Seorang wanita yang berpipi tembab tetapi bertubuh kurus itu tengah berdiri di depan cermin besar, sehingga memperlihatkan seluruh tubuhnya yang dibaluti gaun pengantin berwarna putih. Gaun yang ia gunakan terlihat mewah karena bagian bawahnya yang begitu lebar juga ada permata yang mengelilingi di bagian pinggangnya.
Sementara di bagian kepalanya, wanita itu menggunakan warna jilbab senada yang dibentuk menutupi dada, juga ada kain panjang transparan yang ditaruh di atas kepalanya dan diberikan mahkota sebagai pelengkapnya. Sangat sederhana, tetapi terlihat elegan.
Saat mendengar suara pintu diketuk dari luar, spontan wanita itu berbalik dan retinanya langsung bertemu dengan retina tajam pria yang juga menggunakan baju pengantin yang berwarna senada dengan gaunnya.
Dada wanita itu mulai berdetak cepat, saat matanya bersitatap dengan pria yang berperawakan tinggi yang masih berdiri di depan pintu yang masih terbuka. Dengan pelan pria itu melangkah menghampiri wanita yang jantungnya semakin berdetak cepat.
Gugup. Satu kata yang menggambarkan perasaan wanita itu saat ini. Bahkan wanita itu meremas kedua tangannya dengan kuat, saat pria yang kini sudah berstatus sebagai suaminya beberapa menit lalu berdiri tepat di hadapannya.
Rasanya wanita itu masih tidak percaya jika saat ini ia sudah sah menjadi istri dari seorang pria yang sejak lama ia cintai diam-diam. Ia berharap jika ini bukanlah mimpi.
Wanita itu kembali melihat sang suami yang kini mengulurkan tangannya. Dengan pelan tangannya bergerak untuk menggenggam tangan suaminya.
****
"Alfi. Al ... hei bangun!" Terlihat wanita setengah baya yang sedang berusaha membangunkan putrinya yang masih terlelap di dalam selimut dengan nyenyak.
"Al, bangun! Astagfirullah, kamu ngigo, ya?" tanya wanita setengah baya itu sambil menggapai tangan putrinya yang terangkat.
Karena putrinya belum juga membuka mata, membuat wanita itu berdecak. Lalu kedua tangannya terulur untuk menarik kelopak mata putrinya ke atas, dan cara itu berhasil. Terbukti kedua mata putrinya langsung terbuka sempurna, tetapi sedetik kemudian menyipit, karena silau mentari dari luar jendela tepat mengenai wajahnya.
"Umi?" Wanita itu bergumam, lalu mengucek kedua matanya. Berusaha memperjelas jika wanita yang sedang menggunakan gamis berwarna maroon yang dipadukan dengan jilbab instan lebar itu adalah Khadija—uminya.
"Iya ini Umi. Kenapa kamu kayak ragu gitu manggil Umi?" Spontan Alfi menggeleng.
"Ya sudah, sana mandi! Nggak inget, hari ini, hari pertama kamu kerja loh." Lagi, Alfi mengangguk lemah, tak bersemangat.
"Jangan lama, ya, Al. Umi sama Abi nunggu di meja makan." Setelah mendapat anggukan lagi dari Alfi, Khadija mulai beranjak dari kasur putri semata wayangnya itu, lalu berjalan keluar dari kamar.
Setelah Khadija keluar, Alfi mendudukkan tubuhnya, lalu menghela napas panjang. Mimpi. Ternyata ia hanya mimpi, tetapi mengapa ia merasa pernikahan itu seolah nyata? Ia masih bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat. Alfi kembali menghela napas, seolah kecewa karena pernikahan itu hanyalah mimpi.
Jika itu hanya mimpi, akankah pernikahan itu kelak akan terjadi? Semoga. Aku sangat berharap agar dialah yang nanti menjadi imamku.
****
Alfi terlihat berlari di pinggir jalan, dengan sesekali melirik arloji yang menempel indah di pergelangan tangan kirinya. Ia juga menghapus keringat yang jatuh di keningnya. Bahkan hijab yang ia gunakan sudah terlihat basah di bagian pelipis.
Alfi berhenti sejenak, lalu sedikit menunduk untuk mengatur napasnya yang memburu. Bagaimana tidak terengah-engah jika ia berlari sejauh kurang lebih dua meter dari tempat ban mobilnya yang bocor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal Bersama Abidzar [SELESAI]
SpiritualSebelum baca, yukk follow dulu😚 Alfi tidak menyangka bahwa lelaki yang akan dijodohkan dengannya adalah Abid. Cinta yang sekian lama ia pendam pada lelaki berhati dingin itu akhirnya menemukan setitik harapan dan juga memiliki kesempatan untuk mend...