Demi Uang, Ayu Dijual

2K 68 7
                                    

Ayu baru saja selesai menjemur baju saat Handoko datang dan menghancurkan dapur yang telah selesai dirapikan. Suara denting kaca beradu saat tangan kasarnya meraih gelas di lemari.

"Ayuuu, sini kamu!" pekiknya dari dapur. Dengan tergopoh gadis berusia dua puluh empat tahun itu datang menghampiri Handoko sang Bapak.

"Ada apa, Pak? Ayu lagi jemur baju," katanya ketakutan.

"Siap-siap! Kita mau keluar. Pakai baju yang bagus!" perintah Handoko dengan suara keras. Ia meletakkan gelas kristal berwarna putih dengan kasar di atas meja. Tubuhnya yang besar dan tegap itu menghilang di balik dinding dapur. Suara langkah yang terseok kasar menjauh menuju kamar.

Ayu mengelus dada, lalu beranjak pergi ke kamar. Ia segera bersiap. Berganti pakaian yang layak seperti perintah Handoko. Menyisir rambutnya yang setengah basah karena habis mandi, mengoleskan bedak di pipi yang putih. Tak lupa lipstick nude ia poleskan di bibir tipisnya. Setelah siap, ia meraih sebuah tas sederhana dari dalam lemari lalu mengenakan flat shoes berwarna krem dan segera menjumpai Handoko.

Pria berusia lima puluh tahun itu mendengkus kasar saat melihat putrinya yang terlihat murung.

"Kalau kamu nggak bisa senyum, biar Bapak pukul bibirmu."

Ayu tersentak mendengar perkataan Handoko. Buru-buru ia menguntai senyum di bibirnya, lalu mengekor di belakang Handoko menuju sebuah kendaraan roda empat yang terparkir di halaman rumah. Sepeninggal Marina, Ibu kandung Ayu, rumah mereka jadi kehilangan cahaya. Kusam, sepi, bahkan tak ada lagi canda tawa di dalamnya.

Handoko yang gemar berjudi makin jadi, hampir semua harta yang ada di rumah ia habiskan untuk berjudi. Entah apa lagi nanti yang akan dia jual jika semua harta telah habis. Minibus berwarna hitam itu melaju perlahan membelah jalanan kota dengan tenang. Tak peduli hiruk pikuk lalu lintas, yang padat merayap. Usai berkendara selama hampir satu jam, mereka tiba di kawasan yang lebih asri, dan memiliki pemandangan sejuk.

Pepohonan eukaliptus berjejer rapi, Ayu takjub. Entah sudah berapa lama ia tak menikmati pemandangan indah seperti ini.

"Mana Pak Beni?" Tanya dari mulut Handoko membuyarkan lamunan Ayu. Pria berseragam hitam itu menunjuk ke dalam rumah saat menerima pertanyaan dari Handoko.

"Tolong kasih tahu, Handoko datang!" pinta pria setengah abad itu dengan sopan.

"Siap. Tunggu, ya!" Pria itu berlalu menuju sebuah pintu yang terbuat dari kaca lalu tubuhnya yang besar terlihat menjauh. Handoko menunggu dengan gusar, ia terlihat mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja.

"Ayu, Bapak kasih tahu, ya. Nanti kalau ketemu Pak Beni, senyum! Jangan cemberut. Biar hargamu jadi mahal," kata pria itu dengan seringai di wajahnya. Ayu hanya bisa mengangguk. Pemikirannya yang sederhana belum bisa menebak apa yang akan terjadi di depan nanti. Ia hanya tahu bahwa sedang menunggu seseorang bernama Beni.

Tak sampai sepuluh menit, pria berseragam hitam itu kembali bersama seorang pria tampan yang mengenakan setelan denim. Terlihat seperti kaum borjuis, ia menenteng sebuah tas hitam berukuran sedang. Saat menjumpai Handoko ia sekilas menatap Ayu.

"Hallo, Tuan Beni. Apa kabar?" sapa Handoko ramah. Pria itu terkesan tengah menjilat dengan raut wajah berubah manis.

"Jadi ini, anakmu?" tanya pria bernama Beni sambil melirik kepada Ayu. Gadis itu tampak kikuk saat matanya beradu pandang dengan Beni.

"Iya, Bos. Saya nggak bohong, kan? Kalau dia cantik," jelas Handoko sambil beringsut mendekat pada Beni. Deretan gigi kuningnya terlihat penuh saat bibirnya tersenyum.

"Memang dia cantik. Apa dia bisa jadi istri yang baik? Minimal dia bisa mengasuh anak-anakku," kata Beni lagi. Ayu terhenyak mendengar perkataan pria itu.

"Apa? Istri? Pak, ada apa ini?" protes Ayu pada Handoko. Ia mengguncang bahu pria itu dengan kuat. Ayu berharap ada penjelasan dari mulut sang Bapak.

"Jangan banyak protes! Kamu nurut saja sama Tuan Beni," kata Handoko kasar.

Air mata mulai bergulir di pipi Ayu, terlalu sesak dadanya saat ini. Pemikirannya yang sederhana baru terbuka. Terbayang ketakutan di benaknya tentang perjanjian kotor Handoko. Meski Beni pria yang tampan, tapi tak mampu mengusir rasa takut yang mulai merayap di seluruh tubuhnya yang kurus.

"Ini uang yang kamu minta, tapi ada beberapa hal yang harus kamu ingat! Satu, aku tidak akan menambah jumlah uangnya selain kesepakatan kita. Dua, aku tidak peduli dengn apa pun yang terjadi denganmu di kemudian hari. Hubungan kita hanya sebatas bisnis, meski nanti ... aku menikahi anakmu. Tiga, pernikahan kami tak bisa kau campuri. Mengerti?!"

Usai mengatakan instruksi pada Handoko, Beni memberikan tas yang rupanya berisi uang pada penjudi itu. Seringai di wajah setengah tua itu lebar dan menakutkan. Ayu lunglai, air mata tak terbendung.

"Satu hal lagi. Segera siapkan berkas kelengkapan pernikahan! Setelah itu segeralah menghilang dari hadapanku!" perintah Beni tegas pada Handoko.

"Siap, Bos. Lusa juga sudah beres berkasnya," jawab penjudi itu enteng.

"Kamu sudah jelaskan pada anakmu, bahwa dia akan tinggal di sini mulai detik ini?"

"B-belum, Bos. Tapi dia pasti sudah paham. Ayu, kamu harus nurut sama Bos Beni, ya! Dia akan jadi suamimu dua hari lagi. Soal penghidupan kamu nggak usah kuatir, terjamin pokoknya. Nurut, ya!" Handoko tak lagi peduli pada air mata di pipi Ayu. Jangankan air mata, perasaan anak gadisnya pun tak ia hiraukan lagi.

"Bapak," kata Ayu lirih. Ia sesenggukan, tak menyangka Bapak yang ia hormati tega menjual dirinya demi uang.

"Sudah! Aku tak perlu melihat drama kalian. Pergilah kamu Handoko! Siapkan berkas untuk pernikahan, dan kamu Ayu, ikutlah bersama Bi Asih!" perintah Beni sambil menunjuk ke arah seorang wanita paruh baya yang baru saja datang. Tak ada yang dapat Ayu lakukan, selain mengikuti langkah wanita yang menjemputnya. Ia terlalu sayang pada Handoko, sehingga diam menerima semua perlakuannya.

"Ingat! Dua hari harus selesai berkasnya. Karena aku ada pertemuan keluarga setelah pernikahan. Aku juga harus memperkenalkan Ayu pada rekan bisnis. Kuakui, anakmu memang cantik. Ini kukasih bonus," ucap Beni sambil tersenyum. Ia menyerahkan amplop berwarna cokelat pada Handoko.

"Tengkyu, Bos. Saya permisi dulu, ya."

"Pergilah!"

Handoko si penjudi itu melangkah dengan riang meninggalkan Beni yang geleng-geleng kepala melihat aksinya.

"Dasar Ayah yang bodoh. Dia menjual permata demi kesenangan sesaat," gumam Beni seorang diri. Pria berseragam yang berdiri di sebelahnya manggut-manggut mengerti. Ia juga mengakui kecantikan Ayu. Sayang gadis punya Bapak yang brengsek.

Saat Bapak yang lain banting tulang demi nafkah anak, Handoko malah menjual Ayu untuk kesenangannya di meja judi.

"Perketat penjaagaan! Jangan sampai dia kabur. Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk jamuan makan dengan rekan bisnis. Kalau ada apa-apa, kalian akan tahu akibatnya."

Usai berkata demikian Beni segera berlalu meninggalkan anak buahnya yang berseragam hitam. Pria tegap dan kekar itu menyadari tugas besar menanti di depan matanya.

Bara Dalam PelukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang