BAGIAN 3

535 23 0
                                    

Matahari belum lagi bergulir ke arah Barat, ketika tiga orang penunggang kuda terlihat merambah lebarnya hutan. Arah tujuan mereka jelas menuju padepokan Ki Wirasaba. Kuda-kuda itu dikendalikan perlahan-lahan dan tampaknya mereka tidak tergesa-gesa. Tapi mendadak saja, mereka sama-sama menghentikan langkah kudanya. Bahkan satu sama lain saling melemparkan pandangan, setelah menatap ke arah kepulan asap hitam yang kelihatannya tidak jauh lagi di depan.
"Paman Wirasaba...," desis salah seorang, agak bergetar suaranya.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Yaaa...!"
Mereka langsung saja menggebah kencang kudanya. Seketika debu dan daun-daun kering berhamburan terbang tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan. Ketiga penunggang kuda itu terus memacu kudanya semakin cepat saja, tidak peduli dengan pepohonan yang semakin rapat saja.
"Hooop...!"
Hampir bersamaan, ketiga penunggang kuda itu menghentikan lari kudanya. Dan secara bersamaan pula, mereka berlompatan setelah tiba di depan sebuah bangunan berbentuk seperti benteng yang sudah hancur terbakar. Satupun tak terlihat bangunan yang masih berdiri. Semuanya sudah hangus jadi arang. Asap hitam masih tertihat mengepul ke angkasa. Dan api juga masih terlihat di beberapa tempat.
Ketiga penunggang kuda yang semuanya masih berusia muda itu berdiri terpaku di depan tunggangannya masing-masing, memandang puing-puing hitam bekas padepokan Ki Wirasaba. Salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala, mengayunkan kakinya perlahan. Dilewatinya sesosok mayat yang dadanya terbelah lebar mengeluarkan darah. Dua orang lainnya segera mengikuti.
"Apa yang telah terjadi di sini...?" desis salah seorang yang ternyata gadis berwajah cantik. Bajunya berwarna kuning gading dan agak ketat. Dia seperti bertanya pada diri sendiri. Sebilah pedang tergantung di pinggang ramping gadis itu.
Sedangkan dua orang lagi yang ternyata pemuda-pemuda tampan, hanya diam saja sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya puing-puing kehancuran dan mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Satu pun tak ada yang masih bernapas. Semuanya sudah tewas dengan luka-luka mengerikan, berlumur darah segar.
"Kakang, ke sini...!" seru gadis berbaju kuning gading itu. Dua orang pemuda yang terpisah dari gadis cantik itu langsung berpaling. Bergegas gadis cantik berbaju kuning gading itu dihampiri. Mereka langsung terpaku begitu melihat tubuh Ki Wirasaba terbujur kaku, terhimpit sebuah balok kayu yang sudah menghitam jadi arang. Asap masih mengepul dari balok kayu yang terbakar hangus.
"Paman...," desis pemuda yang mengenakan baju warna merah menyala.
Ketiga anak muda itu langsung berlutut dengan wajah tertunduk, diselimuti mendung kedukaan. Tak ada seorang pun yang membuka suara, apa lagi berbuat sesuatu. Seluruh tulang persendian mereka seakan-akan lumpuh seketika, seperti tak bisa digerakkan lagi. Kesunyian begitu terasa mencekam di reruntuhan padepokan Ki Wirasaba itu. Begitu sunyinya, hingga suara langkah kaki yang mendekati reruntuhan padepokan jelas sekali terdengar. Dan mungkin karena terlalu larut dalam kedukaan, hingga tidak seorang pun menyadari kalau ada orang datang menghampiri.
"Tidak perlu ditangisi. Yang sudah pergi, biarkanlah pergi dengan tenang...,"
"Heh...?!" Ketiga anak muda itu terkejut sekali, begitu tiba-tiba terdengar suara yang sangat berat dari arah belakang. Cepat mereka bangkit berdiri dan berbalik.
Namun begitu melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih, dengan sebilah pedang tersembul di balik punggung, mereka langsung saja berlutut sambil merapatkan kedua tangan di depan hidung. Di samping pemuda tampan berbaju rompi putih itu, berdiri seorang gadis cantik. Bajunya warna biru muda dan sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah menggiurkan. Di pinggangnya terselip sebuah kipas dari baja putih berwarna keperakan. Sedangkan di punggungnya menyembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga berwarna hitam mengkilat.
"Bangunlah kalian. Tidak pantas bersikap begitu padaku," ujar pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Nada suaranya terdengar sangat lembut.
Perlahan ketiga anak muda yang masih berusia sekitar dua puluh tahun itu bangkit berdiri. Sekali lagi, mereka memberi hormat dengan membungkukkan tubuh sedikit, dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja, lalu perlahan melangkah lebih mendekat.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya pemuda tampan berbaju rompi putih itu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Entahlah. Kami sendiri tidak tahu, apa yang terjadi. Kami juga baru sampai di sini, dan keadaannya sudah seperti ini," sahut pemuda yang berbaju merah ketat, dengan sebilah pedang tersandang di punggung.
"Sebaiknya kita kuburkan saja dulu semuanya," kata pemuda berbaju rompi putih itu mengajak.
Tidak ada seorang pun yang membantah. Mereka segera saja mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan. Kemudian, mereka membuat lubang-lubang dan menguburkan mayat-mayat itu satu persatu. Tak ada seorang pun yang membuka suara saat menguburkan. Dan terakhir, mereka baru menguburkan jasad Ki Wirasaba.

82. Pendekar Rajawali Sakti : Selendang Sutra EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang