Seperti dugaan Khalik, Bibi Sesua hampir histeris saat melihat Ali pulang dalam gendongan Khalik dengan kaki yang terbalut. Tapi tidak sesuai dugaan Khalik, Bibi Sesua yang tadinya sedang memasak kini melupakan eksistensi pisau daging di tangannya sembari menghambur ke arah Khalik.
"B—Bibi, pisaunya, pisaunya, Bi!" Khalik membelalak horor seraya mundur beberapa langkah. Tapi begonya, karena Ali masih nemplok di punggungnya, jadi Bibi Sesua terus berderap ke arahnya.
"Ya ampun, Nona! Kenapa bisa luka begini?" Bibi Sesua memasang wajah penuh duka seakan semua orang di keluarganya habis dibunuh. Khalik menahan dorongan untuk berteriak kala melihat mata pisau yang beberapa kali hampir menyentuh perutnya.
Ali menurunkan pandangannya dengan bersalah. "Maaf, Bi. Semua salah aku. Aku yang nggak hati-hati. Khalik nggak salah sama sekali!"
Hadeeh, Ali! Seharusnya hal pertama yang lo katakan adalah supaya Bibi Sesua ngelepasin pisau itu dulu, bukannya ngebela gue! Boro-boro dimaafin, bisa-bisa gue mati duluan ditusuk!
Mau tidak mau, Khalik ikut berceletuk. "Maaf Bi, saya bikin Ali luka begini."
"Bukan! Bukan salah Khalik!"
Melihat wajah mereka berdua yang macam anjing telantar, Bibi Sesua yang tadinya hendak mengomel panjang lebar tiba-tiba merasa hatinya melemah. "Kalian ini...ayo cepat masuk, biar Bibi lihat dulu luka Nona."
Keadaan tetap hening penuh aura mencekam saat Bibi dengan pelan membuka kain kasa yang meliliti lutut Ali dan terkesiap keras menatap kulit lembut Ali yang kini sobek dan menampakkan daging merah yang terlihat sangat menyakitkan.
"Nona jatuh?" tanya Bibi Sesua pelan.
Khalik sudah akan berinisiatif untuk menjelaskan, tapi Ali mendahuluinya. Dengan cekatan, cewek itu memutir fakta yang terjadi dan mengubah Khalik menjadi sesosok pahlawan tanpa tanda jasa dan menimpakan segala kesalahan di pundak Jupri yang malang.
Seusai Ali selesai bercerita, wajah Bibi Sesua memerah saking marahnya. Ia menggeram dan mulai memaki Jupri dengan bahasa kasar nan kotor yang bahkan tidak pernah Khalik ketahui sebelumnya.
Otomatis, kedua orang yang ada di kamar Ali itu bengong menatap kelihaian lidah Sang Bibi.
Mendadak, seakan sadar bahwa dirinya sudah keceplosan berkata hal yang tidak sepantasnya, wajah Bibi Sesua kian memerah, kini karena malu. Dengan panik ia berseru, "Ya ampun, maafin kata-kata Bibi ini! Bibi keceplosan! Nona nggak boleh ngikutin Bibi, dosa!"
Khalik merasa ia mulai menatap Bibi Sesua dalam cara yang baru. Ia mengangkat kedua jempolnya dan mengangguk-ngangguk penuh kekaguman.
Bibi Sesua menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bergegas untuk mengganti obat-obatan di luka Ali dan membalutnya dengan rapi dan buru-buru meninggalkan kamar Ali, beralasan untuk kembali memasak di dapur.
Khalik duduk dengan kaku di atas karpet lembut penuh bulu. "Lo...nggak apa-apa?"
Ali mengerjap sekali. "Hm? Maksud kamu?"
Khalik jadi bingung harus berkata apa. "Nggak, nggak jadi."
Hening kembali. Khalik menatap sekeliling ruangan dengan gaya awkward. Nih anak, biasanya ngoceh mulu, tapi hari ini diem banget kayak kena santet, gerutunya.
Khalik tidak pernah memutar otaknya sedemikian keras hanya untuk mencari topik pembicaraan dan mengalihkan Ali dari pikiran-pikiran tak masuk akal yang pasti sekarang sedang berputar di dalam kepala kecilnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE ✔
Teen Fiction[COMPLETED] \Ineffable\ Too great to be expressed in words. Askhalika Pragiwara memilih untuk hidup gelandangan dan miskin seperti gembel, bekerja mati-matian hanya untuk menghidupi kebutuhan sehari-harinya yang tak seberapa dibandingkan tinggal di...