BAGIAN 2

552 21 0
                                    

Gajah Ireng langsung berhenti, begitu terdengar bentakan keras menggelegar. Akibatnya, tanah di tengah hutan ini seakan-akan bagai diguncang gempa. Tampak di ujung undakan tangga rumah yang paling besar berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Jubah putih panjang yang dikenakannya berkibar-kibar tertiup angin, memperlihatkan sebilah pedang berwarna kuning keemasan di pinggangnya.
Sementara, Gajah Ireng berdiri tegak dengan tangan kanan sudah menggenggam gagang goloknya. Walaupun, belum dicabut dari warangkanya. Sementara di sekitarnya, tidak kurang dari dua puluh orang tergeletak dengan tubuh menghitam hangus bagai arang. Dari tiga puluh orang lebih yang mengepungnya, kini tinggal sekitar sepuluh orang saja yang masih hidup.
"Hm.... Kau yang bernama Ki Wirasaba?" tanya Gajah Ireng langsung sambil mengayunkan kakinya. Dihampirinya orang tua berjubah putih yang berdiri di ujung atas beranda depan bangunan berukuran cukup besar itu.
"Benar! Dan kau siapa?! Kenapa mengacau di padepokanku?" sahut orang tua berjubah putih yang ternyata Ki Wirasaba.
"Kedatanganku memang hendak bertemu denganmu, Ki Wirasaba. Tapi, murid-muridmu mencoba menghalangiku. Maaf, kalau aku terpaksa harus membungkam mereka," kata Gajah Ireng, agak datar nada suaranya.
"Rasanya, aku belum pernah bertemu denganmu, Kisanak. Apa keperluanmu hendak bertemu denganku?" agak menggumam pelan suara Ki Wirasaba.
"Kedatanganku bukan bermaksud berdebat mulut, atau membahas ilmu kedigdayaan denganmu. Tapi kedatanganku untuk mengambil Selendang Sutera Emas. Dan kuharap, kau tidak bertindak yang bisa membuatmu menyesal sampai keliang kubur," tegas Gajah Ireng dengan suara cukup lantang.
"Heh...?! Apa katamu...?!" Ki Wirasaba tampak terkejut. Begitu terkejutnya, sampai-sampai Ki Wirasaba terlompat hingga turun dari undakan beranda. Namun begitu, sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkan saat kakinya menjejak tanah di ujung bawah undakan. Dan kini, jaraknya dengan Gajah Ireng hanya sekitar tujuh langkah lagi.
"Aku hanya bicara sekali saja, Ki Wirasaba. Aku juga terpaksa membunuh saudara perempuanmu, tapi tidak menemukan Selendang Sutera Emas padanya. Sedangkan yang kutahu, kau adalah adik kandung Nyai Langis. Nah! Sekarang, serahkan Selendang Sutera Emas itu padaku. Dan, jangan coba-coba memaksaku bertindak lebih keras lagi. Lihat murid-muridmu ini. Aku tidak ingin kau bernasib sama dengan mereka," tegas Gajah Ireng, bernada mengancam.
"Keparat..,! Setan neraka mana yang mengirimmu, heh...?! Berani benar kau umbar mulut di depanku?!" desis Ki Wirasaba menggeram marah.
Wajah laki-laki tua berjubah putih itu terlihat memerah menahan geram. Bahkan kedua tangannya sudah terkepal erat, sampai otot-ototnya bersembulan. Namun, tampaknya Ki Wirasaba masih mencoba menahan diri. Dia seperti kurang percaya kalau kakak kandungnya sudah tewas di tangan tamu tak diundang ini. Tapi melihat lebih dari separuh muridnya tewas dengan mudah, Ki Wirasaba tidak berani sembarangan. Terlebih lagi, memandang enteng pada laki-laki kekar yang memperkenalkan diri sebagai Gajah Ireng ini.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu, Ki. Sebaiknya cepat katakan, di mana Selendang Sutera Emas disimpan," desak Gajah Ireng tidak sabar lagi.
"Selendang itu tidak ada padaku. Kalau kau menginginkannya, minta saja pada pemiliknya," sahut Ki Wirasaba, agak mendengus berang.
"Jangan coba-coba membohongiku, Ki Wirasaba. Nyai Langis sudah mati, dan Selendang Sutera Emas tidak ada padanya. Pasti kau yang menyimpannya, Ki. Serahkan saja padaku, dan jangan memaksaku untuk bertindak lebih kasar lagi," sambut Gajah Ireng tegas, bernada mengancam.
"Edan,..! Lancang benar mulutmu, Kisanak," geram Ki Wirasaba.
"Kesabaranku sudah habis, Ki," Gajah Ireng memperingatkan.
"Sudah kukatakan, Selendang Sutera Emas tidak ada padaku! Sebaiknya, cepat angkat kaki dari sini. Jangan sampai aku menjatuhkan tangan pada orang edan sepertimu!" bentak Ki Wirasaba berang.
"Kau sudah memaksaku, Ki."
"Phuih! Muak rasanya melayani sesumbarmu!" dengus Ki Wirasaba sambil menyemburkan ludahnya.
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Gajah Ireng menghentakkan tangan kanannya ke samping. Maka seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur sebuah bola api yang langsung menghantam sebuah bangunan di samping rumah besar di depannya.
Glarrr...!! Ledakan keras seketika terdengar menggelegar. Bola api yang meluncur keluar dari telapak tangan Gajah Ireng, seketika menghancurkan rumah berukuran tidak seberapa besar itu. Api langsung saja berkobar, melahap kepingan bangunan rumah itu.
"Keparat...!" geram Ki Wirasaba, langsung memuncak amarahnya.
"Kalau kau sayang padepokanmu, sebaiknya serahkan saja Selendang Sutera Emas padaku," desis Gajah Ireng dingin.
"Keparat busuk! Mampuslah kau, hiyaaat..." Ki Wirasaba tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Bagaikan kilat, dia melompat menerjang sambil melepaskan satu pukulan dahsyat menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hait!!" Namun hanya mengegoskan tubuh sedikit saja ke samping, Gajah Ireng berhasil menghindari serangan kilat Ki Wirasaba. Lalu dia cepat-cepat melompat ke kanan, begitu merasakan hembusan angin pukulan mengandung hawa panas menyengat bagai hendak membakar seluruh tubuhnya.
"Hih!" Gajah Ireng langsung melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Dan pada saat itu, Ki Wirasaba sudah cepat memutar tubuhnya. Dan secepat kilat pula ditepaskannya satu tendangan sambil memutar tubuhnya, mengarah langsung ke dada Gajah Ireng.
"Hap!" Tapi Gajah Ireng kali ini tidak berusaha menghindari serangan itu. Bahkan malah mengangkat tangan kanannya, dan menangkis tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga sangat tinggi itu. Hingga tak pelak lagi, kaki kiri Ki Wirasaba beradu keras dengan tangan kanan Gajah Ireng. Dua kekuatan mengandung tenaga dalam tingkat tinggi beradu keras sekali.
"Hup!"
"Hap!"
Mereka sama-sama berlompatan mundur untuk membuat jarak. Beradunya dua kekuatan tenaga dalam, membuat mereka sama-sama tidak mau gegabah. Saat itu juga, mereka sudah saling mengetahui tingkat kekuatan tenaga dalam yang dimiliki.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, Gajah Ireng dan Ki Wirasaba melompat ke atas. Dan secara bersamaan pula, kedua tangan mereka saling menghentak ke depan. Hingga tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan yang sama-sama mengandung kekuatan tenaga dalam beradu keras di udara. Begitu kerasnya, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar bagaikan ledakan gunung berapi. Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang, dan berputaran di udara beberapa kali. Namun begitu menjejakkan kaki, Gajah Ireng langsung saja melesat cepat bagai kilat menyerang laki-laki tua berjubah putih itu. Sedangkan saat itu Ki Wirasaba baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Sesaat hatinya terkesiap menerima serangan yang begitu cepat.
"Uts...!"
Cepat-cepat Ki Wirasaba menarik tubuhnya ke kiri, menghindari pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dari Gajah Ireng. Dan begitu tangan kanan Gajah Ireng lewat di samping tubuhnya, cepat-cepat Ki Wirasaba menghentakkan tangannya. Langsung diberikannya sodokan keras bertenaga dalam ke arah lambung.
"Hait..!" Namun dengan gerakan manis sekali, Gajah Ireng meliukkan tubuhnya. Sehingga, sodokan yang diberikan Ki Wirasaba tidak sampai mengenai sasaran. Dan pada saat itu juga, tubuhnya melenting berputar ke belakang satu kali. Tepat di saat itu pula kedua kakinya dihentakkan, tepat mengarah ke dada Ki Wirasaba yang kosong. Begitu cepat tindakannya sehingga Ki Wirasaba tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, tangannya masih menjulur ke depan dan belum sempat ditarik pulang. Sehingga...
Diegkh! "Akh...!"
Ki Wirasaba terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya tendangan yang dilepaskan Gajah Ireng, sehingga membuatnya terpental sampai sejauh tiga batang tombak. Melihat gurunya terpental, sepuluh orang murid Ki Wirasaba yang masih tersisa langsung saja berlompatan sambil mencabut golok masing-masing. Tanpa diperintah lagi, mereka menyerang Gajah Ireng dari segala penjuru. Sebentar saja, Gajah Ireng sudah dipaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan golok yang begitu cepat dari segala penjuru.
"Hap! Yeaaah...!"
Srett! Bet!
Cepat sekali Gajah Ireng mencabut goloknya, dan langsung dibabatkan pada salah seorang penyerangnya yang terdekat. Begitu cepat sabetan goloknya, sehingga sulit sekali dihindari.
Cras
"Aaa...!"
"Hiyaaa..."
Gajah Ireng tidak menghiraukan satu korbannya yang menjerit keras, begitu dadanya terbelah oleh sabetan goloknya yang berukuran cukup besar. Bagaikan kilat, Gajah Ireng berlompatan sambil membabatkan goloknya cepat sekali. Seketika itu juga jeritan panjang melengking dan menyayat terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah terkena sabetan golok Gajah Ireng. Sementara itu, Ki Wirasaba sudah bangkit berdiri lagi. Namun pada saat bisa berdiri tegak....
"Aaa...!"
"Heh...?!" Wirasaba jadi terperanjat bukan main begitu mendengar jeritan melengking tinggi yang terakhir. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, manakala melihat semua muridnya sudah tidak ada lagi yang berdiri tegak. Hanya dalam waktu sebentar saja, Gajah Ireng sudah menghabisi sepuluh orang murid, hingga tak seorang pun yang masih bisa bernapas lagi. Semuanya tewas dengan luka-luka yang menganga lebar, membuat darah deras sekali berhamburan keluar.
"Keparat..! Kubunuh kau, Iblis! Hiyaaat..!" Wirasaba benar-benar tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil melompat, langsung saja pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang dicabut. Secepat kilat pula pedangnya yang berwarna kuning keemasan disabetkan ke arah leher Gajah Ireng.
"Hait..!" Namun hanya sedikit saja Gajah Ireng mengegoskan kepalanya, tebasan pedang Ki Wirasaba manis sekali berhasil dielakkan. Tapi belum juga Gajah Ireng bisa menarik kepalanya tegak kembali, Ki Wirasaba sudah melancarkan serangan cepat dan dahsyat kembali. Pedangnya berkelebat sangat cepat, berputar mengancam dada.
"Hup!" Gajah Ireng tidak punya kesempatan menghindar lagi. Cepat-cepat goloknya diangkat, untuk menangkis tebasan pedang yang berwarna kuning keemasan.
Tring! "Hup!" "Hap!"
Mereka sama-sama berlompatan mundur sambil memegangi pergelangan tangan masing-masing. Tampak mulut Ki Wirasaba meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sementara, Gajah Ireng langsung bisa menguasai keadaan, walaupun seluruh tangannya yang memegang golok terasa cukup nyeri dan bergetar.
"Phuih! Hiyaaa...!" Sambil menyemburkan ludahnya, Gajah Ireng kembali melompat secepat kilat melakukan serangan. Goloknya yang berukuran cukup besar dan masih berlumuran darah, dikibaskan cepat sekali ke arah dada Ki Wirasaba. Namun dengan gerakan manis sekali, laki-laki tua berjubah putih itu berhasil menghindarinya. Dan sambil melompat ke belakang, pedangnya dikibaskan ke depan. Tapi pada saat itu juga, Gajah Ireng sudah memutar goloknya. Hingga tak pelak lagi, satu benturan keras dari dua senjata terjadi lagi.
Trang...!
"ikh..." Ki Wirasaba jadi terpekik kaget. Hampir saja pedangnya terpental, untung segera dipindahkan ke tangan kiri. Namun pada saat yang tepat, Gajah Ireng sudah melepaskan satu tendangan kilat sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kin. Begitu cepatnya serangan susulan Gajah Ireng, sehingga Ki Wirasaba tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Plak! "Akh...!" Ki Wirasaba benar-benar terperanjat setengah mati. Tendangan Gajah Ireng ternyata tidak diarahkan ke tubuhnya, tapi ke pergelangan tangan kiri yang masih menggenggam pedang. Begitu keras tendangan itu sehingga Ki Wirasaba tidak dapat lagi mempertahankan senjatanya. Pedang berwarna kuning keemasan itu langsung terpental, melambung tinggi ke udara.
Sementara, Ki Wirasaba cepat-cepat melompat ke belakang. Dan laki-laki tua itu jadi terlongong, seperti tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya sekarang ini. Pergelangan tangan kirinya kini seperti remuk, terkena tendangan keras menggeledek tadi. Namun belum juga Ki Wirasaba bisa berbuat lebih banyak lagi, Gajah Ireng sudah melesat menyerang kembali. Goloknya yang berlumuran darah langsung dikibaskan ke arah dada.
"Hait..!" Hampir saja golok itu membelah dada, kalau saja Ki Wirasaba tidak segera menarik tubuhnya ke belakang. Hanya beberapa rambut saja ujung golok berlumuran darah itu lewat di depan dada. Namun tanpa diduga sama sekali, Gajah Ireng melompat tanpa menjejak tanah lagi. Begitu cepat lesatannya, sehingga sulit disaksikan mata biasa.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Gajah Ireng melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri ke perut. Tapi, pukulan itu masih juga berhasil dihindari Ki Wirasaba dengan merundukkan tubuhnya sedikit ke depan. Dan pada saat tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terbungkuk, Gajah Ireng cepat-cepat melepaskan satu tendangan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!" Begitu cepat tendangan yang dilakukan Gajah Ireng, sehingga Ki Wirasaba tidak sempat lagi menghindar. Telapak kaki Gajah Ireng telak sekali menghantam wajah Ki Wirasaba. Akibatnya, orang tua itu meraung keras sambil memegangi wajahnya. Tampak darah merembes dari sela-sela jari tangannya. Dan saat itu juga, Gajah Ireng tidak menyia-nyiakan kesempatan. Di saat Ki Wirasaba tengah merasakan sakit pada wajahnya, Gajah Ireng sudah melompat sambil membabatkan golok.
"Hiyaaat...!" Bet!
Ki Wirasaba yang tidak mungkin bisa menghindar lagi, benar-benar menjadi sasaran empuk golok berlumuran darah milik Gajah Ireng. Dan...
Bres!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, tepat di saat mata golok Gajah Ireng membelah dada Ki Wirasaba. Darah seketika muncrat dengan deras, membasahi bumi. Dan tampaknya, Gajah Ireng belum merasa puas juga. Maka sekali lagi, goloknya dikibaskan, dan kali ini diarahkan ke leher. Begitu cepat gerakannya, sehingga sulit dilihat. Tahu-tahu saja tebasan golok itu sudah mencapai sasaran.
Bruk! Belum juga Gajah Ireng bisa berbuat sesuatu lagi, tahu-tahu Ki Wirasaba sudah ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding. Darah langsung saja berhamburan dari leher yang sudah tidak berkepala lagi.
Cring!
Gajah Ireng segera memasukkan goloknya kembali ke dalam warangka di pinggang, kemudian melompat masuk ke dalam rumah berukuran cukup besar. Sama sekali tidak dihiraukannya tubuh Ki Wirasaba yang sudah terbujur kaku tanpa kepala lagi. Darah terus mengucur keluar dari lehernya yang buntung.
Sementara di sekitarnya bergelimpangan mayat murid-muridnya yang tewas di tangan Gajah Ireng. Cukup lama juga Gajah Ireng berada di dalam. Dan begitu keluar, terdengar umpatan dan makiannya yang bernada kesal. Tampak wajahnya memerah, dan tubuhnya agak menggeletar. Dia berdiri tegak di ujung bawah tangga beranda. Sorot matanya begitu tajam merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan di depannya.
"Phuuuih... Selendang itu benar-benar tidak ada di sini! Huh...." dengus Gajah Ireng sambil menendang satu tubuh yang berada di dekatnya. Tubuh tak bernyawa itu kontan melambung dan terpental cukup jauh. Kemudian perlahan Gajah Ireng memutar tubuhnya, dan perlahan pula melangkah mundur. Dan tiba-tiba saja....
"Hiyaaa....'" Gajah Ireng berteriak keras menggelegar. Tepat pada saat itu kedua tangannya dihentakkan ke depan. Dua buah bola api langsung saja meluncur cepat ke arah rumah berukuran besar itu.
Glarrr... Ledakan keras terdengar menggetarkan tanah, begitu dua bola api menghantam bangunan rumah padepokan itu. Sementara, Gajah Ireng seperti tidak ada puasnya. Semua bangunan yang berdiri diledakkan. Bahkan pagar gelondong kayu yang mengelilingi padepokan ini pun dihancurkan, hingga sedikit pun tidak ada yang tersisa. Sebentar saja padepokan yang didirikan Ki Wirasaba itu hancur tanpa tersisa lagi.
"Phuih! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangiku! Mereka yang coba-coba, harus mampus!" dengus Gajah Ireng sambil berkacak pinggang memandangi kobaran api yang melahap seluruh bangunan padepokan ini. Sementara, api terus berkobar semakin besar. Sedangkan Gajah Ireng sudah melangkah meninggalkan tempat itu. Kembali dihampiri kudanya yang masih tetap setia menunggu. Dengan gerakan sangat indah dan ringan, Gajah Ireng melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar dipandanginya kehancuran padepokan yang didirikan Ki Wirasaba. Kemudian...
"Hiya! Yeaaah...!" Gajah Ireng langsung saja menggebah kudanya hingga berlari cepat bagai dikejar setan. Kuda coklat belang putih itu terus saja berlari kencang menuju Selatan. Entah ke mana lagi tujuan Gajah Ireng untuk mencari Selendang Sutera Emas.

***

82. Pendekar Rajawali Sakti : Selendang Sutra EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang