Best Version of Me

22 3 1
                                    

"Kau masih suka ndengerin Laruku?" tanyanya membuka diskusi. Kami rasa, sudah cukup acara cakar-cakaran antar Lintang Dahayu.
Aku mendengkus pelan sebelum menjawab, "Enggak."
Dia memiringkan posisi tubuhnya menghadapku.
"Serius? Aku–kita–suka banget sama Laruku, loh," ujarnya sambil menggeleng tak percaya.

Gadis itu–aku–menirukan instrumen pembuka sebuah lagu yang sangat tidak asing di telingaku. Kemudian dia mulai menyanyi.
"Bousou e no yuuwaku
Juutai nite saiaku
Osaeteru joutai ..."
"Jiyuu e no shoutai" ucap kami bersamaan, dengan suara dan cengkok yang dibuat semirip mungkin dengan Hyde–vokalis Laruku.
Aku tergelak. Liriknya masih lekat sekali dalam ingatanku.
"Itu masih ingat," ucapnya sambil terkekeh.

Betapa menyenangkannya masa-masa itu. Tergila-gila pada Laruku hingga nekat berencana pergi ke konsernya di Jakarta, tapi ketahuan oleh ayah dan aku dikurung di kamar sampai harus bolos sekolah keesokan harinya karena masih dalam masa hukuman. Aku hanya boleh keluar ke kamar mandi, itu pun ditunggui di luar pintu kamar mandi, selebihnya aku dipaksa harus 'merenungi' rencana bodohku yang nggak kira-kira. Ayah menyemprotku  habis-habisan, mata ayah melotot begitu hebatnya sampai-sampai aku takut kalau mata tua itu copot dari tempatnya. Semburat percikan saliva menandakan bahwa ayah begitu berapi-api dalam orasinya–omelannya.

Seolah itu belum cukup, ibu juga mengomeliku dengan rentetan kalimat pedas tanpa henti. Padahal kalimat itu-itu saja yang dilontarkannya tapi durasinya bisa mencapai setengah jam, hingga akhirnya ibu terdiam karena kelelahan. Ibu terus saja mengungkit kejadian itu sampai aku kelas 3 SMA, sembari melontarkan omelan yang sama.
Ah, aku benar-benar merindukan ayah dan ibu jika mengingatnya.

Sosokku versi SMA bisa mendengar pikiranku, jadi dia buru-buru menyela dengan pertanyaan berikutnya.
"Bagaimana dengan manga (komik Jepang) dan anime (serial animasi Jepang), masih sering baca dan nonton?"
Kali ini aku tersenyum bangga sebelum menjawab pertanyaannya.
"Masih, dong, aku baca manga scan terjemahan bahasa Inggris," ujarku sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.
Kulihat matanya bersinar takjub. "Keren ...."

Oh, tidak, dia menyanyi lagi.
"Sekai wa koi ni ochiteiru
Hikari no ya mune wo sasu
Kimi wo wakaritainda yo
Nee, oshiete"
Aku menyeringai padanya. "Ao Haru Ride." Aku menyebutkan judul anime yang pernah kutonton dulu.
Dia tampak puas, lalu kami ber-high five. Sungguh menyegarkan mengingat kembali diriku di masa SMA, penuh kebebasan, tak terlalu banyak pikiran, bebas menjadi diriku sendiri tanpa memikirkan pandangan orang lain terhadapku.

***

"Jadi, anak muda di zamanmu sedang menggandrungi apa?" tanyanya lagi.
Kurasa, dia sedang mengintrogasiku, dengan pertanyaan demi pertanyaan yang entah bermuara ke mana. Tapi tak apalah, aku akan menjawabnya dengan suka hati.
"K-Pop, drama Korea, semacam itulah," jawabku asal.
Dia membelalak. "Korea Selatan? Boyband?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. "Benar. Boyband."
"Seperti F4?" tanyanya.
Aku tertawa keras sampai perutku sakit. Dia melihatiku dengan heran saat aku terpingkal-pingkal sambil memegangi perut. Sungguh, menyandingkan F4 dengan boyband Korea sungguh lucu karena keduanya sangat berbeda. "Anak-anak muda di zamanku tidak akan terima jika mendengar bias mereka disamakan dengan om-om personil F4," ucapku ditengah gelak.

Kulihat dia ragu sebelum melontarkan pertanyaan selanjutnya. Berbanding terbalik dengan percikan-percikan api yang memantik sedari tadi setiap kali dia berbicara.
"Apa ... kau masih bersama Bhara?"

Jika gadis yang sedang memandangiku dengan penuh rasa penasaran itu masih menggemari cat kuku pink metalik, artinya dia masih di awal masa SMA-ku, masa di mana aku masih bersama dengan Bhara Yudistira, pacarku saat itu.

"Pacarmu saat itu, kau bilang? Jadi, kalian sudah tidak bersama lagi?"
Tampak sekali raut kesedihan di wajahnya.
Aku mendengkus lagi. Sungguh berat menceritakan hal ini padanya–gadis yang sedang dimabuk cinta. Entah bagaimana cara yang baik untuk menceritakan bahwa di kelas 2 SMA aku ketahuan berselingkuh lalu Bhara me–
"Kau apa?!" teriaknya begitu keras sampai aku harus memundurkan tubuhku darinya. Sial, aku lupa kalau dia bisa mendengar meski aku tidak mengucapkan apa pun.

Sungguh, aku benar-benar ingin segera bangun agar gadis yang melotot dengan mata penuh rasa dendam itu menghilang begitu saja. Aku tidak ingin menceritakan kebodohanku padanya. Membiarkan Bhara pergi meninggalkanku karena silau dengan wajah tampan kakak kelas yang jelas-jelas hanya ingin mempermainkanku.

Dia menggetok kepalaku dengan keras, matanya berkaca-kaca.
"Aku tidak percaya kau bisa sebegitu bodohnya."

***
End of Part 2

Hei, Aku! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang