Alunan lagu A Thousand Years milik Christina Perri menggema dari sebuah radio di dalam Kamar dengan nuansa warna biru dongker yang sudah didekorasi sedemikian rupa layaknya langit malam. Sehingga saat lampu utama mati maka hiasan menyerupai bintang yang membentuk sebuah Konstelasi menyala terang. Di luar sana, hujan masih menjadi melodi alam yang setia menemani warga Bogor sejak sore tadi. Turun dengan deras tanpa gerimis lebih dulu.
Zena baru saja selesai mandi, ia melirik jam yang tergantung di dinding samping kiri pintu kamar. Pukul tujuh tepat. Zena menggantung handuk yang digunakan untuk mengeringkan rambutnya di gantungan baju dalam kamar mandi, kemudian duduk di kursi meja belajar dan langsung mengambil buku tulis Bahasa Indonesia.
Baru saja Zena membuka dua lembar buku tulisnya, ponselnya bergetar menunjukkan panggilan masuk. Zena mengernyit begitu melihat panggilan tersebut berasal dari nomor yang tidak dikenal. Ia mematikan radio miliknya lebih dulu sebelum akhirnya mengangkat telpon tersebut.
"Hallo?"
"Hai calon pacar!"
"Maaf, siapa ya?"
"Yaelah tadi kan baru ketemu di sekolah. Masa udah lupa."
"Ya orang di sekolah gue kan banyak." Zena memutar bola matanya sebal.
"Love yang gue kasih kurang banyak? Sampe langsung lupa."
"Indra?"
Tebak Zena begitu ingat kalau orang yang hari ini memberinya isyarat love adalah lelaki urakan milik kelas 12 IPA-5 tersebut.
"Yup. Lagi ngapain?"
"Lo dapet nomor gue darimana?" Zena balik bertanya.
"Rahasia, dong."
"Indra, darimana?"
"Ada pokoknya. Nanti kalau gue kasih tau, orangnya malah lo amuk."
"Ish! Ini ngapain lagi nelfon? Kurang kerjaan lo, ya?"
"Ini tuh namanya usaha pedekate. Lo kan calon pacar gue." Di sebrang, tawa Indra terdengar lepas. Diselingi tawa lain yang terdengar, sepertinya cowok itu sedang berkumpul bersama teman-temannya.
"Yeh.. Pede banget, lo."
"Begini Zena, gue bukan Dilan yang bisa ramal. Gue cuma Indra anak IPA-5 yang bisa yakin,"
"Yakin tentang apa?"
Indra menghela napas sejenak, "Yakin kalau suatu saat gue akan jadi orang yang paling lo butuhkan."
"Ndra.."
"Udah ya, gue ada urusan. Oh iya, gue mau ngajak lo jalan besok. Jam tujuh gue jemput. Jangan nolak."
"Kayak tau aja alamat rumah gue."
"Gampang itumah. Pokoknya hari minggu besok kita have fun! Bye sayang."
"Najis."
Sebelum telpon terputus Zena masih sempat mendengar suara Indra yang tertawa, membuat Zena menaruh ponselnya kembali sambil tersenyum tipis. Matanya tidak lagi menatap penuh minat pada buku tulis Bahasa Indonesia miliknya yang terbuka. Zena menghembuskan napas lalu memilih untuk mematikan lampu utama dan berbaring di ranjang. Matanya memperhatikan satu persatu Konstelasi bintang yang menyala, tangannya bergerak menunjuk satu persatu konstelasi tersebut.
"Terlalu cepat. Altair, please. Gue nggak mau jatuh secepat ini." Zena mengambil guling lalu memeluknya. Matanya beralih menatap sebuah bingkai foto di atas laci, membuat sepintas memori langsung merangkak masuk menuju otaknya. Membuat mata Zena berkaca-kaca dan langsung meneteskan air mata, perlahan suara isakannya terdengar memenuhi kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVER REGEN
Teen FictionR. Ayu Adhistia Razena Seorang perempuan keturunan bangsawan yang selalu menuruti segala macam aturan keluarganya. Dengan syarat, privasinya tetap dijadikan nomor satu tanpa usikan siapapun yang tidak dia kehendaki. Razena tidak pernah suka di tuntu...