Zena baru saja pulang dari rumah Sila setelah mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh Bu Amy yang harus dikumpulkan lusa. Tangannya mengambil ponsel dari dalam sling bag miliknya dan berniat untuk mengecek pesan, namun niatnya terpaksa harus ia urungkan saat melihat ponselnya mati total.
"Mati lagi, gimana cara ngabarin Ibu coba." Zena merengut sebal, ia melirik jam tangan berwarna abu-abu yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Masih pukul setengah delapan malam. "Masih sore ternyata, bosen nanti dirumah. Kemana ya?" Zena menatap trotoar yang berada di sebrang, tersenyum saat melihat ada sebuah Cafe yang sepertinya menarik untuk di kunjungi.
Dirinya menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada kendaraan yang lewat agar bisa menyebrang. Tidak ada salahnya untuk mampir sebentar, lagipula jarak Cafe tersebut tidak begitu jauh dari rumahnya.
_-_-_
Zena menaruh buku yang dibawa ke atas meja, membenarkan letak kacamata minusnya lalu mengambil buku menu. Dirinya melambaikan pada tangan pada pelayan yang tidak jauh darinya.
"Mbak," pelayan tersebut menghampiri Zena seraya tersenyum ramah.
"Iya, mau pesan apa?"
"Saya pesan mocacinno ya, mbak. Jangan terlalu manis."
"Baik. Ada lagi?" Zena menggeleng, "Itu aja, mbak." pelayan tersebut mengangguk lalu pergi. Zena menatap sekeliling sambil jarinya mengetuk-ngetuk meja untuk menghilangkan rasa bosan yang perlahan datang. Sampai sebuah tepukan ringan di bahunya membuat ia segera menoleh.
"Hai."
"Hai. Indra, ya?"
Seseorang yang tidak lain adalah Indra mengangguk, "Sendirian, lagi?" tanyanya sambil tersenyum. Sementara Zena yang tau bahwa terdapat nada jahil dalam ucapan Indra langsung terkekeh.
"Mau ngeledek lagi? Tenang, gue bukan tipe orang yang gampang bunuh diri, kok."
Indra tertawa, "Gue gak nuduh gitu loh, ya."
"Tapi niat lo gitu kan? Ngaku deh."
Zena melipat kedua tangannya di atas meja, tubuhnya ia condongkan ke arah Indra seraya menatap cowok itu intens. Indra yang mendapat tatapan seperti itu pun hanya tersenyum, "Tadinya sih nggak niat tapi lo malah ngingetin. Yaudah, di niatin aja." ujarnya santai. Zena merengut sebal. Tidak lama kemudian pesanannya datang, ia mengucapkan terimakasih.
"By the way, lo kesini sendiri?" tanya Zena.
"Nggak, sama para pengutang."
"Eh, dimana?"
Indra sedikit menggeser tubuhnya, memberi ruang agar Zena dapat melihat Akbar dan Dava yang tepat berada di belakangnya, hanya berjarak dua meja. Keduanya tampak tidak kaget saat Zena menatap mereka, Dava dan Akbar justru kompak melambaikan tangan kepada Zena yang hanya dibalas senyuman oleh perempuan bekacamata itu.
"Mereka benaran ngutang sama lo?"
"Enggak. Percaya aja, sih."
"Gue kan cuma mastiin. Lagian tuh terbalik, justru tampang lo yang keliatannya sering ngutang."
"Anjir!"
Zena tertawa, merasa puas saat melihat ekspresi kesal Indra. Cowok itu meminum kopi miliknya yang ternyata--baru Zena sadari--sengaja di bawa oleh Indra saat cowok itu menghampirinya. "Minus berapa?" lagi, Indra kembali membuka percakapan. "Dua. Padahal tiga bulan lalu masih satu koma lima." jawab Zena sambil melepas kacamatanya. Sementara Indra tampak memikirkan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVER REGEN
Teen FictionR. Ayu Adhistia Razena Seorang perempuan keturunan bangsawan yang selalu menuruti segala macam aturan keluarganya. Dengan syarat, privasinya tetap dijadikan nomor satu tanpa usikan siapapun yang tidak dia kehendaki. Razena tidak pernah suka di tuntu...