Khalik membuka pintu dan menuntun Ali masuk ke dalam. Bibi Sesua mengikuti di belakang, terlihat takjub dengan interior rumah yang sangat mewah dan menawan. Desain rumah itu sangat khas Khalik sekali, simpel dan minimalis namun memberikan kesan yang hangat dan nyaman.
"Mulai sekarang, ini rumah kamu dan Bibi Sesua. Aku udah masukkin teknologi paling canggih di sini jadi kamu nggak akan kerepotan kalau Bibi Sesua lagi nggak ada." Khalik dengan luwes membawa Ali berkeliling, memegang sebelah tangannya dengan erat dan menjelaskan dengan sabar.
"Disini semuanya ada sensor suara, kamu bisa bertanya atau memerintah apa saja. Kayak misalnya, kalau kamu bingung dapur dimana, bilang aja 'tunjukkin dapur'."
Seketika itu, sebuah suara monoton khas mesin menjawab. "Dapur. Dari tempat Anda berada, silakan melangkah lima langkah ke depan, lalu belok kanan. Anda akan sampai."
Ali melongo. Bibi Sesua apalagi.
Khalik masih menjelaskan. "Bukan cuma itu, kalau kamu lagi pengen kopi, tinggal suruh aja 'aku mau kopi'" Sebuah suara mesin yang menggiling terdengar, dan tidak berapa lama kemudian, bau kopi yang harum tercium menguar di udara. "Pokoknya aku udah masukkin semua perintah yang bisa aku pikirkan, kalo mau tambah, kamu cukup—"
"Stop, stop!" Ali menopang kepalanya seolah sebentar lagi bagian itu akan terjatuh ke lantai. "Apa-apaan semua ini? Ini...rumah aku?"
"Bukan, ini rumah Bibi Sesua." Seperti biasa, Khalik membalas sarkas.
Ali memutar bola mata. "Khalik, aku udah punya rumah sendiri."
"Iya, tapi rumah itu terlalu kecil buat kamu dan Bibi Sesua. Jaraknya juga terlalu jauh dari rumah aku. Kalo aku mau ketemu kamu gimana?"
"Jadi, kamu kasih rumah ini ke aku cuma karena rumah aku dulu terlalu jauh dari rumah kamu?!"
"Itu bukan alasan sepele. Dengan kamu ada di dekat aku, aku bisa kerja dengan tenang. Kalo nggak, aku bakal mikirin kamu setiap saat dan nggak bisa konsentrasi. Aku bisa ngajak kamu makan dengan cepat, aku juga bisa mampir kalo pulang kerja." Khalik lalu terdiam. "Nggak, gimana kalo kamu tinggal sama aku aja?"
Khalik bertepuk tangan girang, tanpa memedulikan mulut Ali yang sebentar lagi akan mencapai lantai. "Ide yang bagus! Aku bisa ketemu kamu dua puluh empat per tujuh! Gimana—WADAW!"
"Ide bagus dari nenek kamu!" Ali mengepalkan tangannya yang tadi refleks memukul kepala Khalik. Ia berteriak dengan wajah merah luar biasa. "G—Gimana bisa? Aku...Aku memang udah terima lamaran kamu, t—tapi nggak secepat ini juga, Khalik!"
Ali tahu jelas bagaimana ekspresi cowok itu sekarang. Dia pasti sedang memberengut dengan alis menekuk dan bibir mengerucut ngambek. "Nggak usah monyong gitu bibirnya."
Khalik bingung mau ngambek atau tersenyum. Berada di dekat Ali membuatnya cenderung tidak bisa menahan bibirnya untuk tetap dalam satu garis. "Kamu nggak berubah sama sekali. Tetap aja cenayang."
"Hmph!" Ali membuang muka. "Aku bukan cenayang! Terus, sejak kapan kamu jadi ber-aku-kamu sama aku?" Sebenarnya, Ali sudah menyadari hal tersebut sejak pertama kali Khalik menjemputnya di bandara. Hanya saja, dia terlalu malu untuk mengungkitnya.
Bersua setelah berpisah lima tahun membuat Ali masih belum menyesuaikan diri dengan perubahan Khalik. Tubuhnya yang lebih tinggi, lebih kekar, suaranya yang lebih rendah, dalam dan menggetarkan hati, lalu...kelembutan dan rasa sayang dalam nada suaranya tidak bisa disembunyikan.
Atau dia malah tidak berniat untuk menyembunyikannya.
Khalik menyeringai, ia lalu mengangkat dagu Ali, mendekatkan wajahnya dengan sengaja dan berbisik di telinga cewek itu. "Sejak aku mutusin buat menjadikan kamu satu-satunya dalam hidupku."
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE ✔
Teen Fiction[COMPLETED] \Ineffable\ Too great to be expressed in words. Askhalika Pragiwara memilih untuk hidup gelandangan dan miskin seperti gembel, bekerja mati-matian hanya untuk menghidupi kebutuhan sehari-harinya yang tak seberapa dibandingkan tinggal di...