Nee, oshiete!

15 1 7
                                    

Selain aku dan nenek, ada tante Lila-adiknya ibuku-dan suaminya di rumah ini. Rumah nenek cukup luas hingga kami tidak perlu berdesak-desakan di sini. Seperti biasa, aku menempati kamar yang ditempati ibu semasa gadisnya, kamar di ujung lorong. Aku menyeret koper besarku ke sana. Aroma khas rumah tua berpadu dengan bau harum seprei yang baru diganti sungguh melenakan. Kutunda rencana berberes koper lalu kuputuskan untuk mengistirahat tubuhku.

Setelah salat asar, aku menceritakan dengan ringkas pengalaman pahit kehilangan ponsel kemarin malam kepada tante Lila sekaligus meminta izin meminjam motornya. Kulajukan motor tante Lila dengan santai-tidak terlalu kencang-karena aku ingin menikmati suasana sore hari di kota ini meski harus beradu dengan kendaraan lain yang terkesan terburu-buru.

Aku membelokkan laju motorku ke sebuah pusat perbelanjaan yang terdekat dengan rumah nenek. Aku langsung menuju lantai tiga yang merupakan pusat penjualan gadget dan aksesorinya. Kupilih salah satu toko yang cukup ramai pembeli. Banyak sekali pilihan yang direkomendasikan oleh pramuniaga toko untukku.

"Lintang?"
Aku mendongak saat mendengar seseorang memanggil namaku. Seorang pria tiba-tiba muncul di hadapanku. Dan pria ini bukan sembarang pria. Dia adalah Bhara!

Bhara yang culun dan kalem semasa SMA, kini telah berubah menjadi pria tampan dan gagah. Aku melotot saat melihat tonjolan otot bisepsnya hampir menyeruak di balik kaus lengan pendek yang dikenakannya. Pikiranku mulai membayangkan daerah lain yang mungkin dipadati otot-otot kekar itu. Istigfar, Lintang! bentak otakku.

Mataku kukerjap-kerjapkan dengan cepat, berusaha mengusir pikiran liar perawan tua yang tak pernah melihat otot kekar pria dari jarak sedekat ini.
"Hai, Bhar," ucapku datar sambil merapikan poni yang tergerus helm selama perjalanan tadi.

Tapi Bhara sepertinya tidak memperhatikan penampilanku, karena matanya terkunci pada mataku. Dia yang mengunci matanya sendiri, mataku sendiri tak bisa diam karena salah tingkah diperhatikan sebegitu intensnya.

Ini sungguh membuatku tak nyaman. Jadi aku berdehem lalu membuka pembicaraan.
"Kerja di sini, Bhar?"
Selama beberapa detik itu Bhara masih menatapku, hingga aku harus mengulangi pertanyaanku.
"Ah, sungguh kebetulan kita bisa bertemu di sini, Lin," jawabnya nggak nyambung.

Pertanyaanku tadi akhirnya dijawab oleh pramuniaga yang melayaniku sebelumnya.
"Pak Bhara ini yang punya toko ini, Mbak," jawabnya sambil mengerlingkan mata padaku, entah apa maksudnya.

Bhara kini terlihat sudah menguasai dirinya sendiri.
"Eh, iya, anu, kau sedang mencari ponsel ya?" Gantian Bhara yang kini salah tingkah. Aku terkekeh melihatnya. Kami memang baru bertemu sejak ... eh, entahlah, aku lupa kapan terakhir kali kami bertemu. Mungkin sejak lulus SMA, karena setelahnya kami belum pernah bertemu lagi meskipun setiap tahun aku mengunjungi Surabaya.

Bhara memperhatikan deretan ponsel di atas meja kaca, lalu memilih salah satunya.
"Kurasa ini ponsel yang kamu cari. Baterainya tahan lama dan memori internalnya besar. Sudah dilengkapi fast charging juga," ucapnya sambil menyerahkan ponsel yang dia maksud.

"Oke, aku ambil ini," putusku tanpa berpikir panjang. Aku percaya pada rekomendasi Bhara.
Bhara mengangguk lalu menyiapkan ponsel baru tipe yang sama dari stok di lemari belakangnya.
"Mana ponsel lamamu, biar sim card sama memori eksternalnya aku pindahin ke ponsel barumu," ucapnya sambil membongkar kardus berisi ponsel yang baru kubeli.

Aku menggeleng. "Ponselku hilang di bus. Aku sekalian beli sim card sama memori baru aja."
Bhara tertegun sejenak, lalu pindah ke meja kaca deretan kartu perdana.
"Pilih yang mana? Atau mau nomor cantik? Agak mahal, sih, tapi mudah dihapal," tawarnya. Aku tergelak karena Bhara masih ingat betul kalau aku pelupa, bahkan sampai saat ini juga. Dia tampak bingung melihatku tertawa sendiri padahal dia tidak mengatakan suatu hal yang lucu.
"Oke, nomor cantik aja," jawabku sambil menyeka bulir bening di sudut mata. Aku memilih salah satu kartu perdana dengan angka 7 yang berulang.
Bhara tersenyum melihat pilihanku.
"Kau tahu, Lin, nomor pilihanmu cuma beda di angka belakangnya dengan nomor ponselku."
Deg!

Tidak, tidak, tidak. Lintang, jangan berani berpikir macam-macam. Bhara tidak ada maksud khusus saat mengatakan itu. Nomor yang kau pilih dengan nomor ponsel Bhara hanya kebetulan hampir sama.

"Nee, oshiete" (Hei, katakanlah padaku).
Penggalan lagu pembuka anime Ao Haru Ride mendadak melintas di kepala. Memantik keberanian yang menggelitik sedari tadi.

"Bhar, udah nikah?" tanyaku dengan memasang wajah serius. Bhara terlihat kaget, dia memandangku sekilas lalu pandangannya segera dialihkan ke ponsel baruku yang sedang diutak-atiknya.
"Belum," lirihnya.
Aku tersenyum puas.
"Kalau pacar?"
Bhara jelas-jelas sedang memelototiku sekarang. Sedangkan aku? Tak mengacuhkan reaksinya. Aku bersiap dengan serangan berikutnya.
"Belum punya juga. Puas?" pungkasnya. Kulihat dia sedang memasang memori eksternal ke dalam ponselku.
Aku berdehem, maksudku supaya Bhara memperhatikanku, tapi tidak, dia tetap berkutat dengan ponselku.
"Bhar, mau nggak nikah sama aku?"

Eh, semua orang di sekitar kami jadi melihat ke arahku. Apakah aku mengatakannya terlalu keras tadi?
Bhara menarik tanganku hingga kami menjauhi toko ponsel miliknya, dia menyeretku sampai ke tempat sepi di dekat kamar mandi.

"Mau apa kita di sini, Bhar?"
"Kamu bilang apa tadi, Lin?" tanyanya setelah kami berhenti.
Aku memutar mataku, "Aku bilang, mau apa kita di sini, Bhar?"
"Jangan berlagak bodoh sekarang, Lin. Yang tadi, di sana!" Bhara mengarahkan dagunya ke toko ponsel miliknya, matanya tetap memancarkan kemarahan.
Aku bergerak-gerak gelisah. "Gini, kamu bilang belum punya istri, belum punya pacar juga, jadi aku mengajakmu menikah. Umurku sudah tiga puluh dua, nggak ada waktu untuk pacar-pacaran."
Aku menunduk. Kurasa dia benar-benar marah, tapi aku serius dengan perkataanku.

Bhara mengacak rambutnya dengan frustrasi.
"Lintang! Kau datang setelah sekian tahun tidak pernah muncul, di reuni SMA pun kau tak pernah datang. Sekalinya datang, kita baru saja bertemu setelah sekian lama, dan kau langsung minta dinikahi!"
"Kenapa memangnya?" tantangku, "Bhar, hidupku sudah cukup berantakan selama ini. Lalu aku bermimpi aneh, aku bertemu dengan diriku sendiri versi SMA, dia menyadarkanku tentang banyak hal, termasuk tentang betapa berharganya kamu buatku, dan betapa menyesalnya aku. Aku sudah kehilangan orang tuaku yang tidak bisa aku kembalikan ke dunia. Sedangkan kau, aku ingin kau kembali ke hidupku." Aku sama sekali tak menyadari bahwa air mataku sudah menganak sungai.

"Kalau kau nggak mau, nggak apa-apa." Kutinggalkan Bhara tanpa menoleh lagi. Tapi suaranya menghentikanku. "Malam ini aku dan orang tuaku ke rumah nenekmu. Jangan kabur lagi! Aku 'ikat' kau, Lin."

***
End

Hei, Aku! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang