Nasi Goreng

32 11 9
                                    

Gadis berambut pendek itu menoleh ke arahku dengan tatapannya yang datar. Tingginya sekitar 160cm, setinggi bahuku.

"Mau Nasi Goreng ga?" tanyaku padanya sambil mengeluarkan 1 cup Nasi Goreng yang tadinya ingin kumakan saat istirahat kedua.

Dia kembali menatapku datar, namhn pandangannya kembali pada langit yang mulai menghitam. Ia mengacuhkanku.

Kemudian, perlahan aku berjalana mendekatinya, ikut menatap lamhit di sampingnya "Ah, kayanya bakal hujan lagi kaya kemarin deh. Nih, Nasi Gorengnya ambil aja".

Saat aku menaruh Nasi Goreng di sampingnya ia tiba-tiba menatapku lagi. Tatapan seperti rasa curiga. Kelopak matanya disipitkan dan kedua alisnya mendekat, perlahan wajahnya bergerak mendekatiku. Seketika aku merasa canggung dan sedikit memundurkan kepalaku.

"Lu ngomong sama gua?", ucapnya dengan datar.

"eh... i.. iya lah", ucapku gugup.

Matanya melirik ke arah Nasi Goreng "Terus ini maksudnya apa? mau modus yah!", suaranya sedikit meninggi.

"Bu... bukan kok. Gua emang suka berbagi ke orang-orang kok. Sedekah gitu ka-".

"JADI MAKSUD LU GUA ORANG SUSAHH!!!" teriaknya tiba-tiba dengan wajah marah sambil menekan telunjuknya di dadaku. Tubuhku sontak tersandar pada tiang koridor.

"Bu... bukan gitu. Eh... anu, jangan deket-deket dong-", ucapanku terhenti saat dia menekan lagi telunjuknya di dadaku, lalu seketika ia melepaskannya.
"Awww!"

Kemudian dia mendengus kesal dan kembali menatap langit dan membelakangiku. Lalu tangan kanannya bersandar pada tembok pembatas dan ia tiba-tiba terpaku menatap langit.

Aku merapihkan bajuku dan berusaha mendekatinya "Ah... itu... maaf-", lagi-lagi omonganku disela dan langkahku terhenti.

"Kamu mendengarnya kan?", ucapnya menundukkan kepala.

Aku tersentak dan merasa bingung "Hah.. Apa yang-", disela lagi.

"Katakan, kamu mendengarnya kan?!!" tangannya mengepal dan kepalanya semakin menunduk. Poninya turun menutupi matanya, aku hanya bisa melihat giginya gemetaran.

"Tangisanku", kini kulihat air mata mengalir di pipinya. Ia menoleh ke arahku dengan mata yang berlinang air mata dan gigi yang menggertak.

Aku tersentak dan perlahan pikiranku melayang. Angin kembali bertiup lembut meniupkan dedaunan dan bunga dandelion dari gerbang sekolah. Langit semakin menghitam dan hujan turun dengan rintik. Gerimis.

"Ma-maaf," ucapku memalingkan wajah, entah kenapa aku tak sanggup melihat wajahnya yang menangis.

"Gapapa... huh huh.. gapapa... Kalau boleh... Kamu bisa ga-", ucapannya terhenti tatkala bel berdering.

'KRINGG!!! KRINGG!!'

Aku sedikir terkejut "Eh... kamu ngomong apa?", namun seketika ia berjalan menjauhiku.

"Eh bentar", aku menarik tangannya dengan cepat. Tapi, kemudian ia menengok dengan tatapan tajam.

"Jangan modus! gausah pegang!", ucapnya dengan nada ketus. Sontak aku langsung melepas tangannya.

"Ini Nasi Gorengnya bawa. Seriusan", kataku sambil menyodorkan Nasi Goreng yang tadi terlantar itu.

Tapi, ia kemudian berbalik arah mendekatiku. Semakin dekat dan sangat dekat. Sampai ia tepat ada di bawah daguku sambil mendongak melihat wajahku. Dan aku kembali mundur dan terpojok di tiang yang sama. Aku berusaha menghindar namun tak bisa.

"Ga mau!" ucapnya tiba-tiba.

"eh?"

"Gua ga suka Nasi Goreng!" bentaknya dan ia perlahan mundur dan berbalik arah.

"Eh... kenapa?" tanyaku

"Karena gua lagi mau nyoba Spaghetti!" ucapnya mengangkat satu cup Spaghetti yang ia curi dari kantong daganganku. Ia pun bergegas berjalan menuju kelasnya. Ah iya, aku belum menanyakan namanya.

Saat aku ingin mengejarnya sesosok pria menarik telingaku "Hayo, arek kamana lagi maneh can masuk kelas!", ucap sosok itu dari belakangku.

"Aw.. aw.. sakit Pak Herman!" ucapku pasrah dengan rasa sakit ini.

'Namanya siapa yah?'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RINTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang