Slap on My Face

14 1 6
                                    

Mengingat Bhara sama seperti membuka kembali luka lama. Membuat penyesalan dan rasa sedih itu datang lagi setelah kutimbun dalam-dalam di ruang hati paling kelam. Bhara, terlambat kumenyadari bahwa dia sangat berharga.

Gadis di sebelahku kini menatap iba padaku. Dia yang masih bisa menyentuh Bhara, dia yang masih merasakan luapan kasih sayang Bhara. Dia yang belum tahu bagaimana kacaunya aku ketika Bhara pergi.

"Kau tahu ... aku memaafkanmu," ucapnya memecah keheningan, "kau pernah membuat keputusan yang salah, tapi semua telah terjadi, terimalah itu dan maafkanlah dirimu sendiri juga. Jangan biarkan penyesalan itu menyiksamu." Dia menatapku lekat. Mata jernih itu masih polos, sorot matanya begitu hidup, seolah hendak menularkannya padaku yang sudah tak ingin hidup lagi ini.

***

"Aku sudah memaafkanmu, jauh sebelum kau memintanya, Lin."
Bhara memamerkan senyum yang tak biasa. Senyum dingin yang dipaksakan. Hatiku bagai tersayat, tapi aku menyadari sepenuhnya, hati Bhara jauh lebih sakit daripada hatiku.

"Kau pernah menjadi ratu dalam hatiku, memiliki hatiku sepenuhnya, jadi masih sulit buat aku mengusirmu dari sana."
Sempat terbersit bahwa kalimat Bhara menyiratkan bahwa dia mengizinkanku kembali padanya. Tapi tidak, sorot matanya melarangku masuk lagi ke dalam hidupnya.
"Aku percaya, time will heal." Dia tersenyum lagi, masih memasang senyum dingin yang sama.
"Semoga kau bahagia, Lin."
Bhara berbalik, memunggungiku, lalu berjalan meninggalkanku tanpa menoleh lagi.

Kalimat terakhir Bhara seolah kutukan bagiku. Karena saat luka di hatiku masih mengangga dan basah, Tuhan menghukumku dengan mengambil kedua orang tuaku, sekaligus.
Ayah dan Ibu meninggal dalam sebuah kecelakaan. Mobil yang mereka tumpangi menabrak pembatas jalan lalu meluncur langsung menuju jurang. Bukan hanya ayah dan ibu, hidupku juga berakhir saat itu, karena setelahnya kulalui hari-hariku tanpa setitik jiwa dalam dada. Hanya tubuh yang dipenuhi rasa sakit di mana-mana.

Aku beruntung bisa menamatkan SMA meski terseok-seok dan berdarah-darah. Yang menjadi motivasi terbesarku adalah aku ingin cepat-cepat keluar dari sana agar tak ada lagi yang mengasihaniku.  Dengan nilai yang pas-pasan, jadilah aku lulusan SMA. Lalu aku memilih tinggal bersama tante di luar kota, demi melarikan diri dari tatapan iba orang-orang yang ku kenal dan juga dari Bhara. Jika dia bisa melupakanku, maka aku juga harus bisa.

***

"Kau sudah berhasil melalui hari terburuk dalam hidupmu. Lantas kenapa saat tak punya pekerjaan dan diusir dari kontrakan membuatmu putus asa dan mengambil jalan terburuk?"
Ingin rasanya kucakar wajah polos yang belum merasakan pahitnya hidup itu.
"Lalu kau ingin aku bagaimana? Aku sudah terpojok, takdir membuatku tidak bisa berkutik lagi," jawabku kesal. Dia tidak merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Bisa bertahan hidup sejak kematian ayah dan ibu saja sudah untung, meski hidup yang kujalani bagai manusia tanpa jiwa dan hanya sekedar melakukan rutinitas dari hari ke hari.

"Astaga, kau benar-benar wanita melempem. Kemana Lintang Dahayu yang nekat dan penuh semangat itu? Dulu, kau, maksudku aku, berani mencoba hal-hal baru, tidak peduli pendapat orang lain tentangku. Selalu punya ide-ide cemerlang yang mengejutkan semua orang." Dia berapi-api, seperti mahasiwa yang sedang berteriak di depan gedung pemerintahan.
"Buatlah aku senang, buatlah ayah dan ibu bangga," lanjutnya.

Aku menggaruk leher belakangku yang bahkan tidak terasa gatal.
"Maksudmu, kau ingin aku berwirausaha?" tanyaku. Dia terlihat bingung. Aku lebih bingung lagi.
"Hah?" ucapnya.
"Kau bilang aku punya ide-ide cemerlang, berani melakukan hal baru, bukankah itu artinya berwirausaha? Karena selama ini aku selalu jadi pegawai orang lain"
Dia menggetok kepalaku. Sepertinya ini sudah yang kedua kalinya dia melakukan itu. Bukankah itu sangat tidak sopan, mengingat aku lebih tua darinya?

"Bukan itu maksudku. Maksudku, jadilah dirimu sendiri. Hidupkanlah hidupmu, jangan hidup seperti zombi lagi. Pindah ke kota lain, membuka hati untuk laki-laki baru, naik gunung, travelling. Mumpung kau dapat waktu libur, gunakan untuk melakukan hal-hal yang belum bisa kau lakukan saat kau masih jadi budak kantoran," jelasnya panjang lebar. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Kurasa, dia ada benarnya.

"Masalahnya sekarang, apakah Tuhan memberiku kesempatan kedua untuk memperbaiki hidupku?"

***
End of Part 3

Hei, Aku! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang