(Bisa Mbak, mau berapa loyang?)
(2 loyang, ngambilnya habis Zuhur bisa?)
(Bisa Mbak.) Aku menyanggupi.
(Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari pisangnya saja. Anakku alergi gula.)
(Siap, Mbak. Otw dibuat.)
(Berapa harganya?)
(50.000 Mbak.)
(40.000 saja ya, kan gak pakai gula.)
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya mengambil untung 20.000.
(Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih.)
(Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan, jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu.)
(Oke siap.)
Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar. Alhamdulillah aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang. Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.
Setelah sholat Zuhur, jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja. Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi 20.000.
Jam satu kurang lima menit kami telah tiba di tempat janjian. Mungkin sebentar lagi yang memesan akan datang.
Sepuluh menit, dua puluh menit hingga tiga puluh menit berlalu namun tak kunjung ada tanda bila si pemesan akan datang.
Beberapa pesan telah kukirim sejak tadi namun hanya terkirim dan belum dibaca.
Aku menelpon berkali-kali pun tak kunjung diangkat. Sudah hampir satu jam menanti.
Si sulung telah lelah dan merengek sementara si bungsu telah bangun dan ikut meraung karena kepanasan.
Ting! Sebuah pesan masuk. Hatiku bersorak, dari si pemesan kue.
(Ya Allah Mbak, maaf ya aku lupa. Ini suami berubah pikiran, awalnya dia bilang berangkat habis Zuhur eh tahunya jam sepuluh udah mau buru-buru. Jadi gak sempat kasih kabar. Mbak, jual bolunya sama orang lain saja ya, aku udah otw ke kampung.)
Aku langsung terduduk lemas. Ya Allah, ya Allah, ya Allah. Apalagi ini? Aku tak meminta banyak ya Allah, hanya es krim saja.
Peluhku yang sudah sejak tadi mengucur, kini bercampur dengan air mata.
Siapa yang ingin membeli bolu pisang tanpa gula dengan rasa manis yang alakadarnya?
Ya Allah, berkali aku menyeka air mata yang terus membasahi wajah.
Sulungku berhenti merengek, ia langsung diam melihat air mataku. Lama ia menatapku iba. Kedua netranya mulai berkaca. Tak tega hati ini melihatnya. Ia hanya ingin es krim seharga 5000 ya Allah.
"Dika gak akan minta es krim lagi Bu, tapi ibu jangan nangis." Dika kecilku berkata dengan suara yang bergetar. Sepertinya ia pun menahan tangis.
"Kita pulang, Nak," ucapku. Dika mengangguk, si bungsu pun tangisnya mulai mereda. Sepertinya ia mengerti akan kegundahan hati ini.
Ya Allah, beginilah rasanya. Sakit ya Allah, sakit, sakit, sepele bagi mereka namun begitu berat bagiku. Bahan-bahan bolu itu adalah modal terakhir dan kini seolah sia-sia.
Ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Berat, sungguh berat, belum lama suamiku pergi dan kini rasanya aku lemah.
Tak banyak ya Allah hanya ingin es krim saja, itu saja, untuk menyenangkan buah hatiku dan kini bukan untung yang kudapat malah kerugian yang telah nyata di depan mata.
