Pasal Pertama
1.
Berkatalah Paracletus: ia yang tidak memiliki keterikatan terhadap sesuatu selalu siap dengan segala kemungkinan, sebab ia menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang kekal, semua datang dan pergi, tercipta dan hancur, hidup dan mati, ada dan lenyap.
2.
Kesadaran ini membuat pikirannya menjadi seimbang dan tentram, bagai sebuah neraca dimana suka dan duka tertimbang dengan berat yang sama padanya.
3.
Sesungguhnyalah keterikatan adalah muasal dari rasa memiliki, dan rasa memiliki adalah muasal daripada kegelisahan, kelobaan, ketamakan, dan kecurigaan, ialah jua nantinya jadi muasal perpecahan.
4.
Bertanyalah Arius: lalu, bapak, bagaimana dengan cinta? Bukankah cinta adalah suatu ikatan?
5.
Paracletus menjawab: anakku, kau bicara seperti seorang pemikir cendekia yang bersusah oleh sesuatu yang rumit, padahal kau hanyalah seorang dungu yang gelisah oleh sesuatu yang sederhana.
6.
Seekor burung yang jatuh cinta kepada sepokok pohon yang bisu, itulah engkau.
7.
Kau suruh seekor kera supaya mengikatkan tubuhmu, sayapmu, erat-erat kepada batangnya, dan setelah kau terikat, yang kau lakukan setiap hari cuma menangis tersedu-sedu sebab memandangi langit, merindukan kebebasan dari kepak sayapmu saat mengarungi keluasan tubuh birunya.
8.
Karena merasa memilikinya, kau luapkan amarah pada burung-burung lain yang hinggap di dahan-dahannya, pada hewan dan manusia yang memetik buahnya, atau sekadar berteduh di bawah kerindangannya.
9.
Yang keluar dari paruhmu bukan lagi kicauan merdu, melainkan ratapan sumbang yang menodai nyanyian cinta empat musim sang bumi yang mesra.
10.
Dan saat seseorang menebang pohon yang kau anggap milikmu itu, tangismu semakin keras.
12.
Kau memaki penebang pohon itu saat ia melepasmu dan membawa batang pohon itu pergi, padahal justru ia membebaskanmu dari ikatan derita yang melingkari tubuhmu.
13.
Dalam tangismu itu, kau mencoba kembali kepada langit, tapi kau dapati kedua sayapmu telah terlanjur kaku, lemah, dan kebas karena tali yang kau ikatkan padanya. Hari demi hari kau lalui dengan kelemahan, hingga akhirnya pelan-pelan kau mati. Tidak ubahnya seperti kematian seorang raja yang congkak karena kekuatannya oleh sebutir kerikil yang dilontarkan dari sebuah ketapel, seperti itulah pula kematianmu. Kera yang telah mengikatmu, itulah kedunguanmu.
13.
Tidaklah pernah genap sadarmu bahwa cintamu itu adalah sehelai kain hitam yang menutupi kedua mata hatimu. Ialah cinta buta, bukan cinta yang sesungguhnya.
14.
Tidaklah pernah genap sadarmu bahwa cinta buta dan cinta sejati adalah dua hal yang berlawanan.
15.
Tidaklah pernah genap sadarmu bahwa segala sesuatu adalah milik sang takdir, dengan tangan kanannya yang penuh kasih, tapi memendam kejam dan tangan kirinya yang kejam, tapi memendam kasih. Keterikatanlah yang membuatmu selalu merasa memiliki sesuatu, padahal setiap manusia tidak lain hanyalah mahluk yang papa di hadapan sang takdir.
16.
Keterikatanlah yang menghalangi keikhlasanmu, bagai sebuah batu besar yang membendung laju air sungai.
17.
Sesungguhnyalah keikhlasan tidak akan kau dapat sepanjang kau masih terikat dengan sesuatu, selama kau masih merasa menjadi pemilik sesuatu.
18.
Apa yang kau anggap sebagai milikmu, sesungguhnya tidak benar-benar menjadi milikmu. Takdir menitipkannya kepadamu, dan sebagaimana barang titipan, kau berkewajiban menjaga dan merawatnya dengan penuh kasih, atau mempergunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat, entah untukmu, orang-orang di sekitarmu, atau lingkunganmu.
19.
Dan bilamana kau melalaikan kewajiban ini, sang takdirlah jua yang akan merenggutnya kembali dari tanganmu dengan penuh amarah, bahkan meski kau menggenggamnya erat-erat, sebab amarah sang takdir alangkah kuatnya.
20.
Yang demikian itu, sang takdir berkehendak dengan kasihnya supaya derita dari kehilangan menjadi bahan hikmah dan pelajaran bagimu, anakku, bukannya menjadi kabut yang menutupi pandanganmu.
YOU ARE READING
Dialog Tiga Malam
Fiction générale"Seorang dungu yang terus melarutkan diri dalam kenangan selamanya akan melangkah terhuyung-huyung dalam kegilaan. Laksana seorang yang tertarik pada keindahan hutan di musim semi, ia susuri hutan itu dan saat ia hendak pulang barulah disadarinya ba...