"Bu, kakak ranking satu, mana janji Ibu mau beliin es krim," rengek Dika putra sulungku. Sejak pulang sekolah ia selalu saja menagih janjiku. Mana kutahu bila si sulung yang baru kelas dua SD akan meraih ranking satu, pikirku saat berjanji paling dia hanya akan masuk sepuluh besar saja seperti biasa.
"Sabar ya, Nak, tunggu Ibu gajian tanggal satu," janjiku, padahal aku pun tahu tanggal satu nanti upah menjadi buruh cuci separuhnya akan habis menyicil hutang pengobatan ketika almarhum suami sakit dulu.
Dika cemberut. Aku tahu dia kecewa. Tak banyak pinta anak ini sebenarnya, hanya sebuah es krim ketika ia ranking satu. Tapi bagiku itu barang mahal.
Ah seandainya saja Dika ranking dua atau tak usahlah ranking sekalian, ia pasti tak sekecewa ini.
Keterpurukan hidupku bermulai ketika suami yang tiap hari bekerja sebagai buruh bangunan kecelakaan dan lumpuh. Tiap minggu harus bolak balik kontrol ke rumah sakit, walau pakai BPJS namun kerepotan ini tetap membutuhkan biaya hingga hutang pun menumpuk.
Ketika suami akhirnya pergi selamanya, hutang-piutang pun berdatangan meminta haknya untuk dilunasi.
Aku pasrah. Memohon kepada si pemberi hutang agar memberi kelonggaran dengan mencicil.
Bukan tak mau bekerja lebih giat lagi, namun selain Dika, aku memiliki Anita putri bungsuku yang masih berusia dua tahun. Tak semua orang mau menerima pekerja rumah tangga yang membawa balita.
Sejak itu aku melakukan kerja apapun, mulai dari buruh cuci, hingga upahan membuat kue. Kebetulan kata orang-orang bolu pisang buatanku enak.
'Mbak, bisa buatin bolu pisang?' Sebuah pesan masuk.
Aku bersorak.
Alhamdulillah tak sia-sia mengisi pulsa data beberapa hari yang lalu dan mengaktifkan WA ku. Ada pesanan masuk.'Bisa Mbak, mau berapa loyang?'
'2 loyang, ngambilnya kira-kira jam 1 bisa?'
'Bisa Mbak.' Aku menyanggupi
'Tapi bolu pisangnya jangan pakai gula ya, biar manisnya ngambil dari pisangnya saja. Anakku alergi gula.'
'Siap, Mbak. Otw dibuat.'
'Berapa harganya?'
'50.000 Mbak.'
'40.000 saja ya, kan gak pakai gula.'
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, padahal dalam tiap loyangnya aku hanya mengambil untung 10.000.
'Ya sudah karena Mbak ngambil dua, aku kasih.'
'Oke, tapi aku gak bisa ngambil ke rumah ya, Mbak. Aku mau pergi liburan, jadi jam 1 aku tunggu di depan SMP yang ada di simpang itu.'
'Oke siap.'
Aku segera gerak cepat menyiapkan semua bahan dan mulai bekerja. Baru jam sembilan berarti masih banyak waktu luang. Kebetulan ada pisang Ambon yang belum terpakai jadi gak perlu beli ke pasar.
Alhamdulillah, aku bisa mendapat untung dua puluh ribu dari penjualan dua loyang bolu pisang.
Sepuluh ribunya bisa buat beli es krim harga lima ribu untuk si sulung dan bungsu dan sisanya untuk tambahan belanja besok.
Setelah jam 12.30 aku segera berangkat menuju tempat yang dijanjikan. Si sulung mengekor langkahku dengan riang karena terbayang es krim yang bakal didapat. Si bungsu sedang tidur siang jadi kugendong saja.
Tempat janjian kami cukup jauh sekitar setengah kilometer dari rumah. Walau tengah hari dan terik matahari tengah garang menyerang, aku tetap semangat, demi 20.000.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Islam
Historical FictionRasulullah ﷺ.... Ini adalah sekumpulan cerita-cerita islam yang menarik, bisa membuat diri kita merinding dan InsyaAllah dapat membuat hati terbuka. Hihihi, kuy baca🌻 . "Mengapa kau ingin memaafkannya?" "Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan mu...