Bagian 3. Sahabat

24 3 0
                                    

RONA POV

Aku beranjak bangun dari ranjang tempat tidurku, dan melangkah keluar dari balik bedcover lembut yang menyelimutiku.
Perlahan aku melangkah maju kedepan tirai putih dihadapanku yang menampakkan 2 pintu kaca kearah sebuah balkon didepan kamar ini.
Aku menyingkap tirai itu dan menggeser salah satu pintu kaca yang menghubungkan kamar ini dengan balkon diluar, aku berjalan keluar dan berdiri ditengah balkon kecil yang berada dilantai 2 rumah ini.
Menatap langit pagi yang masih mengintip diufuk timur cakrawala. Menampilkan bias-bias langit hangat berwarna jingga keemasan. Aku menghirup udara pagi ini dan memenuhi rongga -rongga dadaku dengan kesejukannya sambil bersimpuh pada rel pagar besi dipinggiran balkon.

Udara masih terasa dingin menerpa wajahku dan ini adalah rutinitas pagi yang selalu aku lakukan selama hampir sebulan aku menetap dirumah ini bersama keluarga dokter Laras tanpa pernah melewatkannya.

Yahh, Sudah hampir sebulan aku menetap disini, dan aku sudah merasa lebih baik dalam memberikan respon pada sekitarku. Sedikit demi sedikit aku telah menemukan bagian-bagian diriku yang selama ini pernah hilang. Dan aku sedikit memiliki harapan untuk bisa menjalani kehidupan ini dengan bahagia walaupun terkadang mimpi-mimpi buruk itu masih datang menghantui tidurku dan membangun ketakutan yang berusaha aku buang sejauh-jauhnya.

Aku mulai bisa menemukan sedikit ingatan-ingatan kecil tentang diriku sendiri yang membuatku bisa mengenal diriku dengan lebih baik. Aku merasa bahagia berada di tengah keluarga ini. Dokter Laras yang selalu membangun kepercayaan diriku, tuan Sastrawijaya, suaminya yang dengan senang hati membuka pintu rumahnya untukku dan menerimaku dikeluarga ini. Dan juga Maya, putri mereka yang seusia denganku yang selalu menghiburku dan menjadi sahabatku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki dirumah ini.
Aku merasa terlalu beruntung menerima semua kebaikan yang datang dari keluarga ini dalam hidupku. Mereka selalu meyakinkanku bahwa aku juga berhak untuk memiliki kebahagiaan dan masa depan didalam hidupku.

Setelah memikirkan apa bagian dari kebahagiaanku, aku menyadari salah satu kebahagiaanku adalah dengan menjaga kebahagiaan keluarga ini tetap utuh. Sehingga aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak akan pernah mengecewakan keluarga ini. Dan aku akan selalu menjaga kebahagiaan mereka yang merupakan bagian dari kebahagiaanku juga.

Setelah 15 menit menatap langit di ufuk timur yang semakin cerah aku kembali masuk kedalam kamar dan langsung menuju kamar mandi yang ada dikamarku. Setelah membersihkan wajah dan menggosok gigi, aku mengganti piyamaku dengan kaos oversize dan flare skirt yang jatuh sampai ke betisku.

Setelah memastikan penampilanku didepan cermin aku menyisir rambut hitam panjangku dan menyanggulnya keatas kepalaku dengan kuat.

Setelah selesai dengan diriku, aku keluar dari kamar dan turun melalui tangga berlapis kayu menuju ke lantai bawah rumah ini, dan berjalan melewati ruang tamu yang berada ditengah-tengah ruangan dan melanjutkan menuju dapur yang berada disebelah kanan ruangan ini.

Waktu jam di dinding dapur masih menunjukkan pukul 7 pagi, aku mulai membuka lemari es dan menyiapkan beberapa bahan makanan dan minuman untuk sarapan pagi ini.
Setelah membuat Omelet, nasi goreng dan susu coklat, aku mulai membersihkan beberapa tomat dan menyiapkan blender untuk membuat jus tomat kesukaan dokter Laras. Setelah selesai, aku membersihkan cucian piring dan merapikan alat makan dimeja.

"Sudah kukatakan, kau tidak perlu melakukan semua ini" tiba-tiba suara dokter Laras mengejutkanku dari balik punggungku.
Aku menengok kearah suara dari balik pundakku dan tersenyum.

"Selamat pagi dokter Laras" sapaku padanya sambil berbalik dan meletakkan jus tomat itu dihadapannya.
Ia berjalan masih dengan piyamanya dan duduk di kursi didepan meja makan dihadapanku.
"Kenapa aku harus membuat kau melakukan semua ini Rona?" tanyanya menatapku bimbang.
"Kau tidak pernah memaksaku melakukan ini"elakku "Ini hanya untuk kenyamananku dokter," jawabku acuh tak acuh.
"Kurasa ini kebiasaan yang sudah ada pada diriku, dan aku nyaman melakukannya" lanjutku.

Ia menghela napasnya
"tapi aku membawamu kesini bukan untuk melakukan hal-hal semacam ini"! Bentaknya lembut.
"Tapi aku merasa baik-baik saja dengan semua ini,percayalah" ucapku mengelak.
Ia memutar matanya padaku dan meminum jus tomat dihadapannya.
"Baiklah, tapi berjanjilah jika kau tidak mau melakukannya lagi, maka jangan lakukan". Bentaknya
"Karna Kau sudah menjadi bagian dalam keluarga ini," lanjutnya mencubit ujung hidungku.
"Aww... Baiklah"jawabku meringis merasakan cubitan dihidungku.

Tak lama setelah itu Maya pun datang dan terlihat sudah siap dengan seragam sekolahnya, rambut hitam pendeknya yang sedikit bergelombang menggantung cantik hingga kepundaknya, senyumnya yang hangat nampak mirip seperti senyum yang dimiliki oleh dokter Laras.
Ia duduk dikursi disebelahku sambil tersenyum melirik kearahku. Aku balas tersenyum sambil menyodorkan piring dan alat makan dihadapannya.
"Aku tidak keberatan selama bisa memakan nasi goreng enak ini daripada harus memakan telur gosong" ucapnya sambil menyeringai nakal menatap wajah dokter Laras dihadapannya yang langsung membelalak menatapnya.

"Dasar anak nakal!!! " bentak dokter Laras memukul kecil tangannya yang siap menyajikan nasi goreng.

"Awww itu kenyataan ma," kau tidak berbakat untuk memasak," jawab Maya seraya menggosok tangannya dan mulai kembali menyajikan nasi goreng ke piringnya.

"Dan seharusnya kau juga bisa belajar banyak dari Rona" jawab tuan Sastrawijaya bergabung dan menarik kursi di sebelah dokter Laras dan duduk disana setelah mengecup lembut pipi istri disampingnya yang masih memberengut menatap putri mereka Maya.

"Well, Rona tidak akan pernah membiarkanku menyentuh dapurnya" jawab Maya sambil mengedipkan sebelah matanya kearahku.

Dan aku hanya memutar mataku padanya sambil menyodorkan susu coklat kearahnya.
" kalau begitu, Kau bisa membantuku mencuci piring" jawabku akhirnya menyeringai kearahnya.

"Dan itu cukup adil" jawab tuan sastrawijaya tersenyum mengiyakan, dan kembali menatap kami berdua bergantian.
Maya membelalakkan matanya kearahku dengan tatapan tanda tidak setuju dan sorotan memohon.
"Kalian kan tahu aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal seperti itu, karna waktuku sudah sangat saaa-ngat padat dan merayap dengan tugas-tugas dan kegiatan di sekolah yang semakin menumpuk" jawabnya memberengut dengan nada drama queen mencari beribu alasan.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala kearahnya sambil menikmati susu coklatku. Maya mulai melemparkan sorotan-sorotan memohonnya lagi kearahku, dan aku hanya tersenyum menatap wajah konyolnya.
"Kau bisa melakukannya kalau bersama-sama" lanjut tuan Sastrawijaya sambil mengunyah makanannya.

"Dan perlu diingat juga bahwa minggu depan kau juga sudah mulai aktif masuk sekolah Rona," tambah dokter Laras menatapku
"dan kau cukup habiskan waktumu menjadi anak seusiamu oke, tanpa harus memikirkan pekerjaan rumah tangga lagi" lanjutnya meyakinkanku.

"Yeaayyy, kalau begitu kami akan menghabiskan waktu bersekolah bersama kan? " teriak Maya memeluk tubuhku disampingnya.

•••

MAYA POV

Pertama kali aku bertemu gadis itu adalah tepat didepan pintu masuk rumah kami, aku sudah sangat gembira menunggu kedatangannya hari itu dan aku sungguh sangat tidak sabar untuk bertemu dengannya.

Mama sudah sangat sering bercerita tentang gadis itu padaku karena kami memiliki usia yang sama, dan saat mama meminta persetujuanku untuk membawanya tinggal bersama dirumah kami, tak ada yang lebih aku inginkan selain menyetujuinya.

Selama ini mungkin aku hanya selalu merasa sendirian dirumah ini selain bersama mama papa (diluar jam kerja mereka) dan para asisten rumah tangga yang menjagaku.

Aku merupakan putri satu-satunya keluarga Sastrawijaya, dan sejak kecil aku sudah sangat sering membayangkan jikalau aku memiliki seorang saudara perempuan yang bisa menemaniku bermain, berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersamaku seeee-lama-lamanya tanpa harus khawatir akan kehilangan dan ditinggalkan sendiri.
Dan disitulah aku berdiri menatap gadis dihadapanku saat itu.

"Hai" sapaku padanya sambil menyodorkan tanganku kearahnya "aku Maya" lanjutku menunggunya menjabat tanganku.
Dan sesaat aku melihat sorotan keraguan dimatanya yang lembut sebelum ia dengan canggung mengangkat dan menjabat erat tanganku.
"Rona" ucapnya dengan suara yang hampir berbisik.
Dan sejak saat itu aku yakin kalau kami akan menjadi sahabat baik selamanya.

•••

Bayang-bayang RonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang