Menjejak Bumi

11 1 2
                                    

Aku bagai terlelap dalam tidur panjang, tidur yang sangat nyenyak, hingga berat rasanya untuk bangun. Sesuatu seperti memaksaku untuk tinggal lebih lama di alam bawah sadarku. Namun bagian dari diriku yang lain memaksaku untuk bangun.

Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Koper besar dan beberapa kardus teronggok di salah satu sudut ruangan. Tak banyak perabotan menjejali ruangan itu, hanya sebuah cermin besar full body yang menggantung di dinding dekat jendela, serta sebuah lemari kecil kosong yang terbuka di sebelahnya. Tidak salah lagi, ini adalah rumah kontrakan tempat tinggalku. Rumah mungil namun nyaman yang harus secepatnya kutinggalkan.

Aku coba meraba-meraba kejadian sebelum aku terbangun. Disekitarku tidak ada tanda-tanda percobaan bunuh diri atau benda-benda yang coba kujadikan obyek untuk membantu niat busukku. Syukurlah, rupanya aku tidak cukup bernyali untuk mengeksekusi rencana bunuh diri manapun yang terlintas di kepala.

Aku mengambil ponsel lalu membuka aplikasi mobile banking, lagi-lagi aku bersyukur karena uang pesangon telah masuk ke rekeningku. Setelah ini, aku harus segera melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sejak lama, sebelum aku menjadi pengecut lagi lalu membatalkan rencana yang kuakui memang belum matang ini.

***

Urusan keluar dari rumah kontrakan sudah kuselesaikan, makin cepat makin baik, untuk induk semang dan untukku sendiri. Setelah tidak ada urusan tertinggal, aku bisa mewujudkan rencanaku menjadi nyata.

***

Hiruk pikuk kerasnya kotaku masih menghiasi pemandangan di luar jendela. Beraneka jenis kendaraan berjajar tanpa putus di luar sana, membentuk barisan tak beraturan ciri khas jalanan kota besar. Bunyi klakson saling bersahutan di tengah teriknya jalan aspal. Kendaraan-kendaraan yang sudah lelah menjelajah itu masih harus dipaksa saling berteriak satu sama lain. Sungguh pemandangan yang memusingkan, tapi netraku telah menjadikannya sebagai santapan sehari-hari. Dari migren berkepanjangan hingga seluruh indra terpaksa menaikkan ambang batas toleransi masing-masing. Tak ayal, kopi panas selalu bisa menjadi pelarian yang manis–meski rasanya pahit.

Bus adalah pilihan spontanku. Kali ini perjalanan panjang yang tak main-main, 13 jam perjalanan darat, jadi aku memutuskan untuk memilih bus karena bisa berhenti beberapa kali di titik-titik rest area untuk sekadar meluruskan kaki dan punggung atau hanya untuk cuci muka.

Teriknya mentari kini telah berganti senja. Langit dengan semburat berwarna jingga selalu berhasil memesona netra.
Ah, sial, panggilan alam disaat yang tidak tepat. Langit sedang bagus-bagusnya dan tidak akan berlangsung lama karena segera akan berganti gelap. Namun hajat ini harus segera dituntaskan, tidak peduli betapa cantiknya pemandangan di luar sana.

Eh, sejak kapan ada pria tampan duduk di sebelahku? Apakah aku terlalu sibuk memandangi yang jauh di sana padahal ada pemandangan indah yang lebih dekat? Malah terpesona pada penumpang sebelah! Cepat ke toilet! jerit otakku.

Aku berdiri sambil menatap makhluk indah yang sedang terkantuk-kantuk itu. Sungguh tidak sopan jika harus membangunkannya, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah di ujung tanduk, tidak bisa kutahan lebih lama lagi! Kutepuk pundaknya perlahan.

"Maaf, bisa permisi sebentar? Saya mau ke toilet," ucapku sambil cengengesan. Dia agak terkejut lalu memiringkan posisi tubuhnya untuk memberi jalan. Sebelum melewatinya, mataku terpaku pada senyum menawan hingga waktu serasa berhenti, hanya ada aku dan pria pemilik senyum paling indah itu. Ya Tuhan, sedang mengantuk saja senyumnya sebegitu indahnya. Bagaimana kalau .... tidak! Harus cepat ke toilet! Sekarang! Otakku meraung-raung.

Setelah hajat tertunaikan, aku mulai berandai-andai. Bukankah jodoh selalu datang di saat yang tepat, yang tidak disangka-sangka? Betapa banyak kisah percintaan yang dimulai dari perkenalan di angkutan umum dan berakhir di pelaminan. Aku jadi senyum-senyum kegeeran. Kurasa otakku telah bergeser karena laju bus yang tak beraturan.

Itu dia, masih terkantuk-kantuk sambil memeluk ranselnya. Tanpa desakan di dalam perut, kini aku bisa menebarkan secuil pesonaku padanya–entah pesona yang mana yang kumaksud, seperti aku punya saja. Sudahlah, yang penting harus usaha dulu.
Aku memamerkan senyum yang sudah kulatih selama beberapa menit di toilet tadi, pria itu membalas senyumku sambil memiringkan posisi badannya lagi. Tolong, berhenti memamerkannya, atau aku akan menyerangmu, teriak otakku.

Aku harus segera menuju tempat dudukku, sebelum dia bisa melihat saliva yang mulai merembes di sudut-sudut bibirku, tergiur dengan senyum penggugah selera itu.
"Ke Surabaya, Mbak?"
Ya Tuhan, jantungku hampir menggelinding ke lantai bus jika tak segera kutangkap. Pria pemilik senyum indah itu membuka pembicaraan.
Tenangkan dirimu, Lintang! Kamu adalah wanita dewasa, bukan anak ABG lagi, kendalikan dirimu! Perintah tegas dari otakku.

"Eh, iya," jawabku singkat. Entah aku harus melihat ke arah mana, karena jika melihat langsung ke matanya, sungguh tidak baik untuk jantungku, bisa-bisa dia copot lagi.

Jantungku akhirnya bisa beristirahat karena pembicaraan singkat kami harus terhenti, dia pamit ke toilet membawa ranselnya ikut serta. Saat dia ke toilet, aku buru-buru menyambar tasku lalu mengubek-ubek isinya, mencari apapun yang bisa membuat wajahku tidak tampak pucat, lelah, atau mengantuk. Kusapukan dengan cepat lipstik berwarna coral andalanku sebelum pria itu kembali ke tempatnya.

Namun lima belas menit kemudian, dia tidak kembali. Hingga setengah jam pun kursi di sebelahku masih kosong. Apakah tingkahku sekentara itu hingga dia takut padaku? Padahal aku sudah berharap dia akan menjadi calon ayah anak-anakku!
Ah sudahlah, kalau pun kami ditakdirkan berjodoh, Tuhan akan mempertemukan kami kembali dengan cara-Nya. Langit semakin kelam, rasa kantuk pun mulai menyerang. Kubiarkan tubuh lelahku beristirahat. Siapa tahu saat aku terbangun nanti, pria tadi muncul lagi di sebelahku.

Bus mengerem dengan kasar hingga wajahku menabrak kursi di depanku. Jiwaku dipaksa kembali menjejak bumi. Langit di luar jendela telah berubah lagi, kini fajar telah menyingsing, pemandangan puluhan bus terpakir di terminal. Ah, rupanya sudah sampai.

Aku merogoh-rogoh tasku untuk mencari ponsel, hendak mengabari keluarga di Surabaya bahwa aku sudah sampai di terminal. Tapi aneh, aku tidak menemukan ponselku di mana pun, bahkan aku sampai mengeluarkan semua isi ranselku. Begitu pula di jaketku, tidak ada. Aku mulai diserang rasa panik. Kuingat-ingat lagi kapan terakhir kali aku meninggalkan tasku. Tunggu sebentar ... apakah saat aku ke toilet? Apakah si senyum indah itu telah mengalihkan perhatianku hingga membuatku terlupa untuk membawa ransel berisi barang-barang berhargaku ke toilet? Karena itu kah dia mendadak menghilang? Duh, sayang, ganteng-ganteng kok maling.

***
End of Part 4

Hei, Aku! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang