Nadiya Inara, perempuan yang sedang berjalan ke kelas ini terus tersenyum menutupi segala masalah yang ia hadapi pagi ini. Setiap pagi ia terus gelisah masalah apa lagi yang akan ia hadapi tapi semua itu hilang jika ia telah di sekolah. Sekolah terasa lebih nyaman dibandingkan rumah.
--
"Senyum mulu, ntar dikira orang gila loh," ucap sahabatku Gina. Orang yang memiliki banyak kesamaan sifat denganku.
"Terus maunya apa, gue nangis sambil jalan? ntar gue dikira korban apa gitu," balasku
"Yah nggak gitu juga kali."
Sesampaiku dikelas seperti biasa aku menyimpan tasku lalu duduk di kursi sambil mendengar gosip baru dari geng kursi belakang. Aku menjalani kehidupan SMA sama seperti orang normal biasanya, bukan dari kalangan cantik, kaya, terkenal, dan pintar. Just an ordinary girl, yang kebetulan memiliki banyak keberuntungan. Aku selalu membayangkan jika menjadi orang-orang yang seperti mereka, pasti kehidupannya sangat sempurna. Dikelilingi banyak masalah dalam hidup, membuatku jadi banyak bermimpi mau hidup bahagia seperti keluarga harmonis lainnya.
"Naraaaa!! melamun mulu, ke kantin yuk. Perut karet lo juga pasti udah lapar banget" ucap gina
Dengan penuh semangat tanpa aba-aba aku langsung lari ke kantin tak memperdulikan teriakan Regina yang kutinggalkan. Tenang Regina ini demi bangku Pak Eko kantin kesayangan kita.
"Yuhuuuu gue pertama nih gin, lo yang traktir kannnnnn" ucapku membujuknya yang sedari duduk sudah mulai bete.
"Tadi aja melamun, sekarang minta traktir. Mana tadi ninggalin lagi, anak siapa sih nih," ucapnya dengan muka bete.
"Emang lo nggak kasian dengan anak lapar nan cantik ini" pujiku yang emang selalu merasa cantik padahal yah nggak juga sih. Karena bosan melihatku memuji diriku sendiri Regina pun pergi memesan makanan meninggalkanku yang tertawa.
Sambil menunggu Regina aku memasang headset dan memutar lagu kesukaanku dan membuka buku matematika. Tak lama kemudian Regina datang sambil membawa 1 piring soto ayam Pak Eko.
"Gin punya gue mana? gue nangis nihhh" ucapku dengan muka cemberut.
"Yah lo ambil sendiri lah, udah dibayarin juga," membuatkuku lalu berjalan ke Pak Eko dan mengambil mangkok di dapur Pak Eko.
"Eh itu mangkok gue," ucap seseorang yang sontak membuatku berbalik badan
"Nggak mungkin lah, ini aja banyak kentangnya udah jelas punya gue lah," ucapku mengelak
"Gue emang selalu pesannya gitu kok," ucapnya yang membuatku makin nyolot membalasnya terus -menerus
Hingga pak Eko datang sambil membawa mangkok yang sama "nah ini punya mbak Nara dengan kentang tambahan," ucap Pak Eko membuatku malu setengah mati sambil berlari.
"Dasar cewek aneh," ucapnya
'Aduh malu banget gue, salah ambil mangkok malunya sampai ke kromosom huhu. Tenang Na, lo nggak kenal kok orangnya' batinku menyemangati diri sendiri.
Kembali dengan membawa mangkuk soto sambil berlari membuat Regina mengernyit melihat kepadaku, tapi tak ku hiraukan karena malu. Aku hanya bengong sambil sesekali menggelengkan kepalaku karena kejadian memalukan tadi.
"Gin, gue ke kelas duluan yah. Ada tugas yang belum gue kerjakan," ucapku yang membuat Regina bingung.
"Lah, kan pak Satria udah bilang tadi jadwalnya diganti besok. Gimana sih masih muda udah pikun," ucap Regina masih terdengar setelah aku berlalu.
--
Setelah semua kegiatan sekolah usai orang-orang mulai bersiap-siap pulang, sementara aku berusaha mencari kesibukan mengingat keadaan rumah yang sangat amat tidak damai. Aku hanya bisa ke kantin demi mengusir rasa lapar dan bosanku, ditambah lagi Regina yang udah pulang duluan.
"Pak Eko, seperti biasa yah pak," ucapku di tengah kekosongan kantin.
Lewat beberapa menit, pak Eko lalu mengantarkan gado-gado pesananku yang setiap pulang aku pesan. Heningnya sekolah membuatku mengingat segala masalah yang berkecamuk di kepalaku.
-
Pukulan keras tembok membuatku terbangun dari tidurku. Padahal jelas tembok yang dipukul itu dari lantai bawah. Kehidupanku berubah 180 derajat semenjak aku beranjak remaja. Masalah berdatangan dimulai dari perkelahian orang tuaku, perkelahian kakak dan ayahku, perkelahian adik dan ayahku. Rumah penuh dengan emosi yang berkecamuk. Aku hanya bisa pasrah dengan segala ucapan ayah ibu meski kadang tidak sesuai dengan keinginanku.
brak!!! suara lemparan kaca lagi-lagi terdengar membuatku ingin cepat-cepat bersiap ke sekolah.
"Ini itu demi kebaikan kamu, kamu pikir dengan pilihan kamu kamu bisa sukses?" ucap ayah dengan lantang
"selama ini hidup aku ayah yang atur, bisa nggak sekali aja yang atur aku," balas kakak.
Sampai akhirnya aku harus pamit ke sekolah, aku hanya mengucap salam dan berlalu meninggalkan mereka. Hal itu hampir tiap pagi aku dengarkan, dengan berbagai masalalah seakan-akan setiap hari pasti ada masalah.
--
"Woi, ngapain lu disini?" ucap seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
"Lah, elo yang tadi kan?" ucapku sambil menggaruk tengkuk ku yang sebenarnya tidak gatal.
"Sorry yah, lagian lo yang salah nggak ngambil mangkuknya duluan," ucapku lagi.
"Kok jadi gue yang salah sih, kan lo yang ambil mangkuk gue," balasnya.
"Tapi kan nggak sengaja," balasku dengan nyolot.
"Bisa nggak sih kita ketemu nggak bertengkar gini, gue tuh anaknya baik,"
"Cih nggak percaya," balasku.
"Aydan,"
"Nadiya, N A D I Y A, dipanggil cantik," ucapku dengan sangat pede.
"Dih dasar anak aneh, ngapain lu disini?" tanyanya sedari tadi belum kujawab
"Emang lu siapa? penjaga sekolah? nggak kan?" ucapku lalu pergi sambil menjulurkan lidahku.
"Bener-bener aneh tuh anak, ngapain juga harus gue sih?"
.....
Jangan lupa vote dan comment yah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Fiksi RemajaRumah tidak hanya sebuah tempat tinggal, tapi juga sebuah harapan. Harapan untuk mereka yang tinggal di rumah itu, nyawa bagi tiap-tiap orangnya. Lalu bagaimana jika rumah tidak lagi nyaman? dimana lagi tempat ku tinggal? Nadiya Inara, seorang perem...