BAGIAN 1

850 19 0
                                    

Matahari baru saja tergelincir di ufuk barat, ketika penduduk Desa Kranggan meninggalkan tanah pekuburan yang terletak cukup jauh dari desa itu. Hanya seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang tertinggal, dan kini berdiri mematung sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru. Sedikit pun tubuhnya tidak bergeming. Bahkan tanpa mempedulikan orang-orang yang meninggalkannya semakin jauh, dia masih terpaku di situ.
Pemuda itu terus berdiri tegak memandangi tanah kuburan yang masih baru didepannya. Tampak kedua bola matanya berkaca-kaca. Sesekali terlihat bahunya berguncang, disertai dengan suara isak tertahan. Kemudian perlahan dia berlutut. Tangannya tampak bergetar meraba gundukan tanah merah di depannya. Tidak ada lagi seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Tanpa disadari, setitik air bening menggulir dari sudut matanya.
"Sudah sore. Kenapa kau belum pulang, Anak Muda...?"
"Oh..?!" Pemuda itu tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak dan kering dari arah belakang. Cepat-cepat dia menghapus air matanya, lalu bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu didepan pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh agak bungkuk, berjubah hitam panjang dan longgar.
"Semua orang sudah pulang. Kenapa kau masih tetap di sini, Anak Muda?" Tanya laki-laki tua berjubah hitam itu.
"Siapa kakek ini?" Pemuda berwajah cukup tampan itu malah balik bertanya.
"Orang-orang biasa memanggilku Ki Jungut. Aku pengurus tanah kuburan ini," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri. Walaupun suaranya terdengar kering dan serak, tapi nadanya terasa begitu hangat dan ramah.
Beberapa saat pemuda yang berbaju biru tua itu mengamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki laki-laki tua yang berdiri sekitar tiga langkah di depannya ini.
"Siapa namamu?" Tanya Ki Jungut.
"Kadik," sahut pemuda itu singkat.
"Yang dikuburkan tadi keluargamu?" Tanya Ki Jungut sambil menunjuk kuburan di belakang pemuda ini.
"Adikku," sahut Kadik, terdengar datar nada suaranya.
"Perempuan?" Tanya Ki Jungut lagi.
Kadik hanya mengangguk.
"Sudah bersuami?"
"Belum."
"Lalu, kenapa dia sampai meninggal? Sakit...?"
Kadik menggeleng.
"Kenapa...?" desak Ki Jungut lagi.
Tapi Kadik tidak menjawab. Matanya terlihat kembali merembang berkaca-kaca.
Sementara Ki Jungut memandangi dengan sinar mata yang begitu tajam, menusuk dalam ke bola mata pemuda berwajah cukup tampan di depannya.
Perlahan Kadik menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Kemudian dia melangkah mundur menjauhi laki-laki tua yang tidak dikenalnya ini. Dari bola matanya yang berkaca-kaca, dia memandangi laki-laki tua berjubah hitam itu dalam-dalam.
"Kau tidak perlu takut atau curiga padaku, Anak Muda. Justru kalau kau punya persoalan, aku bersedia membantumu," jelas Ki Jungut, seakan tahu isi hati pemuda itu.
"Aku tidak kenal denganmu, Ki. Kenapa kau ingin membantuku?" Tanya Kadik curiga.
Ki Jungut hanya tersenyum saja. Dia melangkah mendekati pemuda itu, dan menepuk pundaknya dengan lembut.
Sedangkan Kadik hanya diam saja, dan terus memandangi laki-laki tua itu tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu dia merasakan adanya hawa sejuk mengalir dari tangan keriput yang menempel di pundaknya. Saat itu juga Kadik merasa lebih tenang. Dan dia tidak ingat lagi dengan kekasihnya yang baru saja dikuburkan. Kesedihan yang tadi melanda dirinya kini benar-benar lenyap tak berbekas.
"Ayo ikut aku," ajak Ki Jungut.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Kadik mengikuti ayunan langkah laki-laki tua berjubah hitam yang baru dikenalnya ini. Sedikit pun dia tidak berpaling pada kuburan adiknya. Dia terus melangkah mengikuti Ki Jungut.

***

Matahari terus tergelincir semakin jauh ke kaki langit sebelah barat. Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu lembut dan indah dipandang. Sedikit pun sang mentari tidak menghiraukan semua yang ada di muka bumi. Dia terus bergerak menggelincir semakin tenggelam. Hingga akhirnya hanya rona merah saja yang membias di kaki langit.
Derit serangga mulai terdengar mengiringi kepergian sang mentari ke peraduannya. Angin pun mulai terasa menebarkan hawa dingin. Burung-burung kembali ke sarangnya masing-masing. Begitu riuh sekali senja ini. Namun hanya sebentar saja kesibukan itu berlangsung. Dan keadaan pun berubah menjadi sunyi senyap, hingga hanya derit serangga malam saja yang terdengar menyayat.
Kegelapan langsung menyelimuti seluruh belahan permukaan bumi ini. Dan tugas sang mentari pun digantikan dewi bulan yang cantik dengan sinarnya yang keperakan, begitu lembut menyirami bumi. Malam terus merayap semakin larut, bergerak sejalan dengan sang waktu.
Sementara di tanah pekuburan Desa Kranggan, tak lagi terlihat seorang pun di sana. Begitu sunyi keadaannya. Bahkan tak terdengar sedikit pun gerit binatang malam. Satu-satunya cahaya yang menerangi hanya sang dewi malam yang menggantung di langit hitam.
Namun, tiba-tiba saja terlihat sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di antara lebatnya pepohonan di sekitar tanah pekuburan itu. Hanya sebentar saja bayangan hitam itu menghilang. Kemudian dari balik sebatang pohon beringin yang besar, muncul seseorang mengenakan baju hitam panjang dan longgar.
Sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya tertutup kain hitam seperti kerudung. Dia melangkah perlahan-lahan melewati beberapa gundukan tanah berbatu nisan. Ayunan kakinya baru berhenti setelah sampai di dekat sebuah gundukan tanah yang masih baru.
"Hm...." Terdengar gumaman kecil dari mulutnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin kehadirannya di tengah kuburan malam-malam begini diketahui orang lain.
Saat itu terdengar suara lolongan anjing hutan di kejauhan. Begitu memilukan sekali suara lolongan anjing hutan itu.
Sementara orang berjubah hitam longgar itu mengangkat tangannya ke atas perlahan-lahan. Dan perlahan pula kepalanya terdongak ke atas, mengikuti gerakan kedua tangannya. Dari bayang-bayang kerudung hitam, terlihat bibirnya yang merah bergerak-gerak perlahan. Beberapa saat dia menengadahkan kepalanya dengan kedua tangan terangkat ke atas. Tampak asap tipis mengepul dari bawah telapak kakinya. Lalu, mendadak saja....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja cepat sekali dia melompat tinggi ke udara. Lalu dengan deras pula dia meluruk turun dengan kaki tetap merapat lurus ke bawah. Tepat di atas kuburan yang tampaknya masih baru dia menghentakkan tangannya hingga merapat dengan tubuhnya. Dan seketika itu juga....
Bresss!
Tiba-tiba tubuhnya menembus kuburan yang masih baru! Begitu cepat sekali gerakannya, hingga sulit untuk diikuti dengan pandangan mata biasa. Tahu-tahu orang itu sudah lenyap, tenggelam ke dalam kuburan. Namun tak berapa lama kemudian...
Brulll!
"Yeaaah...!"
Kembali terdengar teriakan keras menggelegar dari dalam lubang kuburan yang sudah menganga cukup lebar. Tampak asap tebal mengepul tinggi ke udara dari dalam kuburan itu. Bergulung-gulung bagaikan sebuah tiang penyangga langit.
"Ha ha ha...!"
Malam yang begitu sunyi, seketika pecah oleh suara tawa kering menggelegar. Bersamaan dengan suara tawanya, orang aneh berbaju serba hitam itu muncul dari dalam lubang kuburan. Cepat sekali dia melompat keluar, sambil memondong sesosok tubuh yang terbungkus, kain putih bernoda tanah merah.
Perlahan dia menurunkan mayat itu dari pondongannya. Seperti memperlakukan sebuah barang yang mudah pecah, diletakkannya mayat itu dengan hati-hati sekali di tanah yang berumput basah tersapu embun. Diamatinya sejenak mayat itu. Kemudian mulai dibukanya ikatan kain putih yang membungkus.
Hati-hati sekali dia melakukannya. Seakan tidak ingin merusak mayat itu. Hanya bagian kepalanya saja yang dibuka. Tampak seraut wajah cantik yang pucat terlihat begitu kain putih bernoda tanah sudah terbuka.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat diamatinya wajah cantik memucat kaku itu. Jari-jari tangannya yang kurus, sedikit bergetar saat meraba wajah wanita itu.
"Cantik.... Sungguh cantik sekali," gumamnya perlahan. "Sayang sekali kalau gadis secantikmu harus terbaring sendiri di dalam sana. Aku percaya, kau pasti akan berterima kasih padaku. Dan tak ada seorang pun yang akan menyakitimu lagi. Hhh...!"
Kemudian dibungkusnya kembali kepala mayat wanita itu, dan mengikatnya dengan rapi. Lalu, dia pun memondong mayat wanita itu. Kepalanya terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada orang lain yang melihatnya. Dan suara tawanya yang tergelak kembali terdengar memecah kesunyian malam di kuburan ini.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, orang aneh itu melangkah cepat membawa sosok mayat yang diambilnya dari dalam kuburan. Begitu cepat dan ringan sekali ayunan kakinya, hingga dalam sebentar saja sudah jauh meninggalkan tanah kuburan. Suara tawanya yang lepas, masih terus berderai memecah kesunyian malam.
"Ha ha ha...!"
Tak ada seorang pun yang menyaksikan. Hanya rembulan di langit yang menyaksikan kejadian aneh dan mengerikan itu. Sementara suara tawa itu menghilang, bersamaan dengan tak terlihatnya lagi orang aneh yang masuk ke dalam kuburan, dan mengeluarkan mayat dari kuburan itu.

76. Pendekar Rajawali Sakti : Iblis Penggali KuburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang