Sakit Hati

167 58 77
                                    

Aku dan Jennie, teman satu sekolahku, tengah berjalan di atas salju menyusuri jalan setapak terjal juga berbatu, menuju rumah persinggahan tua di lereng Norefjell dekat perbatasan Kota Oslo.

Rumah itu adalah lokasi persembunyian rahasia kami sejak lama, tiap pekan sepulang sekolah kami pergi berkunjung ke sana untuk melakukan banyak hal hebat, seperti: membicarakan pasar gelap—makanan dan minuman ilegal bagi anak seperti kami (makanan ringan bernatrium tinggi dan minuman berkarbonasi satu galon!)—membahas konspirasi dunia, bertukar pemikiran hingga keluh-kesah masing-masing sepanjang musim panas yang lalu.

Meski bangunannya sudah agak bobrok dan lapuk dengan jaring laba-laba di mana-mana serta jendelanya buram tertutup debu pekat, tapi cukup nyaman ditinggali sekitar dua jam untuk mengobrol.

Sudah hampir setengah jam kurang kami berjalan, langkahku tiba-tiba terhenti, termenung menatap lampu jalan yang rusak di tubir bahu jalan. "Mengapa berhenti? ada sesuatu yang menarik perhatianmu?" tanya Jennie, tangannya mempererat dekapan pada jaketnya, suhu udara semakin dingin, terutama di wilayah Norefjell, gunung tempat terbaik untuk berski.

"Entahlah, sempat terpikirkan cara untuk membunuhmu, Jennie, dengan menusukkan jantungmu menggunakan ujung runcing lampu jalan itu."

"Haha, engkau sangat lucu Sasa," Jennie menengadah kepala, menatap langit. "Sebaiknya kita lekas meneruskan perjalanan, aku tak ingin kita terlambat, karena perkiraan cuaca hari ini mengatakan, bahwa badai salju yang cukup besar akan datang. Kudengar juga dari beberapa sumber, tempat ski di lereng gunung ditutup sementara waktu. Aku khawatir, badai yang melakukannya."

Angin bertiup semakin lebat, langit menumpahkan lebih banyak kristal es ke bumi. Butiran-butirannya memperpendek jarak pandang netra, tapi tidak menimbulkan masalah berarti. Kami pun kembali berjalan, mempercepat mengegah, khawatir bisa jadi badai benar-benar datang lebih cepat dari perkiraan.

Setibanya di beranda rumah kosong itu, kami berselonjoran sejenak di sana sambil mengeringkan badan sedapatnya, lalu lima menit kemudian, kami segera masuk ke dalam, gelap, suasana mencekam yang selalu menyelimuti kami saat berada di sini.

Kami melewati lorong panjang penghubung seluruh ruangan, lalu membelok ke ruang keluarga yang agak berdebu, ruangan itu ditimpa cahaya temaram dari jendela tingkap, tampak banyak perabotan rusak yang ditutupi kain putih, kecuali karpet di pojok ruangan, kami pun duduk-duduk di atas karpet besar itu, meregangkan kaki lagi, setelah itu kami meraih tas, mengeluarkan beberapa camilan.

Ada hening sesaat, hanya suara tiupan badai yang berbisik dan bunyi derit kayu terempas angin.

"Bagaimana dengan harimu kali ini?"

"Sangat buruk, kurasa," kata Jennie, membuka bungkus cemilan dengan cekatan, mengunyah isinya banyak-banyak dan menelannya sekaligus. "Pacarku, engkau tahu, kakak kelas yang tadi kutunjukkan padamu ketika jam istirahat."

Aku mengangguk. "Memangnya kenapa dengan pria konyol itu?"

"Jangan katakan begitu. Dia masih pacarku," sahut Jennie gusar.

"Oke, baiklah. Aku yang salah. Jadi apa masalah baru yang dilakukan pacarmu itu?" kataku sambil meminum seteguk minuman berkarbonasi.

"Masalah besar! Kau tahu, ternyata dia bermain dengan wanita lain, berselingkuh dariku, aku melihatnya dengan mataku sendiri. Mereka berciuman di sudut kantin yang sepi. Bukan berselingkuh yang membuatku geram sekali. Tapi dengan siapa dia berselingkuh! perempuan biadab itu! Adik kelas kita, Sarah, engkau tahu dia bukan, rasanya dadaku jadi sangat sakit. Perempuan ular itu, padahal kami cukup dekat. Tidak kusangka dia bermuka iblis!"

"Astaga, kejam sekali! Jennie, tidak pantas orang sepertimu sakit hati," kataku seraya memeluknya.

Jennie membalas pelukanku sangat erat, mirip seperti cengkeraman. "Terima ka-" kata Jennie terhenti, kemudian dia tersedak, mulutnya memuntahkan darah. Pisau kecilku berhasil menusuk perutnya, dia menatap nanar luka itu.

"Apa yang kau la-lakukan, Sa?" ujar Jennie lirih.

"Mengobatimu, karena cara melupakan luka jiwa adalah dengan luka raga, nikmati kesakitan raga fanamu dan lupakan bahwa kau pernah merasakan sakit hati, oke? Karena sekarang sakit itu berpindah ke lambung atau usus, siapa yang peduli?"

End

Creepypasta: Sasa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang