Hidup bukan tentang makanan yang terasa pahit.
Tentu saja ada makanan yang terasa manis.
Begitu juga dalam menjalani kehidupan.
Akan selalu ada rasa pahit dan rasa manis dalam menjalaninya.*****
"Bu Siti, ini hasil jualannya hari ini. Alhamdulillah banyak yang terjual, bu." ucap Masita sembari menyodorkan beberapa lembar uang kepada pemilik jajan yang ia jual.
Bu Siti menatap ke arah anak kecil yang sedang berdiri di samping Masita. Ia tersenyum.
"Nisa habis darimana?" tanya Bu Siti.
"Nisa abis bantu ibu jualan. Lihat, tadi Nisa diberi mainan ini sama anaknya ibu cantik yang beli jajan yang Nisa jual." ucap Nisa sembari memperlihatkan mainan peri berwarna pink itu.
"Ibu juga ada hadiah untuk Nisa, ini uang buat Nisa. Pake beli permen nanti, ya." ucap bu Siti lagi sembari menyodorkan selembar uang dua ribu.
"Bu, jangan repot-repot." ucap Masita.
"Eh, gak apa-apa. Itung-itung ini pemberian seorang ibu kepada anaknya."
Masita tersenyum mendengar ucapan bu Siti.
"Ini ada sedikit makanan, tadi sengaja saya siapkan untuk ibu. Pasti ibu dan Nisa belum makan." ucap bu Siti lagi sembari memberikan sebuah plastik berisi nasi yang sudah dibungkus dengan kertas nasi.
"Ya Allah bu, terimakasih banyak. Kami sangat merepotkan ibu. Terimakasih, bu." ucap Masita lagi.
"Tidak apa-apa, mungkin besok-besok kamu yang membantu saya. Kan tidak ada yang tau ke depannya gimana."
"Iya bu, kami pulang dulu, bu. Sudah sore, kasihan Nisa. Permisi bu, assalamualaikum."
"Waalaikumusallam wr.wb."
Sesampainya di rumah, Masita langsung menyiapkan makanan untuk Nisa.
Nisa menatap sang bunda lalu berkata, "bunda, bunda sudah makan? Kok nasinya hanya bunda siapkan untuk Nisa saja?"
Masita tersenyum, "iya, bunda sudah makan," bohonya, "Nisa makan dulu, setelah itu mandi siap-siap untuk sholat." Nisa hanya mengangguk.
Begitulah, seorang ibu memang demikian. Rela berbohong untuk anaknya. Mengatakan sudah padahal belum, mengatakan ada padahal tidak ada.
Wajah Masita terlihat sedikit pucat, tadi pagi ia hanya memakan sepotong roti saja. Nafsu makannya hilang begitu saja, kalau di paksa untuk makan, ia akan mual.
*****
Nisa sudah menyelesaikan makannya, ia segera menghampiri Masita. Sebelum ia masuk ke kamar, ia melihat Masita yang tengah menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
"Bunda pasti nangis, bunda pasti sedih karena ayah pergi." batin Nisa.
Ia mengurungkan niatnya untuk menghampiri Masita, ia berbalik dan duduk di tempat ia makan tadi. Masita belum juga keluar, sedang Nisa tidak berani masuk kamar. Ia tidak ingin Masita tahu bahwa ia melihat Masita sedih. Karena, nantinya Masita akan merasa bersalah. Tentu saja.
"Nisa, kenapa masih di situ? Nisa gak mandi? Sana mandi, sayang."
Nisa tidak menjawab, ia memilih mendekat pada Masita dan memeluknya erat.
Nisa tidak menangis, ia menahan dirinya untuk tidak menangis. Ia memeluk tubuh Masita dengan erat.
"Sayang,apa ada yang terjadi?, tanya Masita.
" Hmmm tidak bunda, Nisa pengen peluk bunda saja. Memangnya tidak boleh, bunda?.
Masita tersenyum lalu memeluk putrinya dengan erat.
"Terimakasih sudah selalu menguatkan bunda, nak" batin Masita.
*****Heiii Long time ni see:)
Selamat membaca tulisanku, hihi.
Maaf ya masih banyak typo.Salam rindu dari penulis ya, buat siapa lagi? Ya pasti buat kamu😍😍😍
Ingat ya, jangan menyerah meski kamu berdarah-darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Tangguh
Short StorySekalipun sayap burung itu terluka berkali-kali, tidak ia jadikan alasan untuk jatuh tersungkur lalu mati begitu saja. Sekalipun sayap burung itu penuh dengan darah, tidak ia jadikan alasan untuk kalah dan menyerah. Sekalipun sayap burung itu tidak...