10. Jeremi Inara

116 59 4
                                    

       Sersan Adi pernah bilang padaku. “Cara terbaik untuk menikmati hujan adalah degan duduk bersantai dan di temani dengan secangkir kopi atau teh hangat.” Namun itu menurutnya. Manurutku sekarang ini, cara terbaik untuk menikmati hujan adalah dengan bertarung satu lawan satu di bawah derasnya air hujan yang membasahi tubuhku.

       Sungguh, api semangatku seakan membakar keraguan dan rasa takut di dalam diriku. Pertarungan sesama pengawal pribadi dari pemimpin perusahaan ini seperti akan sangat di sayangkan sekali jika tidak bisa menikmatinya.

       Pertarunganku saat ini hampir berlangsung selama satu jam dengan deras hujan yang masih setia menemani kami. Sementara Seiko-sama, ia hanya menyaksikan dengan raut wajah khawatir dari balik pintu gudang itu.

       Walau pun usianya masih sepantaran denganku, kemampuan bertarungnya tidak bisa di anggap remeh sedikit pun. Sebentar saja aku kehilangan konsentrasiku, pedangnya itu akan telak menebasku.

       Aku berlari kesana-kemari, menepis, berguling, menghindar, meloncat, menunduk, lantas menyerang balik. Sejauh ini, kami belum mendapatkan luka yang serius. Hanya sedikit gores dan lebam akibat terjatuh dan terkena pukulan.

       “Apa kemampuanmu hanya seperti ini, hah!? Apa yang bisa di banggakan oleh Seiko-sama jika memiliki pengawal pribadi seperti dirimu ini!?” Jia berseru padaku di sela-sela pertarungan.

       “Persetan dengan ocehanmu! Kalau kau memang tangguh, coba saja untuk mengalahkanku!” Aku balas berseru padanya, sembari tanganku dengan lincah menggerakan senjata untuk menepis serangannya.

       “Kau pasti adalah penganti dari Sersan Adi, bukan? Tongkat Titanium itu pastilah di wariskannya padamu. Namun sangat di sayangkan, dengan kemampuanmu yang saat ini, bahkan untuk menyentilnya saja ku rasa kau tidak akan sanggup.” Jia terus-menerus melayangkan serangannya padaku.

       “Aku tidak akan pernah bertarung melawan guruku sendiri!” Aku berseru padanya, sembari berguling menghindari serangannya.

       “Cobalah kau berkaca! Kau tidak akan mampu melindungi Seiko-sama dengan kemampuanmu yang saat ini!” Jia menebaskan pedangnya padaku. Tebasan yang sangat kuat dan membuatku terpental jauh saat menepisnya.

       Setelah sekian lama pertarungan ini berlangsung, aku akhirnya terdesak. Terkena sabetan dari pedangnya. Membuat luka gores yang panjang di dadaku. Seketika aku langsung mengaduh kesakitan. Darah segar mengalir keluar dari goresan itu, di tambah derasnya air hujan yang membuat luka ini semakin pedih rasanya.

       “Bagaimana rasanya setelah mencicipi pedangku untuk pertama kalinya?” Jia mengacungkan pedangnya padaku. Jaraknya hanya sekitar lima langkah di depanku.

       Aku mengaduh kesakitan sembari memegangi luka di dadaku. Apa aku akan kalah dalam pertarungan perdanaku? Tidak! Aku tidak boleh kalah apa pun yang terjadi. Seiko-sama harus keluar dari tempat ini dengan selamat!

       Aku mecoba untuk berdiri tegap, memulihkan semangatku seperti sedia kala, mencoba begitu keras untuk menahan rasa sakit ini. “Kau tahu, guruku pernah bilang padaku, bahwa usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Dan sekarang, akan ku buktikan perkataan itu dengan tekadku!” Aku berseru padanya.

       Jia lantas segera menghampiriku dengan cepat dan menebaskan pedangnya padaku. Namun aku seakan bisa membaca pergerakannya. Tangan kiriku seakan bergerak dengan sendirinya untuk menepis serangan itu. Lantas ketika serangan itu telah berhasil ku tepis, aku mengarahkan kunaiku ke arah perutnya. Jia yang terkerjut segera menghindar, berguling ke arah kiriku.

       Setelah terbebas dari serangannya, aku lantas berlari ke arah pepohonan. Jia menggeram, segera mengejarku dari belakang. Setelah sedikit lagi ia dapat meraihku, aku mengarahkan kunaiku ke arahnya sambil tetap dalam posisi berlari. Aku menekan tombol pertama dari sarung tangan kananku, lantas dengan cepat kunai itu melesat ke arahnya. Namun sekali lagi, Jia berhasil menghindari kunai itu walau pun dengan raut wajah terkejutnya, lantas sergera mengejarku kembali.

Sesuatu Di Ujung JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang