BAGIAN 4

486 20 0
                                    

"Hap!" Begitu ringan Setan Tengkorak Hitam menjejakkan kakinya di tanah yang ditutupi dedaunan. Sedikit pun tak ada suara saat kakinya menjejak tanah. Dari sini bisa dinilai kalau Setan Tengkorak Hitam itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak bisa dipandang rendah. Dan itu berarti juga tingkat kepandaiannya sudah demikian tinggi.
"Aku akui, kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku benar-benar tidak ingin urusanku dicampuri orang lain. Ini persoalan pribadiku, antara bocah-bocah keparat itu denganku," kata Setan Tengkorak Hitam dingin.
"Persoalan pribadi...? Tapi kenapa kau sepertinya ingin membunuh mereka?" tanya Rangga ingin tahu.
"Memang sudah sepantasnya mereka mampus!" dengus Setan Tengkorak Hitam.
"Hm...." Sekilas Rangga melirik Rahtama, kemudian berpindah pada Suryadanta dan Anggita. Dengan ujung jari tangannya, Pendekar Rajawali Sakti memanggil Rahtama. Dan tanpa diucapkan lagi, pemuda itu segera menghampiri Rangga. Lalu diambilnya tempat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau mengenalnya, Rahtama?" tanya Rangga seraya menatap Setan Tengkorak Hitam.
"Ya," sahut Rahtama, singkat.
"Hm.... Kau punya urusan apa dengannya, sampai ingin membunuhmu?" tanya Rangga lagi.
Tapi, kali ini Rahtama tidak langsung menjawab. Malah, ditatapnya orang tua bertubuh bungkuk itu dengan sorot mata yang begitu dingin. Sosok orang tua berbaju jubah hitam panjang dan mengaku berjuluk Setan Tengkorak Hitam itu juga malah membalas tatapan Rahtama dengan sorot mata merah dan tidak kalah tajamnya.
"Katakan saja terus terang padaku, Rahtama. Apa urusanmu dengannya?" tanya Rangga lagi. Kali ini, pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti terdengar mendesak.
Sementara, Suryadanta dan Anggita sudah melangkah menghampiri. Dan mereka kini berdiri sekitar tiga langkah lagi di belakang Rahtama. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap di tempatnya, tapi terus saja memperhatikan sambil memasang telinga tajam-tajam.
"Bukan aku atau adik-adik seperguruanku yang memulai, Kakang. Tapi dia yang mencari perkara lebih dulu," tuding Rahtama.
"Bocah setan...!" desis Setan Tengkorak Hitam geram, mendapat tudingan tajam dari Rahtama. "Kubunuh kau, hih...!"
"Tunggu...!" sentak Rangga mencegah. Tapi belum juga cegahan Rangga menghilang dari pandangan, Setan Tengkorak Hitam sudah menghentakkan tangan kanannya ke belakang. Lalu begitu cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke depan. Saat itu juga terlihat sebatang anak panah meluncur deras ke arah Rahtama. Tapi belum juga anak panah berkepala perak putih itu bisa menembus kulit tubuh Rahtama, Rangga sudah cepat sekali mengebutkan tangannya.
"Hap!"
Tak!
Anak panah itu langsung terpental jauh begitu terkena kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti. "Masih banyak cara untuk menyelesaikan persoalan, Kisanak. Dan kuharap, kau bisa menahan diri sedikit," sentak Rangga tegas.
"Aku tidak perlu nasihatmu, Pendekar Rajawali Sakti. Minggir kau! Atau kau juga ingin mampus, heh,..?!" dengus Setan Tengkorak Hitam menggeram kasar.
"Aku hanya ingin membantu menyelesaikan persoalanmu dengan mereka, Kisanak," kata Rangga masih mencoba bersabar, walaupun sikap si Setan Tengkorak Hitam jelas-jelas sangat kasar.
"Aku tidak perlu bantuanmu! Minggir...!" bentak Setan Tengkorak Hitam kasar.
Baru saja Rangga hendak membuka mulutnya, Rahtama sudah menyentuh pundaknya.
"Biarkan kami bertiga yang menghadapinya, Kakang. Dia tidak akan puas sebelum melampiaskan kemarahannya," pinta Rahtama.
"Diam sajalah, Rahtama. Biar saja kuselesaikan sendiri," tolak Rangga halus, tapi bernada tegas.
"Bagus! Biar kalian semua maju bersama-sama!" dengus Setan Tengkorak Hitam dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Ayo, maju kalian semua! Biar tubuh kalian kujadikan makanan cacing-cacing tanah!" bentak Setan Tengkorak Hitam menantang kasar.
"Kenapa harus menggunakan kekerasan, Kisanak?" Rangga masih saja mencoba bersabar, dan tidak ingin terjadi pertarungan.
"Tutup mulutmu, Bocah! Ayo lawan aku...!" bentak Setan Tengkorak Hitam kasar.
"Hm...!"
"Yeaaah...."
"Mundur kalian! Hup...!" Setelah menyuruh Rahtama dan kedua adik seperguruannya mundur, Rangga cepat melompat ke depan. Langsung dihadangnya terjangan Setan Tengkorak Hitam. Tepat begitu Setan Tengkorak Hitam menghentakkan kedua tangannya ke depan, saat itu juga Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan pula. Hingga tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi tepat beradu pada titik tengah.
Plak!
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Tampak mereka saling berlompatan mundur sambil berputaran beberapa kali di udara. Dan secara bersamaan, mereka menjejakkan kaki di tanah berdaun kering ini. Namun belum juga Rangga bisa menguasai keseimbangannya, Setan Tengkorak Hitam sudah kembali melompat melancarkan serangan.
"Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Serangan-serangan si Setan Tengkorak Hitam harus dihadapinya. Terlebih lagi, kekuatan tenaga dalam laki-laki tua itu dahsyat sekali. Dan Rangga sudah bisa mengukur kalau Rahtama dan kedua adiknya tidak akan mungkin mampu menandinginya.
Maka pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Serangan-serangan Setan Tengkorak Hitam memang dahsyat luar biasa. Setiap pukulannya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu tingginya, sehingga setiap pukulannya menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat, di samping mengandung hawa panas sangat menyengat. Bukti kedahsyatan pukulan-pukulan yang dilepaskan Setan Tengkorak Hitam adalah hancurnya beberapa pohon.
Dan tampaknya, laki-laki tua berjubah hitam itu tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang. Serangan-serangan dahsyat dan gencar terus dilancarkan, sehingga membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan dari gerakan-gerakan menghindar yang dilakukan Rangga, sudah bisa dipastikan kalau yang digunakannya saat ini adalah jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Setan Tengkorak Hitam semakin meningkatkan serangannya lebih dahsyat lagi. Bahkan sudah mulai menggunakan tongkatnya untuk menyerang. Ujung runcing tongkat kayu berbentuk tak beraturan itu seringkali hampir membuat kulit tubuh Pendekar Rajawali Sakti tergores. Tapi memang Rangga bukanlah pendekar sembarangan. Walaupun terdesak terus, tapi tetap saja terasa sulit bagi si Setan Tengkorak Hitam untuk mendaratkan tongkatnya.
"Hup!" Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Hitam melompat ke belakang sejauh lima langkah.
Sementara, Rangga berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Saat itu, Rahtama dan kedua adik seperguruannya sudah kembali berada di dekat Pandan Wangi. Dan mereka benar-benar merasa berada di tempat yang cukup aman.
"Kau tinggal pilih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku atau kau yang lebih dulu masuk ke lubang kubur," desis Setan Tengkorak Hitam, dingin dan menggetarkan.
"Hm..." Tapi Rangga hanya menggumam saja perlahan. Dan....
"Hiyaaa...!"
"Hait..!"
Bagaikan kilat, Setan Tengkorak Hitam melompat sambil mengebutkan tongkat kayunya yang berujung runcing. Namun hanya mengegos sedikit saja, Rangga berhasil menghindarinya. Dan kakinya segera bergeser ke samping, begitu Setan Tengkorak Hitam melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Haps!"
Hanya sedikit saja tendangan Setan Tengkorak Hitam lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan cepat bagai kilat, Rangga melepaskan satu pukulan turus sambil memiringkan tubuhnya. Begitu cepat pukulannya, sehingga tidak ada kesempatan bagi Setan Tengkorak Hitam untuk menghindar. Karena tidak ada pilihan lain, maka Setan Tengkorak Hitam cepat-cepat mengebutkan tongkatnya. Langsung ditangkisnya pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
Plak! Trak!
"Heh...?!" Kedua bola mata Setan Tengkorak Hitam jadi terbeliak lebar, Ternyata tongkatnya patah jadi dua bagian, setelah membentur kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka, bergegas dia melompat ke belakang.
Tapi belum juga kakinya bisa menjejak tanah, Rangga sudah melesat cepat bagai kilat. Sebuah tendangan keras menggeledek langsung dilepaskan begitu cepat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Uts...!" Setan Tengkorak Hitam buru-buru meliukkan tubuhnya, menghindari tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi belum juga bisa meluruskan tubuhnya kembali, Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.
"Hiyaaa...!" Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Setan Tengkorak Hitam tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Desss..! "Akh...!"
Pukulan yang dilepaskan Rangga tepat menghantam dada laki-laki tua berjubah hitam itu. Begitu kerasnya pukulan tadi, sehingga Setan Tengkorak Hitam terpental jauh ke belakang. Dan lontarannya baru berhenti setelah menghantam sebatang pohon yang langsung hancur terlanda tubuh laki-laki tua agak bungkuk ini.
"Ugkh! Hoeeek...!" Segumpal darah kental agak kehitaman langsung menyembur dari mulut si Setan Tengkorak Hitam. Sambil memegangi dadanya, laki-laki tua berjubah hitam itu berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, Rangga sudah kembali melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hiyaaa...!" Namun belum juga pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tubuh si Setan Tengkorak Hitam, mendadak saja....
"Kakang, jangan...!"
"Upfs...!" Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang, dan berputaran dua kali sambil menarik kembali serangannya. Wajahnya langsung berpaling, begitu kakinya menjejak tanah.
Sementara Tengkorak Hitam hanya bisa berdiri lemas sambil berusaha mengatur pernapasannya yang tersengal. Rasanya, dadanya bagai terhimpit sebongkah batu yang sangat besar. Memang keras sekali pukulan yang diterimanya tadi. Kalau saja tidak memiliki kepandaian tinggi, pasti sekarang ini si Setan Tengkorak Hitam sudah menggeletak dengan dada hancur remuk.
Saat itu Anggita terlihat melangkah cepat, setengah berlari menghampiri Rangga yang tengah berpaling menatapnya. Gadis itu berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar ditatapnya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti, kemudian beralih pada Setan Tengkorak Hitam. Sementara, Rahtama dan Suryadanta juga sudah menghampiri, diikuti Pandan Wangi dari belakang. Mereka berdiri mengapit Rangga. Sedangkan Setan Tengkorak Hitam hanya berdiri saja dengan napas tersengal sambil memegangi dadanya yang terkena pukulan keras bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Sudah, Kakang. Jangan diteruskan," kata Anggita memohon.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja dengan kening berkerut. Dipandanginya gadis berwajah cukup cantik ini.
Sementara, Anggita melangkah menghampiri Setan Tengkorak Hitam yang kini sudah duduk bersila. Laki-laki berjubah hitam itu masih mencoba mengatur pernapasannya yang masih terasa begitu sesak. Gadis itu langsung saja duduk di depannya. Saat itu pula, Rahtama dan Suryadanta menghampiri. Kedua pemuda itu juga duduk di depan laki-laki tua ini. Secara bersamaan, mereka merapatkan kedua telapak tangan, dan meletakkannya di depan hidung.
"Heh...?! Apa-apaan ini...?" Rangga jadi tersentak kaget melihat sikap ketiga anak muda itu. Memang sulit dimengerti, karena tiba-tiba saja sikap Rahtama dan kedua adik seperguruannya jadi berubah. Padahal, tadi si Setan Tengkorak Hitam begitu marah dan hendak membunuh ketiga anak muda itu Tapi sekarang, setelah si Setan Tengkorak Hitam sudah terluka dalam, ketiga anak muda itu malah menunjukkan sikap seperti seorang murid pada gurunya. Inilah yang membuat Rangga jadi tidak mengerti.
"Ada apa dengan mereka, Kakang? Kenapa mereka...?" Rangga merentangkan tangannya sedikit, membuat pertanyaan Pandan Wangi jadi terputus. Perlahan kedua pendekar muda itu melangkah lebih mendekat.
Sementara, Setan Tengkorak Hitam sudah mulai bersemadi untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita, akibat pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan, Rahtama, Suryadanta, dan Anggita masih tetap duduk bersimpuh di depan laki-laki tua berjubah hitam ini. Perlahan Rahtama berpaling ke belakang. Pandangannya langsung tertuju pada wajah Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, dia bangkit berdiri dan menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan kedua adiknya masih tetap duduk bersimpuh menunggui Setan Tengkorak Hitam yang sedang bersemadi.
"Maafkan kami, Kakang. Sebenarnya....!"
"Tidak perlu kau yang menjelaskan, Rahtama...!" Ucapan Rahtama seketika terputus, ketika tiba-tiba saja Setan Tengkorak Hitam bangun dari semadinya.
Laki-laki tua itu langsung saja berdiri dan melangkah menghampiri Rahtama yang berpaling ke arahnya. Sementara, Suryadanta dan Anggita juga bangkit berdiri. Mereka ikut melangkah, lalu mengambil tempat di belakang laki-laki tua berjubah hitam yang tampaknya sudah pulih kembali.
"Sebenarnya, namaku bukan Setan Tengkorak Hitam. Tapi Randaka. Dan aku bukan orang lain bagi mereka bertiga. Nyai Langis, guru mereka, adalah kakakku. Jadi, aku termasuk guru mereka juga," jelas Setan Tengkorak Hitam yang sebenarnya bernama Randaka.
"Benar, Kakang. Paman Randaka tadi hanya mengujimu saja. Tidak lebih," sambung Rahtama.
"Menguji..? Untuk apa?!" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Paman Randaka hanya ingin memastikan kalau kami bertiga tidak salah menemuimu jauh-jauh ke Karang Setra," jelas Rahtama.
"Sebentar...," selak Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja. Mereka semua langsung mengarahkan pandangan pada gadis cantik berbaju biru yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sementara, Pandan Wangi menggeser kakinya semakin mendekati Rangga. "Kuharap, salah satu dari kalian menjelaskan semuanya. Dan aku tidak ingin ada lagi permainan yang berbahaya seperti tadi. Kalian tahu, Kakang Rangga tadi bisa saja membunuh Paman Randaka," tegas Pandan Wangi, meminta penjelasan.
"Maaf, Nini. Hanya dengan jalan itu aku baru bisa percaya, kalau pilihan murid-murid kakakku memang tidak salah," sahut Paman Randaka.
"Maksudmu memilih Kakang Rangga itu untuk apa, Rahtama?" tanya Pandan Wangi lagi.
Rahtama tidak langsung menjawab. Matanya melirik sedikit pada Paman Randaka, kemudian beralih pada kedua adik seperguruannya yang terdiam saja sejak tadi. Dan kini malah menatap Pandan Wangi, dan terakhir pada Rangga yang sejak tadi memang tengah memandang.
"Ceritakan semuanya, Rahtama. Jangan sampai ada yang terlewat," ujar Paman Randaka.
"Baiklah...," desah Rahtama sambil menghembuskan napas panjang-panjang. "Tapi, sebelumnya kukabarkan pada Paman, kalau Paman Wirasaba telah tewas."
"Apa...?!" Paman Randaka tersentak, bagai mendengar petir di siang bolong.
Kemudian, Rahtama menceritakan apa yang dilihatnya bersama adik-adik seperguruannya, Pendekar Rajawali Sakti, dan Pandan Wangi. Sementara, laki-laki separuh baya itu tampak tabah. Walaupun tidak menangis, tapi jelas terlihat kalau wajahnya terselimut mendung kedukaan. Setelah Rangga menghibur dengan kata-kata lembut, barulah Paman Randaka bisa mengangkat wajahnya. Benar-benar tabah laki-laki ini.
Rangga kemudian mengajak semuanya duduk di dekat api yang sudah mengecil nyalanya. Ditambahkannya beberapa ranting kering, agar api kembali menyala besar untuk mengusir udara dingin yang menusuk sampai ke tulang. Mereka semua duduk melingkari api unggun yang kini sudah menyala cukup besar, menghangatkan udara malam yang sangat dingin ini. Dan kini, Rahtama benar-benar bersiap memulai ceritanya.

***

82. Pendekar Rajawali Sakti : Selendang Sutra EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang