Chapter 1 - Pergi

519 36 0
                                    

Langit memendam terangnya hingga tersisa kelabu yang membentang hampir di seluruh penjuru sorot mata. Rasanya dingin sekali, sore ini. Tetapi aku disini, berbaring bersama Taehyung dan Jimin di atap rumah Taehyung untuk diam – diam bertukar satu batang rokok yang kami catut dari kamar Namjoon-hyung, mengabaikan tubuh yang perlahan memberontak gemetar karena udara semakin mengigit.

"Aku sudah tidak kuat. Ayo masuk ke dalam." Ucap Jimin.

"Setuju." Sahut Taehyung seraya beranjak, disusul Jimin yang kemudian merentangkan tangannya ke hadapanku untuk menawarkan bantuan agar aku bangun.

Aku meraih tangannya lalu bangkit.

Langkahku malas, tidak ingin bergerak. Sulit untuk kembali melompat masuk melalui jendela loteng dan turun ke bawah karena aku tahu hal akan berubah setelah aku kembali dari loteng.

Aku tidak ingin pergi.

"Jangan bercanda, Joon. Kau ingin aku menghubungi orang ini?" Ucap Jin-hyung, setengah berteriak kepada Namjoon-hyung saat aku menuruni tangga. "Aku tahu hasil rancanganmu luar biasa, dan agak tidak masuk akal dalam pendanaannya. Namun kau terdengar sangat delusional saat mengatakan bahwa orang seperti itu akan setuju untuk menanam modal dalam proyek ini."

Kami bertiga berjalan melewati dapur. Kulihat Namjoon-hyung dan Jin-hyung yang mana adalah kakak dari Taehyung tengah memperdebatkan topik yang sama sejak pekan yang lalu.

"Kenapa?" Balas Namjoon-hyung seraya mengaduk kopi dari gelas yang dipegangnya sambil berdiri di samping lemari es, "Orang ini, kupikir ia yang paling tepat."

"Dasar fresh graduate. Kalian semua selalu sok tahu setelah keluar dari kampus." Ucap Jin-hyung ganas menyahuti bersamaan dengan tangannya yang sibuk membolak – balik setumpuk kertas yang tergeletak di atas meja makan, "Aku tahu, yang terdengar oleh bocah seumuranmu adalah betapa orang ini telah memberikan kontribusi yang luar biasa dalam hal menjadi penyokong dana pada, kurang lebih, sekitar dua puluh lima persen pembangunan dari gedung yang berdiri di Seoul saat ini. Namun, yang kalian para bocah sok tahu tidak tahu adalah bahwa ia telah berhenti berbisnis dan tidak ada orang yang berhasil meyakinkannya untuk kembali berpartisipasi dalam proyek apapun sejak tiga tahun yang lalu."

"Orang sehebat itu, berhenti? Atas alasan apa?"

"Tidak ada yang tahu dan ia tidak hebat. Hanya kebetulan kaya dan memiliki banyak koneksi."

Namjoon-hyung menatap hyung tertuanya keheranan, "Terdengar sepertimu."

Seokjin-hyung melenguh malas, "Aku tidak kaya. Mari kita fokus membuat rancangan biaya yang masuk akal saja, Joon."

"Kau ini terdengar pesimis sekali." gumam Namjoon-hyung.

"Kita membicarakan proyek delapan puluh lima juta Won, Kim Namjoon. Kau perlu berhati – hati mengingat pembangunan ini merupakan pekerjaan pertamamu setelah lulus kuliah. Jangan sombong karena sesungguhnya kesempatan yang kau pikir luar biasa ini memiliki resiko yang luar biasa membahayakan pula."

"Okay, okay. Tetapi sungguh-"

Aku berhenti memperhatikan perdebatan keduanya ketika Jimin menepuk pundakku.

"Jungkook, ayahmu disini." ucapnya.

Sebuah lenguhan malas melesat dari mulutku ketika melihat Ayah berjalan masuk ke dalam rumah.

"Ayo." ucap Ayah saat ia baru saja melewati pintu depan, "Pesawatmu berangkat pukul tujuh."

"Apakah aku harus, benar – benar, sungguh, sangat, perlu pergi kesana untuk menghabiskan seluruh waktu liburan musim dinginku?" gumamku setengah memaki kepada siapa pun yang dapat mendengar seraya mengumpulkan ponsel dan kameraku.

Eyes TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang