"Kamu yakin Papa dan Mama kamu akan suka sama aku?"
Khalik mengangguk, mengiyakan untuk kesekian kalinya. "Aku yakin, sayang. Kalaupun mereka menolak kamu, aku akan tetap membela kamu sampai mereka setuju."
Sama seperti bagaimana Ali membela Khalik di depan Yanto, almarhumah Papanya. Saat itu, Ali mengatakan dia akan tetap menyukai Khalik apa adanya, Yanto bahkan menamparnya karena itu. Hati Khalik serasa diremas setiap kali mengingatnya. Ia menangkup pipi Ali dan mengelus permukaan lembut itu dengan jempolnya.
Ali terdiam, lantas tersenyum kecil. Tahu persis apa yang ada di benak Khalik. "Udah nggak sakit. Semua itu udah di masa lalu. Aku udah ikhlasin semuanya."
Khalik tersenyum. "Sayang kamu..." bisiknya dengan nada menggoda lalu beringsut mendekat.
Ciuman kemarin benar-benar tidak cukup untuknya. Dengan tak berperasaan, Ali mendorongnya menjauh, kabur dan mengunci diri di dalam kamar semalaman, membiarkan Khalik pulang dengan kecewa bagai anak anjing yang ditinggal tuannya.
Khalik sudah akan maju untuk babak berikutnya, ketika Ali tiba-tiba berseru, "Ada seseorang juga yang mau aku kenalin ke kamu. Nenek aku, keluarga aku satu-satunya."
"Lho, kukira—" Khalik kira Yanto keluarga Ali satu-satunya? Dari mana pula nenek ini berasal?
Ali tertawa mendengar nada kecewa Khalik. Dia tahu jelas apa yang diinginkan cowok itu, tapi dia masih belum siap. Apalagi dengan mereka yang hanya berduaan di rumah Khalik. Bagaimana jika mereka lupa diri?
"Sebenarnya, aku masih punya nenek. Beliau dari keluarga almarhum Mama, selama ini aku nggak begitu dekat sama beliau karena almarhum Papa melarang aku untuk sering-sering menemuinya."
Khalik beralih pada tangan Ali dan mengecupnya pelan. Dia harus puas hanya dengan itu. "I'd love to meet her."
"Serius? Kebetulan, kamu kenal dekat dengannya."
Khalik mengernyit. "Siapa?"
"Namanya Soro, biasa dipanggil Nenek Soro. Dia nenek pemilik kos-kosan yang pernah kamu tinggalin dulu."
Mulut Khalik menganga begitu lebar sampai-sampai jika Yawa ada disini, dia pasti akan memanfaatkan momen itu untuk memotretnya dan memajangnya di depan kantornya sendiri untuk dijadikan aib. "N—Nenek Soro?! Dia nenek kamu?!"
Tentu saja Khalik kenal beliau! Dulu, Khalik sering sekali makan berdua, menemaninya mengobrol dan memperbaiki atap, keran, dan TV untuknya. Tapi siapa yang akan menyangka, kalau dia nenek Ali?
"Jadi," Otak Khalik berpikir keras, teringat akan sepotong momen ketika mereka awal-awal berjumpa. "Kamu bisa nebak aku tinggal di kos-kosan Nenek Soro karena dia nenek kamu? Jadi, kamu udah kenal aku dari awal? Karena itu kamu nggak memanggil polisi atau mencurigai aku waktu aku menyelinap masuk ke kamar kamu?"
Jika dikatakan seperti itu, terasa sekali memori masa lalu, ketika mereka masih kekanakan, masih berbuat semaunya, masih bebas untuk menantang dunia. Semua memori itu terasa jauh, jauh sekali.
Ali tertawa pelan, dan Khalik memanfaatkan momen lengah itu untuk mencium pipinya yang lembut bagai mochi. "Khalik!"
"Sori, habis kamu cantik banget sih, ketawa kayak gitu."
Ali menggembungkan pipi, memastikan wajah Khalik tidak lagi mendekat padanya. "Pertama, aku memang sering mendengar tentang kamu dari Nenek Soro. Tapi waktu itu, aku bahkan belum tahu nama kamu, jadi semuanya hanya murni tebakan. Ketika kamu bilang nama kamu Askhalika, barulah saat itu aku nyadar kalau kamu itu Khalik yang selalu nenek ceritain."
Khalik berdecak takjub. "Semua ini takdir, huh? Aku tinggal di kos-kosan itu selama tiga tahun tanpa sekalipun bertemu kamu, tapi akhirnya, semesta membawa aku ke hadapan kamu."
Pipi Ali masih saja memerah jika Khalik sudah berkata gombal. Khalik gemas sekali, ingin mengabaikan penolakan Ali dan menciumnya hingga kehabisan nafas.
Dengan perlahan, Khalik mendekat, serupa predator yang memojokkan mangsanya yang kian tak berdaya. "Takdir membawa kamu ke hidupku, mengubahku menjadi seseorang yang lebih baik."
Ali mengangguk, sama sekali tidak menyadari Khalik yang sudah berada tepat di depannya. "Aku pernah dengar, katanya tanda kamu sudah bertemu dengan orang yang tepat adalah orang itu tidak hanya bisa membuat kamu menjadi lebih baik, tapi dia juga membuat kamu sendiri ingin menjadi lebih baik lagi hanya untuk bisa bersama dengannya."
Ali mendongak, tersenyum lebar. "Kurasa itu yang selama itu aku rasakan buat ka—mph!"
Khalik membungkam bibirnya, menelan sisa-sisa katanya. Ia menekan belakang kepala Ali, sebelah lengannya melingkar di pinggang mungil cewek itu, menariknya mendekat hingga tak ada jarak yang memisahkan mereka.
Begitulah, akhirnya sang predator berhasil menangkap mangsanya.
.
.
.
TBC
Kemejanya dibeliin Yawa setelah dikatain gembel karena pake kaos lusuh mulu. Rambutnya juga distyle sama doi. Biar cakepan dikit katanya. Ngambek dong.
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE ✔
Teen Fiction[COMPLETED] \Ineffable\ Too great to be expressed in words. Askhalika Pragiwara memilih untuk hidup gelandangan dan miskin seperti gembel, bekerja mati-matian hanya untuk menghidupi kebutuhan sehari-harinya yang tak seberapa dibandingkan tinggal di...