22. sorry?

28 6 1
                                    

Pagi ini aku terbangun dengan mata sembab ku. Entah apa sebabnya, aku menangis malam ini. Rasanya bukan hanya luka pada wajahku yang menyebabkan tangisan ini, namun hatiku rasanya sesak entah apa sebabnya. Aku yakin setiap wanita pernah merasakan ini bukan?

Aku merasa semakin sakit luka ini. Ditambah tangisan malam tadi, rasanya semakin perih.

Aku bangun menghampiri cermin yang tersedia di kamar ini untuk melihat bagaimana keadaan wajahku saat ini. Tampak berwarna biru legam. Aku menyentuhnya disertai dengan ringisan. Sangat perih.

Tok tok tok

Aku menoleh, sangat malas jika Kana yang ada dibalik pintu itu. Namun, bagaimana jika Bunda yang ada di sana?

Aku membukanya sedikit ragu, dan benar saja jika dibalik pintu itu adalah Kana yang membawa mangkuk besar yang berisi air dan handuk kecil.

"Pagi" Kana dengan senyum manis yang jarang ia perlihatkan.

Aku tak menjawabnya lalu duduk di tepian ranjang kamar ini. Aku sangat malas menatap wajah yang harusnya sedang aku pandangi karena kemarin aku sangat rindu padanya.

"Obatin dulu ya lukanya" ia duduk di samping kananku. Dimana sikap ketusnya? Mengapa ia menjadi lembut seperti ini?

Aku memalingkan wajahku menghadap kiri enggan menatap Kana. Namun ia segera membalikkan tubuhku menghadapnya.

"Diobatin dulu, ngambeknya lanjut nanti"

Aku masih mencoba membalikkan tubuhku, namun tenaga Kana lebih besar dari aku.

"Nggak usah ngeyel, dari semalem luka lo belum diobatin. Nanti bisa bisa infeksi"

Ucapan Kana ada benarnya, namun gengsi ku masih saja ingin memenangkan logikaku.

"Sshhh, sakit" desis ku ketika handuk basah itu menempel pada bibir kiri ku.

"Maaf"

Kana melanjutkan kegiatannya dengan telaten dan hati hati. Bahkan ia juga membuka perban di pelipis ku kemudian meneteskan obat luka di sana.

Aku menatapnya lekat. Seolah luka itu sudah hilang dan aku tak merasakannya lagi.

"Pukul gue semau lo"

Aku mengernyit tak mengerti dengan ucapannya.

"Agar gue bisa merasakan sakitnya lo"

Aku menghela nafas pelan.

"Dengan gue mukul lo, nggak bikin luka gue sembuh"

Kana diam mendengar ucapan ku dan menghentikan kegiatannya mengobati ku.

"Maaf"

Aku terkekeh mendengarnya.

"Baru kemarin lo bilang ke Aksa, kalo maafnya nggak bisa nyembuhin luka gue"

"Tapi sekarang lo ngelakuin hal yang sama?"

"Bahkan lo sendiri nggak tau dimana letak kesalahan Aksa kan? Lo cuma ngendelin emosi, dimana logika lo?"

"Gue kecewa sama lo" aku tak ingin mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya. Namun aku tak ingin Kana melakukannya lagi.

Kana hanya menunduk tak menjawab ucapanku.

"Maaf" ucapnya sekali lagi.

"Yang harus memaafkan lo bukan gue"

"Tapi Aksa"

---

Kini aku berada di atas bukit bersama Kana. Ya, aku sudah tak marah lagi dengan Kana. Bagaimana bisa aku marah terlalu lama pada sahabat ku sendiri. Ralat, manusia yang aku cintai.

KaTa [On Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang