Membantu Ibu

341 92 99
                                    

"Sasa! Kemari tolong bantu ibu!" teriak ibu dari dapur.

"Baik, Bu, tunggu sebentar!" balasku berteriak juga. Menghempaskan buku novel yang tengah kubaca ke atas kasur berseprai motif bunga-bunga.

Aku keluar kamar, berlari kecil melewati lorong pendek, lalu menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Berbelok ke kiri, melewati kusen tak perpintu dan tiba di dalam dapur.

"Ada apa?" tanyaku, mendekati Ibu yang sibuk mengaduk rebusan kaldu beraroma daging sapi pedas, (uh, baunya sungguh menyengat hidung!) sambil mendengarkan musik rock dengan penyuara telinga.

Ibu menoleh ketika menyadari keberadaanku. "Ibu ingin minta tolong, potong semua bahan-bahan di atas talenan di sana," katanya, menunjuk dengan bibir ke arah talenan dan rak penyimpanan pisau di atas meja makan di tengah dapur.

Aku mengangguk, segera menghampiri meja itu; membelakangi Ibu.

Aku meraih pisau paling tajam dan runcing, kemudian mulai memotong-motong bahannya, ada beberapa rempah, sayur-sayuran berupa dedaunan, sepotong daging sapi, dan dua tangan mungil adikku yang berada di atas talenan, direntangkan tepat di samping daging. "Semuanya?" Aku bertanya setengah berteriak agar Ibu dapat mendengarkanku.

"Ya, semua yang ada di atas talenan kecuali selada, itu untuk nanti malam, ayahmu mendamba burger buatan rumah. Oh ya, jangan lupa potong sekecil-kecilnya."

"Aku juga mau sebuah!" kata Sasa bersemangat.

"Tentu, tapi sekarang cepatlah memotong semua bahan itu atau tidak ada makan siang!"

Aku mengangguk-angguk meskipun ibu tidak memperhatikan. Aku melirik adik manisku dan tersenyum lebar padanya, Dion, anak manja berumur 7 tahun 7 bulan 7 hari.

"Semuanya?"

"Iya! Sudah berapa kali kukatakan. Jangan banyak bicara, cepat kerjakan saja!" gertak ibu.

"Baik, Bu."

Dion sepertinya tak mempedulikan perkataan ibu atau dia memang tidak mengerti dan tetap membiarkan tangannya berada di atas talenan. Matanya terus mengikuti pergerakan tanganku yang lihai saat memotong bahan-bahan. Setelah selesai memotong semua rempah dan daging, aku mengarahkan pisau itu ke atas lengan Dion, dia hanya tertawa kecil menganggapi tingkahku itu tanpa rasa curiga, mungkin menurutnya itu hanya sekadar kelakar.

Aku mengambil ancang-ancang, menaikkan pisau itu lebih tinggi.

CRAT!

Kuhantam bilah pisau itu tepat di pangkal lengannya, tangan adikku terpisah dari badannya, darah memancar sampai ke seberang meja, lalu mengucur deras melalui lengannya yang tinggal seperempat dari bahunya. Setelah menyadari tangannya terputus, Dion menjerit cukup keras diiringi tangisan seperti bayi, tapi aku tak menghiraukannya, karena hanya menjalankan tugas, sebatas itu. Dengan sigap kupotong daging pada tangannya yang kurus menjadi dadu-dadu kecil. Membuang tulang-tulang ke tempat sampah, karena mustahil dimakan.

Akhirnya talenan itu kuserahkan pada ibuku, dia hanya tersenyum sambil memasukkan semua bahan ke dalam panci, aku membalas senyumnya sekilas. Kemudian bergegas pergi kembali ke kamar.

"Terima kasih, Nak! Kau anak paling berbakti!" ujar ibu berteriak. "Kapan-kapan kamu bantu ibu lagi ya!"

"Dengan senang hati, Ibu," ujarku berteriak juga, lalu menutup pintu kamar, melompat ke atas kasur, kembali membaca buku novel yang sempat tertunda.

End

Creepypasta: Sasa (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang