Bulan Madu

565 26 8
                                    

Beni menatap gadis di hadapannya yang tengah terlelap. Napasnya teratur dan terlihat tenang. Perlahan Beni menyibak rambut yang tergerai di pipi Ayu. Tarikan napas pria itu terdengar berat. Seperti tengah memikul beban yang amat berat.

"Mengapa kabar ini justru terdengar di hari pernikahan kita, Ay? Kenapa nggak dari dulu? Kenapa Tuhan nggak mengizinkan aku bahagia?"

Beni menyugar rambut dengan jarinya. Kepalanya berdenyut nyeri mengingat wajah Amelia, ibu dari kedua anaknya. Wajah yang sekian tahun jadi momok menakutkan, kini kembali membayangi kehidupan Beni. Harusnya wanita itu pergi sejauh mungkin, atau mati.

Pria berkimono hitam itu mendekati jendela, menyibak tirai putih yang membatasi pemandangan keluar. Hamparan gelap tersaji berhiaskan kerlip lampu di tepi jalan. Jalanan terlihat lengang, mungkin hanya Beni yang saat ini terjaga.

Pikirannya gundah ....

Mengapa ....

Setelah semua ini dia lalui, Beni harus kembali dihadapkan pada kenyataan pahit.

Beni menyesap root beer dari kaleng. Entah sudah berapa lama dia tak menyentuh minuman sejenis ini. Beni sudah berjanji akan membuang semua tabiat buruk demi kedua anaknya.

Beni menatap langit malam yang bertabur bintang. Meraba jendela kaca yang seolah-olah mengajaknya bercengkerama.

'Masihkah kau ingat dia, Ben? Gadis yang kau puja selama bertahun-tahun, dan, akhirnya pergi menghilang tanpa jejak. Mengapa sekarang kau gundah, Ben? Bukankah kau baru saja menyesap madu pernikahan bersama Ayu?'

Beni menepuk dadanya beberapa kali. Ada rasa nyeri yang seketika hadir. Peristiwa dua tahun lalu berkelebat laksana malaikat mau yang tengah mengintai korbannya.

Flashback 2 tahun lalu.

Gemuruh di langit belum berhenti saat Beni menyaksikan kedua anaknya meraung mencari sang ibu. Dua pengasuh mereka tak mampu menangani tangis keduanya.

Pria yang masih mengenakan setelan jas itu menuju ke kamar utama, matanya mencari sosok yang harusnya bisa menenangkan kedua buah hati mereka.

Nihil. Wanita berparas ayu itu tak berada di kamar, bahkan di dapur atau di bagian rumah lainnya.

"Mami ke mana, Bi?"

"S-saya nggak tau, Tuan," ucap wanita berusia menjelang lima puluh tahunan itu sambil terbata. Dia tahu persis tabiat tuannya.

"Bagaimana bisa orang sebanyak ini tidak ada yang lihat ke mana Mami anak-anak pergi? Kerja kalian apa?" Suara Beni seperti mengalahkan gemuruh hujan di luar sana.

"T-tadi Mami hanya berpesan untuk menyuapi Hanum, Tuan."

Beni meraih ponsel dari sakunya, sebuah kontak bertuliskan 'Mami' segera menghiasi layar. Untuk beberapa saat tak ada jawaban dari nomor yang ditujunya. Pria beranak dua itu terlihat kalap dan tak sabar, tapi ....

"Halo, Pi ...."

Suara di seberang membuatnya dada Beni mendadak tak lagi bergemuruh penuh amarah. Air mukanya terlihat lega.

"Mami di mana? Kasihan Hanum mencarimu, Sayang," keluh Beni dengan suara memelas. Jika diperhatikan, mata cekung pria itu berkaca-kaca.

"Pi, mulai detik ini anak-anak harus terbiasa tanpa Mami."

Hening. Dada Beni terasa sesak seketika.

"Mi, kalau becanda nggak usah keterlaluan, dong! Atau Mami lagi marah sama Papi? Plisss, lampiaskan semua sama Papi, jangan sama anak-anak, ya!"

"Mami nggak marah, Pi. Mami hanya merasa Papi terlalu baik. Maafkan Mami ya, Pi. Cepat atau lambat Papi pasti akan mengetahui kisah yang sebenarnya. Tolong jaga anak-anak, Pi. Mami tahu Papi bisa," ucap ibu muda itu terbata.

Tanpa jawaban yang pasti, suara di seberang mengakhiri percakapan sepihak. Beni bahkan membanting ponsel ke lantai hingga hancur berkeping. Tangisan Hanum membuatnya tersadar untuk segera mengambil tindakan.

Hanum sesenggukan di dada Beni, sesekali bocah kecil itu menyusut matanya yang basah. Cairan bening dari hidung segera diseka oleh sang ayah.

"Hanum jadi anak pinter ya! Jangan rewel. Nanti kita cari Mami ya," bujuk Beni dengan suara bergetar.

Dadanya dilanda sesak yang teramat sangat. Beni menyangka selama ini rumah tangganya baik-baik saja. Pria jangkung itu selalu mengedepankan kepentingan keluarganya, tapi ....

Flashback Off

Beni mengembuskan asap rokok dari mulutnya dengan perlahan. Langit malam masih berwarna hitam pekat, meski di bawah sana--di jalanan, kehidupan malam terlihat gemerlap. Dari lantai ke sekian di hotel berbintang ini, Beni menghabiskan malam pengantinnya bersama Ayu. Gadis yang membuatnya membuka hati dari sang Mami, ibunya anak-anak.

Namun, berjuta tanya masih bergelayut di benak Beni. Mengapa Mami muncul kembali setelah menghilang begitu lama? Apa yang wanita itu inginkan?

Beni menyugar rambut ikalnya dengan jari tangan. Menjambak dengan perlahan hingga rambutnya berantakan. Pria itu mengalihkan pandangan ke dalam kamar, saat mendengar seseorang memanggil namanya.

Setelah mematikan rokok, Beni segera menghampiri Ayu, istrinya.

"Hai, cantik. Capek?" tanyanya penuh perhatian. Gadis manis itu tertunduk malu. Pertanyaan Beni sang suami sangat tepat dengan rasa pegal di pangkal pahanya.

Beni merengkuh Ayu dan mengecup keningnya. Beni menghirup aroma rambut sang istri yang berada dalam dekapan. Batin Beni dilanda badai, Ayu tak tahu jika Beni belum menceraikan Mami.

'Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus jujur?'

"Apa yang Abang pikirkan?" tanya Ayu yang masih berada dalam dekapan Beni.

"Nggak ada, Cantik. Abang belum percaya jika saat ini telah menyanding seorang gadis cantik seperti dirimu."

"Aku bukan disanding, tapi dipaksa," gerutu Ayu lirih. Namun, ulahnya membuat Beni tergelak.

"Iya, aku tahu. Aku yang memaksamu menerima duda ganteng beranak dua ini. Duda yang kasar, iya kan?"

Ayu terdiam. Kenyataan bahwa Beni membelinya begitu menyakitkan, tapi cinta yang mulai mekar di hatinya adalah bukti kelembutan Beni.

Ayu mendongak menatap ke dalam manik bening mata sang suami.

"Nggak, itu semua nggak benar, Bang. Abang adalah suami yang penuh cinta dan kelembutan."

Sebuah kecupan mendarat di bibir Ayu yang tampak pasrah. Beni memejamkan mata, mengusir panas di kelopak matanya. Gadis manis yang kini menjadi istrinya begitu polos, banyak kenyataan pahit yang belum Beni katakan padanya.

"Ay, aku mohon padamu! Apapun yang terjadi nanti, tolong percaya bahwa aku tak pernah berniat jahat padamu. Memang aku membeli dirimu, tapi aku memberikan tempat yang terbaik di rumah. Sebagi istri. Banyak hal tentang diriku yang belum kamu tahu, Sayang. Kelak kamu akan mengetahuinya, perlahan-lahan."

"Iya, Bang."

Beni kembali memeluk tubuh mungil sang istri. Membelai rambutnya yang sebahu, sungguh indah malam ini, pikir Beni. Pria jangkung itu berjanji dalam hati akan membahagiakan Ayu juga Hanum dan Hakim. Beni ingin mengubur semua rasa sakit yang selama ini dialami anak-anaknya.

Dan, Beni percaya bahwa Ayu adalah jawaban dari semua doanya yang terbalut air mata.

***
Lalu, bagaimana dengan Mami? Ada rahasia apa di balik kepergiannya?

***

Sorry lama update 🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bara Dalam PelukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang