Afra terbangun dari tidurnya. Ia melirik kearah jam waker disebelah nya. Matanya terbelalak. Pukul 07.30. Ia bergegas lari melompat dari atas ranjang.
Semalam Ia tidur pukul 2 dini hari untuk mengerjakan tugas kuliah. Sebagai seorang deadliner sejati, hal ini memang biasa dia lakukan.
Menumpuk tugas yang sebenarnya bisa dikerjakan jauh-jauh hari, lalu baru mulai mengerjakan ketika besok tugas itu harus dikumpul.
Begitulah siklus kehidupan seorang Afra.
Setelah selesai bersiap-siap, ia tidak sempat sarapan.
Lebih baik sarapan di kantin kampus daripada dirumah. Pikir Afra.
Ia tahu, hari ini dia akan datang terlambat "lagi".
Ia menghembuskan nafas kasar sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan Pukul 07.45.
"Sial! Angkot ini kapan jalannya sih!" umpatnya dalam hati.
Untuk pergi ke kampus, Afra memang biasa naik angkutan kota.
Selain hemat biaya, dia juga bisa sedikit berkeliling kampus sebelum sampai di Fakultas tempatnya belajar. Menurut Afra, naik angkot memiliki estetika nya tersendiri ketimbang naik gojek atau grab yang saat ini banyak di gandrungi teman-temannya yang malas berdesak-desakkan di angkot.
5 menit kemudian angkot itu pun melaju menembus jalanan padat kota Jakarta.
Afra menghela nafas lega, meskipun saat ini ia tau pasti tetap akan terlambat juga.
Melihat pemandangan ibu kota yang penuh dengan kemacetan, Afra tersenyum getir.
Ia ingat ketika dulu sering diajak Ayahnya bepergian keluar kota bersama Ibu untuk mengunjungi neneknya yang tinggal di Jogja.
Saat itu usia Afra baru menginjak 10 tahun.Ia begitu gembira bermain bersama Wulan, sepupu yang lebih tua 4 tahun darinya. Beberapa bulan yang lalu sepupu nya itu sudah menikah dengan seorang pengusaha ternama di Jogja.
Sedih dan bahagia bercampur di hati Afra saat mengenang masa-masa itu.
Saat dimana ia masih merasakan hangatnya sebuah keluarga. Manisnya persahabatan dan indahnya hidup sebagai anak tunggal.
Tapi semua itu tinggal cerita masa lalu yang tidak mungkin bisa Afra raih kembali. Ketika ia mengetahui bahwa ayahnya bukanlah laki-laki yang setia pada ibunya. Saat itu pula semuanya berubah drastis.
Semua gambaran indah tentang tokoh kepahlawanan seorang ayah, sirna dimata Afra. Ya, semua kenangan tentang betapa baiknya sang ayah dan begitu manja Afra dulu. Kini tinggal cerita lampau yang seolah jadi tragedi dalam kisah seorang Afra.
Meski begitu, ia harus menahan segala kekesalan dan emosi dalam dirinya saat setiap hari harus mendengar pertengkaran antara kedua orang tuanya.
Hatinya begitu sakit. Teriris. Jiwanya menjadi rapuh serapuh-rapuhnya. Keluarganya yang dulu begitu harmonis, kini berubah menjadi anarkis.
Afra menyeka air mata yang terasa mulai menggenang. Seiring dengan turunnya rintik hujan yang membasahi jalan.
Kalau dia bisa memilih, ingin rasanya segera saja menjemput ajal di tangan Tuhan. Meninggalkan semua kepalsuan dan kemunafikan di keluarga nya.
Afra benci berpura-pura baik-baik saja di hadapan teman-temannya.
Afra begitu iri dengan teman-temannya yang suka bercerita tentang betapa baik dan berharganya sosok seorang ayah bagi mereka.
Pernah saat itu, Afra sedang termenung di kelas. Tiba-tiba, Sandra teman seperjuangan Afra di bangku perkuliahan datang dengan membawa seikat bunga.
Bunga itu bukan untuk Afra, tapi ditujukan untuk ayah Afra.
Kebetulan hari itu adalah hari ayah, sudah menjadi tradisi di keluarga Sandra untuk memberikan hadiah pada ayah atau seseorang yang dia anggap seperti ayahnya sendiri di hari itu.
Ketika itu, Afra hanya tersenyum kecil pada Sandra. Dengan terpaksa ia menerima bunga pemberian temannya itu.
Namun, Afra tidak memberikan bunga itu pada sang ayah. Karena ia merasa ayahnya itu tidak pantas menerima cinta dan kasih sayang ataupun penghormatan darinya lagi.
Semua rasa cinta dan hormat Afra pada sang ayah sudah hilang terbakar api amarah dalam dirinya.
.....
"Afraaaakk..." teriakan Sandra terdengar sangat nyaring ditelinga Afra.
Afra menoleh kearah sumber suara dan kembali menikmati semangkuk bakso yang baru saja dia pesan beberapa menit yang lalu.
"Afraakk..."
"Apa sih?! Ini kita jaraknya cuma 1 meter doang Sandra, gak usah teriak-teriak. Gue berasa kayak di hutan rimba tau gak."
Sandra nyengir kuda dan langsung duduk di sebelah Afra.
"Mie ayam nya satu ya pak."
"Oke neng."
"Rak..."
"Hmm..."
"Lo sibuk nggk sore ini?"
"Nggk. Kenapa?"
"Temenin gue ya," Ucap Sandra dengan gembira.
"Kemana? kalau ke mall gue males."
"Ih, bukan..." sergah Sandra.
"Terus?"
"Gue mau ngedate! Temenin yaa..."
"What?!"
Afra menghentikan aktivitas makannya, ia menatap Sandra dengan tajam.
"Gue gak mau jadi obat nyamuk."
"Tapi nanti ada-"
"Gue gak tertarik. Udah titik." Afra mendelik pada Sandra yang nampak hilang rasa antusias.
"Afra! Gue ini temen lo yang sebentar lagi akan meraih kemerdekaan dari masa kejombloan. Harusnya lo dukung gue dengan ikut berpartisipasi dalam kencan perdana gue ini. Lo tau kan, betapa menderitanya hidup tanpa cinta?"
Afra terdiam mendengar kalimat terakhir dari Sandra.
Satu-satunya orang yang tau tentang masalah keluarga Afra adalah Sandra. Dan kalimat yang di ucapkan Sandra barusan, sedikit membuat Afra terhenyak.
Sandra yang masih berkemelut tentang agenda kencan nya sore nanti tiba-tiba menyadari kalau ucapan yang ia lontarkan tadi mungkin menyakiti perasaan Afra.
Ia merutuki dirinya.
"Maaf Ra... Gue gak bermaksud buat-"
"Iya gpp san, gue tau lo gak sengaja."
"Sekali lagi maaf ya, dan soal kencan tadi kalau misal lo memang gak mau nemenin gue gpp ra."
Sandra menatap Afra dengan canggung.
"Hm iya San. Tapi, gue mau kok nemenin lo kencan sama cowok itu."
"Beneran Ra?" Ucap Sandra dengan riang.
Afra hanya mengangguk dan kembali menyesap bakso dihadapannya yang tinggal sedikit.
"Aaa... Makasih Afra... Lo memang sahabat terbaik gue."
Sandra memeluk bahu Afra dengan gembira.
"Btw, ini mi ayam gue mana ya."
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuncup di Esok Hari
EspiritualHati ini bagaikan bongkahan gunung es, ia begitu keras dan dingin. Kokoh bertengger keegoisan dan kemunafikan secara bersamaan. Aku mencintai, namun membenci. Aku mempercayai, namun menolak dalam hati. Namun, semuanya berubah. Sejak aku meraih cahay...