"Namaku adalah Syahri Faizal.
Aku biasanya dipanggil Syahri."
Begitu kataku saat aku memperkenalkan diri. Aku tidak berkata banyak, karena memang tidak banyak yang bisa dibicarakan. Dahinya mengernyit, matanya menyipit dan menatapku tajam. Membuatku langsung mati kutu. Dia memberikanku secarik kertas. Kemudian aku mulai menjawab dengan seadanya.
Dia semakin terdiam, dan aku mulai panik; lalu menangis kecil.
Orang-orang yang baru bertemu dengannya mungkin tidak akan percaya bahwa dia memiliki jabatan yang sangat tinggi di salah satu perusahaan yang paling berkuasa di negeri ini. Tubuhnya yang kurus kering, kaki yang seperti tidak sanggup untuk menahan berat badannya sendiri; botak berbentuk lingkaran yang hampir tidak terlihat di tengah kepalanya karena tertutupi oleh topi tukang yang selalu dipakainya setiap saat itu. Namun aku tahu dia berusaha menyembunyikannya.
"Baiklah. Data-data yang anda berikan, prospek kerja dan hasil wawancara sedang kami evaluasi. Setelah kami selesai membandingkan hasilnya dengan calon-calon pelamar yang lain, maka akan segera kami putuskan. Masalah anda diterima atau tidak, akan kami hubungi lagi nanti. Selamat siang."
Dia berdiri dari kursi kerjanya yang besar dan berbantal itu. Berjalan meninggalkanku keluar dari ruangan ini. Aku hanya terduduk merenungkan nasibku sehabis ini, "Bagaimana aku bisa membayar sisanya ke Mpok Ida.." tanpa sadar aku berkata.
.
Hanya sebaris kata itu saja yang dia katakan selama interview.
Tadinya kupikir sesi interview akan panjang lebar dan lama, namun dia hanya memberikanku secarik kertas yang berisi tiga pertanyaan ringkas.
Aku sudah tahu kalau aku tidak akan berhasil mendapatkan yang satu ini sejak awal aku melangkahkan kaki di kantor ini. Aura dan suasananya sedang tidak enak.
Namun apa salahnya mencoba, kataku.
Tapi ini memang adalah suatu percobaan yang sia-sia.
Ketiga pertanyaan itu adalah:
1. Apakah yang membuat anda berpikir untuk melamar pekerjaan ini?
2. Apakah anda sangat menginginkan pekerjaan ini?
3. Untuk apakah anda bekerja disini?
.
"Terimakasih, silahkan datang kembali!"
Dia tersenyum, secara spontan aku pun juga membalas senyumannya. Pramuniaga itu terlihat lucu sekali dengan rambutnya yang dikuncir dua.
Aku berjalan pulang dengan lunglai, seperti orang bingung.
Mobil tidak punya, motor pun sudah ditarik karena tidak selesai kredit. Aku biasanya menggunakan angkutan kota untuk bertansportasi kemana-mana. Namun kendaraan-kendaraan tersebut sudah dialokasikan kepada jasa taksi online. Aku tidak memiliki uang sebanyak itu untuk memesan ojek online, apalagi taksi online. Aku kemudian berjalan ke arah stasiun kereta terdekat.
Stasiun Manggarai. Dibuka pada tahun 1918, yang sebenarnya adalah stasiun peninggalan dari masa kolonial Belanda dulu oleh Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Dikenal sebagai jalur Batavia - Buitenzorg sekitar tahun 1873. Banyak korban berjatuhan dalam proses pembuatannya; salah satunya adalah kakek dari kakekku. Namun itu dulu sekali, sekarang stasiun ini sudah menjadi salah satu stasiun paling maju di negara ini dengan desainnya yang sangat futuristik. Tempat ini baru saja direnovasi sekitar beberapa tahun yang lalu.
Sudah jam 10 malam, namun masih banyak sekali orang yang berlalu lalang disini. Kota ini memang sangat produktif. Orang orang bekerja tiada henti, dari pagi hingga subuh; dan terus berlanjut. Namun siklus itu juga lah yang membuat banyak orang menjadi depresi dan mengakhiri hidupnya begitu saja. Memang akhir-akhir ini aku sering mendapati pembicaraan tentang modulasi efektif untuk menekan tingkat kematian yang meningkat pesat oleh pemerintah, namun semua orang tahu bahwa itu hanyalah omong kosong semata. Apalagi baru saja tadi pagi aku melihat headline di sebuah koran bahwa seorang wanita paruh baya ditemukan gantung diri tepat di atas tempat tidur apartemennya.
YOU ARE READING
Indigent: Tahun 2095
Historical FictionSaat itu tahun 2045. Pemerintahan Indonesia sedang bobrok; sebobrok-bobroknya. Penyakit dan kekurangan bahan pangan ada dimana-mana. Pemberontak dari kaum kelas bawah juga makin menghancurkan negeri ini. Pemerintahan silih berganti, sampai akhirnya...