Bagian 2. Rumah

30 3 0
                                    

Dr. Larasati POV

BERKAS REHABILITASI PASIEN

Nama : RONA
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 16 tahun
Tempat/tanggal lahir : (belum diketahui)
Tinggi/berat badan : 158cm/42 kg

Kasus :
- korban kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga
- tersangka percobaan bunuh diri

Diagnosa :
- PTSD ( post traumatic stress disorder)
- amnesia disosiatif ( short term memory lost syndrom)
- Parasomnia ( Dream Anxiety Disorder)

Aku kembali menatap gadis muda dihadapanku ini, wajah dan tatapannya datar tanpa menunjukkan pancaran emosi apapun, setelah lebih dari 20 menit sesi konsultasi hari ini berjalan, tidak sedetik pun ia merubah ekspresi atau pandangannya.

Sepertinya ia sudah terlalu hilang akan jiwanya, rasa melilit diperutku kembali muncul membayangkan apa yang sudah dialami dan dilewati gadis semuda dan serapuh ini, ada rasa sedih, sakit, prihatin dan penyesalan yang berkecamuk dan berusaha aku lawan didalam diriku.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang sudah dialami dan dilewati seorang gadis di usia semuda ini hingga ia memilki penderitaan yang begitu dalam dan kejam. Wajahnya yang putih pucat tampak lebih pucat, jauh dari tanda-tanda kehidupan, matanya yang kosong berwarna coklat madu tanpa sorotan emosi apapun dan yang tampak hanya kekosongan dan kehampaan yang dalam, rambut hitam panjangnya yang lembut jatuh menyelimuti wajah cantiknya bak boneka kaca.
Terkutuklah orang yang sudah menyakiti gadis ini pikirku.

Aku kembali membaca berkas-berkas dihadapanku berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk jika hal seperti ini terjadi dan dialami oleh putriku sendiri, tidak akan pernah sanggup aku membayangkannya.

Aku menyentuh tangan diatas pangkuannya yang terasa dingin dalam genggamanku. "Rona?" Panggilku mencoba menarik perhatiannya, tapi ia hanya berbalik memandangku tanpa mengatakan atau menyorotkan emosi apapun.
"Rona, apa kau tahu sekarang kita sedang berada dimana?" Lanjutku dengan pertanyaan yang sama selama hampir 6 bulan terakhir dalam setiap sesi konsultasi psikologi ini.
Aku menghela napas pelan sambil tetap menggenggam tangan kecilnya. "Apa kau masih ingat kalau aku pernah bercerita tentang putriku yang seusia dengan dirimu, aku pikir kalau kalian bertemu nanti mungkin kalian bisa menjadi sahabat baik," ucapku menepuk pundaknya. Dan wajah pucatnya masih tetap datar dengan sorotan yang sama.
Gadis ini seperti membangun sebuah dinding tinggi dalam dirinya untuk melindungi dan membentengi dirinya dari ingatan-ingatan yang menyakitkan dan menyedihkan.

Setelah 10 menit menunggu respon yang tidak pernah aku dapatkan. Aku meraih tangannya ke pangkuanku, dan sesaat tatapannya mengikuti arah tangan yang ada dalam genggaman dipangkuanku.
"Rona, kita melakukan sesi konsultasi ini sudah lebih dari 6 bulan ini, dan sekarang sudah saatnya kau harus keluar dari pusat rehabilitasi ini," jelasku dengan berat hati padanya yang masih tetap menunduk menatap tangan kami yang berada dipangkuanku. 
"dan melihat keadaanmu seperti sekarang ini, yang masih hampir sama dengan kondisi saat pertama kali kita bertemu, juga tanpa ada kemajuan yang signifikan membuatku tidak yakin akan meninggalkanmu sendiri Rona," lanjutku,
"karna aku tahu kau tidak memiliki tempat tujuan untuk kembali selain panti asuhan atau rumah sakit jiwa," tambahku, "dan aku tidak ingin kau berada diantara kedua tempat itu,"ucapku. "Dengan keadaanmu yang seperti sekarang ini".
"Dan sekarang aku sangat berharap ada jawaban darimu, aku mohon jika kau bisa memberikan sedikit respon, atau apapun itu, untuk memberikanku sedikit tanda atau sinyal agar aku mengerti bahwa kau setuju dengan ideku ini,"tanyaku mengeratkan genggamanku ditangannya
"apa kau mau ikut pulang kerumah bersamaku?" tanyaku kembali dengan harapan apakah dia bisa sedikit memahami maksud dan keadaan yang mampu aku tawarkan. Karena aku bertekad ingin menjaga gadis ini dan memberikannya kesempatan untuk bisa memulai kehidupan yang lebih baik.
Aku harus yakin untuk bisa menemukan harapan untuknya, harapan untuknya kembali pulih.

RONA POV

Sesi konsultasi hari ini berlangsung seperti biasanya, sama seperti hari-hari atau minggu-minggu sebelumnya. Aku hanya terdiam menunggu waktu bergulir sampai kemudian sesi ini akan berakhir dan aku bisa kembali menatap langit-langit dikamarku atau menghabiskan waktuku duduk ditaman bersama bunga-bunga daisy disana.

Aku kembali menatap wanita dihadapanku ini yang selalu berusaha menarik perhatianku, dan entah mengapa aku merasa senang dan nyaman menghabiskan waktuku bersamanya. Walaupun aku tidak pernah menunjukkannya. Aku merasa nyaman menatap dirinya, Karena tidak ada pancaran rasa iba itu pada tatapannya, tapi itu memancarkan sebuah tekad yang tidak terbaca olehku.
Ia kembali menceritakanku tentang putrinya yang seingatku pernah ia ceritakan kepadaku sebelumnya. Dari ceritanya aku bisa membayangkan kalau dia memiliki seorang putri yang pasti sangat cantik seperti dirinya dan ia berharap aku bisa berteman dengan putrinya yang seingatku gadis itu bernama Maya.

Ia tampak kembali serius membaca dan menekuni berkas-berkas dihadapannya, kacamata yang tergantung anggun dihidungnya membuat dirinya terlihat sangat profesional dan elegan, rambut hitamnya tertata dan terikat rapi dikepalanya menampilkan kepercayaan diri yang kuat. Ia mengetuk-ngetuk pulpen itu diatas meja, dengan tatapan masih melekat pada berkas dihadapannya. Wajahnya terlihat sangat serius seperti bergelut memikirkan sesuatu hal yang penting.

Ia berbalik kembali menatap dan menggenggam tanganku. Dan mulai menanyakan pertanyaan yang sama padaku tanpa pernah mendapatkan respon apapun dariku, genggamannya terasa hangat dan membuatku sedikit merasa tenang.
"Rona, apa kau tahu sekarang kita sedang berada dimana?"tanyanya dengan binar harapan yang sama diwajahnya setiap kali dia menanyakan pertanyaan ini.
Karena belum mendapatkan respon apapun dariku ia kembali menggenggam erat tanganku dan membawanya kepangkuannya, ia menjelaskan kalau saat ini sudah waktunya aku harus keluar dari pusat rehabilitasi ini, ia meminta jawaban apakah aku bersedia untuk pulang kerumah bersamanya.
Dan kalimat pulang kerumah itu seperti menarik diriku dari alam bawah sadarku. Dan tanpa sadar bibirku bergerak dengan sendirinya dan mengatakan kalimat itu
"Aku ingin pulang kerumah" ucapku

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rumah dalam ingatanku atau bagaimana kehidupanku disebuah tempat yang disebut rumah, karena bagiku itu hanya sebuah tempat untuk aku bisa selalu kembali. aku hanya berpikir adakah sebuah tempat untukku bisa kembali atau pulang?, tempat dimana aku bisa merasa aman?, tempat dimana aku bisa mengingat diriku? Adakah rumah itu untukku? aku ingin pulang.

Setidaknya itu yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku ingin pulang.
"Aku ingin pulang " bisikku lagi seraya menatap wanita itu yang terlihat mulai berkaca-kaca menatapku.
"Gadis pintar" ucapnya membelai rambut dan wajahku dengan ekspresi yang terlihat sedih dengan senyumannya yang meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja.

"terima kasih, terima kasih karna telah kembali Rona" lanjutnya memelukku dengan erat.
"Kita akan pulang, kita akan pulang kerumah bersama-sama" bisiknya menepuk-nepuk punggungku dalam pelukannya.
"Aku percaya, Kau akan kembali pulih Rona" bisiknya.

•••

Bayang-bayang RonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang