Selamat Tinggal, Dunia

35 7 1
                                    

Entah untuk apa lagi aku hidup. Tak berguna. Perawan tua. Tak punya pekerjaan. Diusir dari kontrakan. Sungguh hidup yang memalukan. Tak ada lagi orang tua yang menjadi tempatku pulang. Ada atau tidaknya aku di dunia ini sungguh tidak ada perbedaan. Jadi lebih baik kuakhiri saja hidup yang penuh nestapa ini daripada hanya menambah sesak bumi.

***

Aku tidak berani melihat darah bercucuran, meski itu darahku sendiri, jadi pilihan untuk menyayat nadi jelas bukan cara utama. Bagaimana kalau minum cairan anti nyamuk dan kecoa?
Aih, kenapa penutupnya susah dibuka? Lantas bagaimana caraku meminumnya?

Obat! Aku minum saja obat. Tapi ... aku hanya punya obat flu dan demam di kotak obat.
Apakah minum obat flu dan demam secara berlebihan bisa mengakibatkan kematian?
Arghhh! Kenapa bunuh diri bisa seruwet ini!

Sudahlah, aku pergi ke kantor–dulunya–saja, lalu naik ke lantai paling atas–cuma tiga lantai–lalu terjun dari sana. Tapi ... tanda pengenalku sudah ditarik oleh HRD, jadi bagaimana nanti caraku masuk? Kalau aku memaksa, bisa-bisa ditangkap satpam. Itu akan sangat memalukan.

***

"Oi, bangun!"
Sayup-sayup kudengar suara yang tak asing ini. Entah suara siapa, tapi yang jelas, suara ini sangat kukenal. Aku tahu aku belum sepenuhnya terjaga. Aku mulai sadar kalau aku sedang bermimpi, dan suara itu masuk ke alam bawah sadarku. Ke dalam mimpiku.
Dunia yang serba putih. Kosong. Hampa. Apakah aku berhasil mati?

"Bangun! Kau belum mati, jadi bangun sekarang!"
Aku terkesiap. Mencoba untuk mengumpulkan nyawa–eh, nyawa?
Kucoba untuk duduk. Pusing karena mendadak terbangun. Kulihat sekitar. Persis sama seperti di dalam mimpiku barusan. Segalanya serba putih yang menyilaukan. Tidak ada apa pun di sini, tidak ada pohon, tidak ada tanah, yang ada hanyalah warna putih yang menyilaukan. Atas bawah, kanan, kiri, semuanya putih.

"Hei!"
Ada seorang gadis yang ... Hah?!
"Biasa aja mukanya, nggak usah kaget gitu."
Gadis yang sekarang duduk di sampingku ini, dia ... dia ....
"Ini di mana? Kamu siapa? Kenapa wajahmu mirip dengan wajahku?" cecarku pada gadis yang terlihat santai, bahkan malas menanggapiku itu.

"Jelas saja wajah kita mirip. Aku ya memang kamu," ucapnya santai sambil memperhatikan kuku-kukunya yang di cat dengan warna pink metalik. Gadis tengil, berambut sangat pendek-aku ingat betul, rambut itu yang dulu membuat ayahku sangat marah-anting kecil berbentuk bintang yang ditindik di daun telinga bagian atasnya, seragam putih abu-abunya, sepatu yang dipakainya, kuku-kuku bercat pink metalik itu. Tidak salah lagi, itu adalah aku di masa SMA!

Gadis itu menoleh dengan seringai yang khas. "Kau benar. Aku adalah kamu waktu masih SMA."
Aku tidak percaya. Ini pasti mimpi. Jika tidak, mana mungkin aku bisa bertemu dengan diriku sendiri versi SMA.
"Perlu kamu tahu. Aku bisa dengar yang ada di pikiranmu, loh," ucapnya, membuatku semakin terheran-heran.
"Kok bisa?"
"Entah, tahu-tahu aku bisa dengar aja."
"Kenapa kita ada di sini? Apa aku sudah mati?"

Dia terdiam. Ini hal yang benar-benar aneh. Aku melihat wajahku sendiri, memperhatikan segala gerik gerikku sendiri. Wajah yang masih segar dan ceria, khas gadis remaja. Tubuh yang kurus, aku ingat betul saat itu meski aku makan sebanyak apapun, tubuhku tetap kurus. Berbanding terbalik dengan keadaanku sekarang.

"Hei, bukanlah sudah kubilang kalau aku bisa mendengar apa yang tidak kamu ucapkan? Dan tentang kamu sudah mati atau belum, aku sendiri tidak yakin. Mungkin ini adalah dunia peralihan antara dunia arwah dengan dunia manusia. Atau mungkin kita sedang berada di alam bawah sadarmu. Atau kau masih bermimpi. Entahlah, aku sendiri tidak tahu."
Dia mengangkat bahunya dengan tak acuh.

"Kenapa kau menemuiku?" Tembakku langsung.
Dia melotot padaku. "Karena kamu mau bunuh diri karena merasa dirimu tak berguna lagi," ucapnya sambil mencubit keras pipiku. Dia nyata. Cubitannya terasa sakit, dan dia bukan hantu karena dia bisa memegang wajahku!

Aku menunduk, tak berani menatap matanya, sepertinya aku sudah mengecewakannya-diriku sendiri.
"Tentu, aku kecewa. Sangat kecewa! Aku tidak menyangka kalau diriku di usia tiga puluh dua tahun akan jadi sangat melempem. Mengecewakan!"
"Hei, jaga mulutmu. Aku ini kan juga dirimu!"
"Huh, tak sudi. Dulu, kamu adalah aku. Tapi aku masih bisa berharap untuk tak jadi sepertimu," ucapnya pedas, "itu pun kalau setelah ini kamu nggak jadi mati." Gleg.

***
End of part 1

Hei, Aku! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang