Sakit Mata

445 107 129
                                    

Mata kiriku terasa sakit ketika menonton tayangan kuliner di televisi. Air mataku berlinang di sudut, rasanya perih, panas, serta gatal. Penyebabnya pasti bukan karena tayangannya bermutu buruk atau cuaca panas yang menerbangkan banyak debu halus akhir-akhir ini, pasti karena hal lain. Namun, aku tidak yakin apa penyebab utamanya.

Dengan naluri yang hampir seperti anjing liar, aku mengucek-ngucek mata dengan kepalan tangan sambil terus memperhatikan layar televisi. Meski gesekan itu tidak juga menghilangkan sakit ini, tapi setidaknya membuatku merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya.

Ibuku yang melintasi ruang tamu dengan jinjingan pasarnya serta-merta marah saat melihat tingkahku, seraya berkata: "Jangan melakukan hal itu, nanti bisa iritasi, atau yang lebih parah, kebutaan!"

Sebagai putri satu-satunya yang selalu bersikap baik, aku menaatinya tanpa banyak protes dan lekas duduk manis layaknya anjing peliharaan.

Ibuku tersenyum bangga, mungkin senang anaknya selalu penurut dan mudah diatur. Kemudian dia berlalu menuju dapur, memasak makan siang.

Setengah jam kemudian tayangan kuliner telah selesai diganti acara berita dengan dua presenter, lelaki dan wanita dalam debat yang seru bersama narasumber secara daring, aku tetap berusaha bertahan untuk tidak menggaruk mata sesuai perintah ibu, tapi tanganku mulai usil menarik-narik bulu mata dan kelopak mata supaya mengurangi rasa gatal yang kian mengganggu. Selang beberapa menit melakukan tindakan itu, kegatalan ini tak kunjung mereda, malah makin menjadi-jadi. Dengan jengkel, aku pun mencengkeram kelopak mataku dan menariknya sekuat tenaga.

Ah! Aku menjerit tertahan, ternyata kelopak mataku terkoyak!

Aku dapat melihat sobekan kulit itu tergeletak di telapak tangan kiri, sementara tangan satuku menutupi mata yang terluka. Napasku tersengal disertai detak jantung yang berdebar-debar, aku menggigit bawah bibir hingga membiru menahan sakit yang membara. Darah hangat bercampur air mata mengalir jatuh perlahan di pipiku seperti tangisan berdarah. Dalam kondisiku yang kesakitan, muncul sedikit rasa yang menggelitik dan kenyataan bahwa rasa sakit sebelumnya kini sirna.

Perasaan lega menyatu dalam penderitaan baru. Aku cukup senang, tapi tak lama, karena setelah itu aku pun menyadari terdapat keganjilan pada mataku, ada sesuatu mengganjal di sana, entah apa itu, tidak bisa dipastikan. Belum juga aku mengetahui sesuatu itu, hal aneh terjadi pada mataku, mendadak penglihatan mata kiriku hilang sepenuhnya, hanya ada kegelapan di sana. Tak disangka-sangka, ternyata mata itu keluar meluncur dari posisinya, lantas menggelinding bebas di atas karpet berbulu tempatku duduk. Bagian urat saraf mataku tertarik mengikuti bola mata yang bergulir pelan dan berhenti di lantai yang dingin. Dengan berat hati, sepertinya sekarang aku akan kehilangan sebelah penglihatan selamanya.

Terdengar hujan turun tergesa-gesa disertai gemuruh petir yang dahsyat, ibuku bergegas melintasi ruang tamu menuju teras depan tempat cucian dijemur. Di tengah keadaan panik, kaki besarnya menginjak bola mataku yang teronggok di lantai, isinya mencurat berceceran ke seluruh ruangan.

Ibuku berhenti mendadak, menatap tajam ke bawah. "Siapa yang taruh tomat sembarangan!" Suara tingginya memekakkan telinga, lantas dia menoleh sinis padaku. "Sasa! Jangan bilang ...."

Belum selesai dia mengutarakan kalimatnya, tampak wajahnya sekonyong-konyong pucat pasi ketika menatapku, keranjang tempat menaruh pakaian kering terlepas dari dekapannya. Seakan daun layu, dia terhempas jatuh ke lantai dan pingsan.

"Ibu ... kenapa tidur di lantai?" tanyaku heran. "Bagaimana dengan jemurannya?"

Tamat

Creepypasta: Sasa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang