BAGIAN 1

940 22 0
                                    

"Yeaaah...!"
Glarrr!
Teriakan-teriakan keras terdengar saling sambut, disusul ledakan dahsyat menggelegar yang memecah kesunyian pagi ini. Tampak gumpalan asap membumbung tinggi ke angkasa dari balik sebuah bukit batu yang gersang. Tak lama kemudian....

"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat, menggema karena dipantulkan batu-batuan yang memenuhi bukit itu. Tampak sesosok tubuh tak berdaya melayang deras ke dalam jurang. Keras sekali tubuhnya menghantam bebatuan, hingga kepalanya hancur. Darah seketika berhamburan, membasahi batu-batu di dasar jurang kering itu. Sementara seorang laki-laki bertubuh kekar hanya memandangi sambil bertolak pinggang dari atas sebongkah batu yang cukup besar.
"Ha ha ha...." Laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berkulit hitam bagai arang itu tertawa terbahak-bahak sambil memandangi orang yang sudah tewas di dasar jurang. Tawanya berhenti ketika telinganya mendengar langkah menghampiri dari belakang.
Perlahan tubuhnya berputar berbalik, dan langsung membungkuk. Kemudian dia melompat turun dari atas batu, begitu seorang wanita muda berwajah cantik datang menghampiri. Bajunya yang ketat berwarna merah, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah dipandang mata. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal enam langkah lagi. Tampak empat orang gadis cantik berbaju kuning mendampingi di belakangnya.
"Mana Selendang Sutera Emas itu, Gajah Ireng?" tanya wanita cantik berbaju warna merah ketat itu. Suaranya terdengar datar dan dingin sekali. Sedikit pun tak terdengar ada tekanan pada nada suaranya. Malah tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke bola mata laki-laki berkulit hitam yang dipanggil Gajah Ireng. Bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu pun tidak mengukir senyum sedikit pun.
"Maaf, Nyai. Selendang itu mungkin jatuh bersamanya ke jurang," sahut Gajah Ireng.
"Bodoh! Cepat ambil...!" bentak wanita cantik berbaju merah itu lantang.
"Baik, Nyai." Bergegas Gajah Ireng membungkukkan tubuhnya, dan segera berputar. Kemudian, kakinya melangkah menuruni tebing jurang yang cukup terjal dan berbatu ini. Begitu ringan gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja Gajah Ireng sudah sampai di dasar jurang. Langsung dihampirinya sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi dengan kepala hancur. Ternyata, sosok tubuh itu adalah seorang wanita tua. Begitu Gajah Ireng membalikkan tubuh wanita tua itu, kedua bola matanya jadi mendelik tiba-tiba.
"Keparat...!" Sambil menggeram, Gajah Ireng mengambil sebuah kotak kayu yang tutupnya sudah terbuka. Tadi, kotak itu tertindih tubuh perempuan tua itu. Dan kini, tampaknya kotak itu tidak ada isinya sama sekali. Bergegas Gajah Ireng kembali naik ke atas jurang, langsung menghampiri wanita cantik berbaju merah yang masih menunggu didampingi empat orang gadis cantik dengan sebilah pedang di punggung.
"Mana...?" wanita itu langsung saja bertanya sambil menyodorkan tangannya.
"Maaf, Nyai. Kotak itu sudah tidak ada lagi isinya," sahut Gajah Ireng sambil membungkukkan tubuh sedikit. Dengan tangan agak bergetar, Gajah Ireng menyerahkan kotak kayu yang diambilnya dari dasar jurang.
Wanita cantik berbaju merah itu segera mengambilnya dengan kasar. Dan begitu tutup kotak kayu itu dibuka, wajahnya seketika berubah merah. Kedua matanya terbeliak lebar, menatap ke dalam kotak kecil yang kosong sama sekali.
"Setan...!" Sambil mendengus geram, wanita itu membanting kotak kayu berukuran kecil itu ke atas bebatuan hingga hancur berkeping-keping. Tatapannya langsung tertuju pada Gajah Ireng yang masih berdiri dengan kepala tertunduk dan tubuh sedikit membungkuk.
"Maafkan aku, Nyai Selasih. Aku...."
"Sudah!" sentak wanita cantik berbaju merah yang ternyata bernama Nyai Selasih.
Nyai Selasih mengayunkan kakinya sambil mendengus mendekati bibir jurang yang berbatu. Sedikit kepalanya dijulurkan, melongok ke dasar jurang. Kemudian tubuhnya berputar berbalik, dan kembali melangkah melewati Gajah Ireng. Wajahnya masih kelihatan merah, seperti menahan marah. Sedangkan kepala Gajah Ireng sama sekali tidak terangkat, dan tetap tertunduk.
"Dengar, Gajah Ireng! Aku tidak sudi lagi mendengar alasan apa pun juga. Cari Selendang Sutera Emas sampai dapat. Dan, jangan kembali sebelum dapat. Mengerti...?!" tegas Nyai Selasih dengan suara lantang menggetarkan jantung.
"Mengerti, Nyai," sahut Gajah Ireng seraya sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Ingat! Kalau dalam waktu satu pekan selendang itu belum juga didapat, tahu sendiri akibatnya!" sambung Nyai Selasih bernada mengancam.
Gajah Ireng hanya diam saja sambil menundukkan kepala. Sementara, Nyai Selasih sudah memutar tubuhnya berbalik, lalu melangkah lebar-lebar meninggalkan puncak bukit batu itu diiringi empat orang gadis pengawalnya. Gajah Ireng baru menegakkan tubuhnya kembali setelah Nyai Selasih dan empat orang gadis pengawalnya tidak terlihat lagi.
"Hhh...! Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke mana lagi Selendang Sutera Emas harus kucari...?" desah Gajah Ireng. Suaranya terdengar lesu. Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki berkulit hitam itu menghempaskan tubuhnya, duduk di atas batu di tepi jurang. Pandangannya langsung saja tertuju pada perempuan tua yang masih tergeletak tak bernyawa lagi di dasar jurang.
"Hanya tiga orang murid Nyai Langis. Hm..., apa mungkin Selendang Sutera Emas sudah diserahkannya pada salah seorang muridnya...? Tapi, dia juga punya tiga saudara. Hhh...! Rasanya tidak mungkin dalam waktu satu pekan harus mencari mereka semua. Sedangkan tempat tinggal mereka sangat berjauhan," gumam Gajah Ireng berbicara pada diri sendiri.
Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Cukup lama juga Gajah Ireng duduk mematung di pinggiran jurang berbatu itu. Dan saat matahari sudah naik cukup tinggi, baru laki-laki berkulit hitam itu bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang dan terasa berat. Pandangannya masih terus tertuju ke dasar jurang, tempat tergoleknya mayat perempuan tua yang kepalanya hancur berlumur darah.
"Baiklah. Aku akan menemui mereka satu persatu. Dan kuharap, tidak ada seorang pun yang memaksaku untuk mengotori tangan dengan darah lagi. Tapi..., ah! Masa bodoh! Apa pun akan kulakukan asalkan Selendang Sutera Emas bisa kuperoleh...," desah Gajah Ireng mengambil keputusan.
Sebentar laki-laki berkulit hitam itu mendongak menatap matahari. Kemudian, tubuhnya berputar dan berjalan. Ayunan kakinya tampak cepat dan panjang-panjang, meninggalkan bibir jurang di atas bukit batu ini. Dihampirinya seekor kuda yang sejak tadi terlihat seperti menunggu.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Gajah Ireng melompat naik ke atas punggung kuda berwarna coklat belang putih. Dan sekali sentak saja, kuda itu langsung berlari cepat menuruni lereng bukit batu ini.
"Hiya! Hiya! Hiya...!" Gajah Ireng memacu cepat kudanya. Padahal jalan yang dilalui adalah lereng bukit batu yang cukup terjal. Berkat kemahirannya dalam mengendarai kuda, jalan seperti itu seperti tidak ada apa-apanya bagi Gajah Ireng. Laki-laki berkulit hitam itu baru berbelok ke arah timur, setelah mencapai kaki bukit yang sudah mulai ditumbuhi pepohonan.
Kuda coklat belang putih itu terus dipacu cepat bagaikan dikejar setan. Sementara, matahari terus merayap naik semakin tinggi, mengikuti kepergian laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berotot tanpa mengenakan baju.

82. Pendekar Rajawali Sakti : Selendang Sutra EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang