." Kirana menoleh ke arahku. "Kalau dipiki-pikir, doi nggak seburuk itu."
Aku mendengus. "Yakin banget lo." Meski kalimat itu yang keluar dari mulutku, nyatanya aku mulai berpikir. Benarkah? Apa aku tidak salah dengar? Seorang Bobby membuat acara penggalangan dana untuk acara di Panti Asuhan?
Kirana mengangkat bahunya acuh. "Kapan mereka bakal manggung?"
"Setau gue besok. Hari Sabtu di The Reeves." Informasi ini diberikan oleh Fabian ketika kemarin aku tidak sengaja bertemu dengannya di salah satu foodcourt yang menjual roti saat menunggu pesananku di dekat kasir.
"Kalau sempet, besok gue sama yang lain ke sana deh."
Aku tidak membalas lagi. Memandang sandwich tuna di mejaku yang tinggal setengah. Sebenarnya, seberapa banyak yang aku tahu tentang seorang Bobby Hadichandra?
*
Saat kami bertiga akan keluar dari kafetaria dan hampir mencapai pintu, saat itulah segerombolan anak cowok masuk melewati pintu kaca yang membuat kami bersamaan memelankan langkah serta sedikit menyamping—tahu jika mereka akan melewati jalan yang sedang kami lewati. Dan menakjubkannya, di antara cowok-cowok yang aku yakini adalah anak Teknik itu, aku langsung bisa menangkap sosok Bobby yang berjalan bersama teman-temannya.
Ini adalah pertemuan pertama kami setelah insiden berjalan di bawah satu payung beberapa hari yang lalu.
Cowok itu melirikku sekilas yang juga sedang menatap ke arahnya, menukar posisi tubuh temannya ke samping sehingga dia berada di sisi terluar gerombolannya. Tepat saat aku mengalihkan pandangan dari Bobby karena jarak kami yang semakin dekat, bersamaan dengan itu juga bisa kurasakan seseorang menyentuh pucuk kepalaku pelan—sedikit menekannya dan juga, kalau tidak salah memberikan sedikit usapan.
Aku mendelik kaget sekaligus terperangah. Langsung menoleh memandang Bobby yang memamerkan seringaian khasnya itu seraya menarik tangannya dari pucuk kepalaku, melangkah melewatiku dengan santai. Seolah tidak ada yang terjadi. Kudengar sisa-sisa tawa dan obrolan mereka—Bobby dan gerombolannya—semakin menjauh ke tengah-tengah kafetaria. Aku bahkan belum sempat melontarkan makian yang pantas padanya. Tapi... apakah aku masih sanggup memaki saat ini? Ketika jantungku lagi-lagi bergerumuh tidak jelas?
Satu sentuhan itu... ternyata masih tidak memberikan efek yang berbeda selain bagaimana hebatnya desiran darah yang berdesir ke seluruh tubuhku saat ini.
"Kalian makin deket kayaknya." Debra menyenggol bahuku pelan dan tindakan itu mampu menyadarkanku.
"Doi kayaknya suka sama lo." Kirana menambahkan. Kelewat santai. Astaga, Kirana yang biasanya paling rasional, kenapa dia bisa mengatakan hal laknat itu sih?
Memasang wajah penuh keogahan seperti biasa, aku melempar tatapan peringatan pada mereka dan melangkah menuju pintu keluar. "Amit-amit!"
Debra tertawa—tawa pertamanya sejak dia bergabung makan siang di meja kami. "Bilangnya aja amit-amit tapi dalam hati juga lo menjerit 'amen-amen'"
"Mau mati lo?!" Semburku.
"Lagian ngapain juga deh pakai ngusap kepala lo? Kalau lewat mah lewat aja." Itu bukan usapan, sangkalku dalam hati. Debra mendorong pintu kaca itu tanpa mengalihkan tatapannya padaku. "Walaupun gue nggak rela cowok seganteng dan sekeren Bobby suka sama lo, tapi kali ini gue ikhlas. Doi tegaan banget nyuruh kita-kita penggalangan dana habis-habisan. Nggak habis pikir gue."
Aku menoleh ke arah Kirana. "Otak sahabat lo, udah nggak beres kayaknya!" Setelah mengatakan itu dan mengabaikan bualan Debra, aku mengambil langkah berlawanan dari arah yang mereka tuju karena aku harus ke gedung Administrasi.
*
Malamnya aku tidak bisa memejamkan mata. Masih memandang langit-langit kamarku nyalang padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Demi Tuhan, aku bahkan sudah mengatur posisi tidur senyaman mungkin. Dan kalau mau tahu saja, aku juga sudah memutar musik Jazz kesukaanku yang biasanya membuat mataku mudah tertutup.
Sayangnya, setiap memejamkan mata, aksi Bobby yang menyentuh kepalaku siang tadi terus terputar berulang-ulang seperti kaset rusak.
Memalukan sekaligus menyebalkan.
Sentuhannya di kepalaku terasa pelan dan lembut. Akan lebih baik jika siang tadi cowok itu memutuskan untuk mendorong atau menoyor kepalaku. Hal itu akan jauh lebih mudah karena aku hanya harus memupuk rasa benci yang sudah kutanam dengan baik untuknya.
Ketika masih sibuk dengan segudang kebingungan dan pikiran mengenai cowok yang tidak ingin aku sebut namanya itu, getaran ponsel yang ada di nakas dekat lampu tidur menarik perhatianku.
Aku meraih benda yang masih menyala itu dengan malas. Setelah berhasil membaca notifikasi paling atas, tubuhku sontak duduk dengan tegak dan nyaris berteriak kencang karena saking kagetnya.
ravenotradjasana started following you.
*
Hi!
Stay healthy and take care selalu ya! Semoga pandemic ini cepet-cepet selesai biar keadaan balik normal lagi. Lama-lama jenuh juga diem di rumah terus.
Anyway, Bobby ganti poster baru ya🥺 (aku bukan pembuat poster professional sih jadi hasilnya kaya gini hehe).
KAMU SEDANG MEMBACA
Bobby Hadichandra
Fiksi Penggemar"Denger-denger nih, gengs, Bobby yang anak Teknik itu mau di skors karna ngisengin dosen baru di fakultasnya dia." * "Hih, doi kan desas-desusnya playboy gitu dari zaman orok. Jadi gue nggak heran deh dia begitu." * "Beb, lo 'kan yang pernah lihat...