Bab 7

125 22 5
                                    

Supir Grab itu melirikku lewat spion atas dan kelihatan sangat penasaran. Tangisku sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu, namun dengan keadaan hidung dan mata yang memerah, aku yakin jika orang yang melihatku akan langsung tahu jika aku baru saja menangis.

"Habis berantem sama pacarnya ya, Neng?" Aku mengernyit bertanya-tanya kenapa Bapak Grab yang sibuk menyetir tersebut bisa menarik kesimpulan aneh seperti itu. Seolah bisa membaca isi kepalaku, Bapak itu terkekeh geli. "Itu pacarnya di belakang ngikutin terus." Ujarnya yang sontak membuatku langsung menoleh ke belakang. Terhalang oleh kaca belakang mobil yang gelap, aku masih bisa melihat Bobby—walau cowok itu mengenakkan helm full face—dan motornya tengah mengikuti mobil Grab yang kutumpangi dengan kecepatan normal. Mau apa sih dia? Aku tidak pernah berhasil menebak apa yang ada di pikiran cowok itu.

Aku membuang wajah ke depan. Pacar? Hih, amit-amit. "Itu orang jahat, Pak. Bapak cepetin aja mobilnya." Kataku ketus yang malah disambut derai tawa geli. Aku yakin jika Bapak Grab ini sudah melihat Bobby sejak aku menaiki mobilnya karena cowok itu senantiasa berada di sampingku walau aku terus mengusir dan menghiraukan keberadaannya.

"Nggak boleh gitu kali, Neng, sama pacar sendiri. Kalau ada masalah, ya diselesaikan baik-baik." Nasehat Bapak itu yang tidak lagi kuhiraukan karena bingung bagaimana aku harus menjelaskan jika aku dan Bobby bukanlah pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Aku membuang nafas lelah dan bersandar pada punggung kursi mobil sesaat sebelum memejamkan mata mencoba menenangkan diri.

Mobil yang kutumpangi akhirnya berhenti tepat di depan pagar rumahku. Tanpa bisa aku cegah, aku melirik ke belakang sebelum melangkah keluar dari mobil. Bobby dan motornya masih berada di belakang mobil dan kini ikut berhenti. Rupanya dia masih mengikutiku dan aku merengut jengkel. Apa dia belum puas mengerjaiku hari ini?

Setelah mobil Grab itu berlalu, aku melangkah cepat membuka pagar tanpa menoleh lagi. Aku hanya bisa merasakan tatapan Bobby masih mengikutiku sampai aku menutup pagar dengan kasar. Sengaja. Aku hanya ingin Bobby tahu jika keberadaannya yang mengikutiku setelah apa yang dia lakukan hari ini benar-benar mengangguku.

*

Hari Senin terasa datang lebih cepat dari seharusnya. Baru beberapa jam yang lalu rasanya aku menemani Ayana—sepupuku—mengelilingi IKEA mencari furniture untuk apartemen barunya di akhir pekan.

"Ah," Lututku terantuk meja riasku sendiri ketika aku menyisir rambutku asal dengan tangan, aku tidak bisa menemukan sisirku, omong-omong. Di hari Senin yang memang menjadi hari menjengkelkan segala umat, aku terlambat bangun. Aku tidak mendengar alarm-ku berbunyi. Sialnya, aku ada kelas pukul 08:00 pagi dan sekarang sudah pukul 07:40. Dengan gerakan cepat aku keluar dari kamar dan menuruni tangga. Aku biasanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit—tanpa macet—untuk sampai di kampus. Di bawah, di meja makan sudah tidak ada siapa-siapa. Aku ingat Papa dan Mama mempunyai urusan yang membuat mereka sudah berangkat pagi-pagi buta. Sebuah sticky note ditempel di pintu kulkas. Mama mengingatkanku untuk mengunci pintu.

Aku meringis ketika sadar jika Pak Ujang juga tidak masuk kerja hari ini. Rencananya, aku ingin beliau mengantarku dengan sepeda motornya. Aku yakin jalanan kini sedang macet-macetnya dan mengendarai mobil adalah ide paling buruk ketika waktu yang kumiliki tersisa tidak lebih dari 20 menit.

Setelah mengunci pintu rumah, aku menuju pagar dan membukanya dengan satu tangan. Tanganku yang satunya kini membuka aplikasi Grab. Semoga ada Ojol yang lewat di sekitar sini. Ketika berbalik dan mendongak ke depan, aku nyaris menjatuhkan ponselku sendiri karena terkejut.

"Lo..." Aku kehilangan kata-kataku.

Detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya—yang kuyakini karena efek dari keterkejutanku. Bobby Hadichandra ada di sana, duduk di atas motornya dengan santai tepat di depan pagar rumahku bermandikan sinar matahari yang terasa hangat dan cerah pagi ini. Cowok itu kelihatan segar yang mampu membuatku gugup setengah mati. Aku mulai bertanya-tanya sejak kapan dia nangkring di depan rumahku bersama motor kebanggaannya itu. Dan... kenapa dia sudah nangkring di sini pagi-pagi sekali?!

Bobby HadichandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang