Chapter 7 - Alkohol

222 20 4
                                    

Hari ini salju turun lebih lebat dari hari kemarin. Aku tidak melihat ramalan cuaca sebelum memutuskan untuk pergi hunting foto di Camden Town. Karena itu kini aku terjebak di dalam mobil, kedinginan setengah mati dengan mantel dan beanie yang basah oleh salju. Padahal aku hanya berjalan – jalan sekitar tiga puluh menit, namun hari ini bukan hari yang tepat untuk melakukan aktifitas di luar ruangan.

Namun tergigit dingin saat melihat – lihat kota yang tertutup putih dari kepala – kepala bangunan hingga ruas – ruas jalanan membuatku merasa lebih tenang dari pada berada di salah satu ruangan rumah keluarga Min. Aku tidak mengerti, kenapa semakin aku menemukan hal menyenangkan di tempat itu, semakin sulit pula aku merasa nyaman untuk berkeliaran di dalamnya. Seperti apa pun yang membuatku tertawa akan membawa tangisan pada penghujung malam jika aku berada di rumah itu.

Aku hanya bisa melenguh untuk melepas pikiranku yang berkecamuk. Berharap emosi – emosi sinting yang kurasakan hilang bersama uap dari nafasku yang mengembun di jendela mobil. Namun yang kudapatkan dari membubuhkan perhatian pada embun di jendela itu adalah refleksiku yang semakin lama membuatku muak. Bekas kemerahan ini, kuturunkan sedikit kerah dari turtle neck­ hitam yang kukenakan untuk melihat perbuatan Min Yoongi semalam tadi. Aku membencinya. Serius, aku merasa muak saat melihat sebercak kemerahan yang tidak berhasil tertutupi kerah pakaianku karena ada orang nekat yang mencetaknya setinggi ini. Sebenarnya apa yang ia pikirkan malam itu? Tidak. Sebenarnya apa yang aku pikirkan malam itu?

Hal itu membuatku ingin memaki.

"Siapa perempuan itu?" tanya Arnold dari kursi kemudi. Matanya melirik ke arahku melalui kaca spion tengah.

Aku menatapnya tidak mengerti. "Perempuan apa?"

Ia tersenyum. Tidak tertuju langsung namun aku mampu melihat lengkung bibirnya dari tempatku duduk.

Ia melanjutkan, "Biar kutebak, Amy. Betul bukan? Ia yang paling sering membersihkan kamarmu, juga yang paling cantik dari pelayan seumurannya."

"Kau ini bicara apa?" protesku.

"Kau tahu apa yang kubicarakan." sahutnya, yang dilanjutkan dengan kekehan menjengkelkan. "Bagaimanapun juga, pelayan perempuan adalah perempuan. Kau melihatnya sebagai perempuan saat ia membuat hal – hal konyol di lehermu itu, 'kan?"

Aku tercekat oleh nafasku sendiri selama beberapa detik sebelum akhirnya paham akan perkataannya.

"Kurasa kita tidak perlu berkomentar mengenai kegiatan malamnya, Arnold." komentar Hugo.

Aku mengangguk setuju. "Damn right. Aku tersinggung sekali, tahu?" tegasku kepada pengemudi berambut pirang itu.

"Ah- maaf." sahut Arnold sesegera mungkin. "Aku berlebihan."

Aku membuang nafas malas seraya menyandarkan punggung dan kembali membuang tatapan keluar jendela. "Entah apa yang membuatmu berpikir seperti itu." gumamku.

Hening menciptakan jeda, membiarkan kecanggungan menyusup di antara kami bertiga. Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Sebelumnya aku tidak pernah tersinggung oleh apa pun yang keluar dari mulut kedua orang kaukasian itu.

"Katakan." ucapku lagi, berusaha menuntaskan sedikit kesal yang tergantung pada ego anak umur delapan belas tahun. "Kenapa kau menduga hal tersebut? Apa para para pelayan membuat rumor aneh – aneh lagi tentangku?"

"Mereka memang senang membuat rumor konyol." balas Hugo tanpa ragu. "Namun tidak pernah tentangmu. Semua pelayan menyukaimu di rumah itu."

"Lalu kenapa kawanmu yang sedang menyetir itu berpikir jika merendahkan perempuan seperti itu, juga membuat dugaan konyol yang menyangkut – pautkan aku di dalamnya adalah hal yang pantas dibicarakan pada sore ini?" tanyaku kepada Hugo.

Eyes TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang