Sebuah restoran yang tidak terlalu mewah menjadi tujuan Beni, kedua anaknya langsung berlarian ke dalam. Beberapa pelayan restoran segera melayani kedua bocah itu. Sepertinya sudah cukup akrab dengan keluarga Beni.
"Aku kenal baik dengan pemilik restoran ini, jadi santai saja!" perintah pria itu pada Ayu. Saat berdiri sejajar dengan gadis manis itu, Beni menggamit lengan Ayu yang kurus tanpa aba-aba. Saat Ayu hendak menarik tangannya, tapi Beni memegang dengan kuat.
"Kita ini calon pengantin, tentu aneh kalau jalan sendiri-sendiri. Makanya tadi aku bilang santai saja," ucap Beni. Sekilas ia melirik Ayu yang merengut, tak dipungkiri oleh Beni, Ayu adalah gadis yang cantik. Meski penampilannya sederhana tapi kecantikannya alami, dan itu yang membuatnya langsung menyetujui saat Handoko mengajukan harga jual. Mata Ayu keibuan, bisa menundukkan siapa pun yang ia mau.
"Selamat datang Pak Beni, Ibu Ayu. Silakan duduk!" Sambut seorang pria berdasi dan berkemeja abu-abu. Pria itu bahkan menggeserkan kursi untuk Ayu.
"Terima kasih, Rudi. Mana bosmu?" tanya Beni ramah. Pria bernama Rudi itu segera menuangkan air mineral di gelas yang tersedia di atas meja.
"Ibu Monica sedang dalam perjalanan kemari, Pak. Tadi waktu beliau mengabari bahwa Anda akan kemari, kami segera menyiapkan segala keperluan Anda."
"Monica itu ada-ada saja. Suka over kalau menyambut kami," ucap Beni sambil tersenyum. Ayu hanya diam karena memang tidak mengerti apa dan siapa yang dibicarakan.
Sesekali Ayu melirik anak-anak Beni yang tengah bersenda gurau di meja sebelah. Bocah perempuan mengenakan long dress dengan belahan samping, seperti busana yang biasa dikenakan orang Tionghoa, kulitnya yang bersih membuat bocah itu telihat anggun. Meski usianya masih kecil. Anak perempuan memang selalu menarik hati Ayu, ia gemar bereksperimen dengan anak tetangga untuk didandani.
"Kamu mau makan apa?" tanya Beni dengan sedikit penekanan. Karena sedari tadi Ayu terlihat tak menghiraukan dirinya.
"Terserah," jawab Ayu ketus. Gadis itu masih kesal pada situasi saat ini. Kemerdekaannya terampas.
"Kamu kalau lagi ketus begitu, terlihat makin cantik," puji Beni jujur. Ayu hanya bisa tersipu dan menunduk. Pujian lawan jenis adalah hal langka baginya, hari-hari ia lewati untuk mengurus Handoko, Bapaknya. Selepas SMA, ia lebih sering berada di rumah. Ia tak punya banyak kawan akrab.
"Aku yakin kalau kamu sudah pandai berdandan, akan banyak mata yang terpesona dengan kecantikanmu. Istri Beni Sanjaya menang wanita pilihan. Meski ayahmu seorang penjudi, aku tak masalah. Yang penting dia tidak mengganggumu lagi nanti. Karena jika dia mengganggumu, aku bawa kamu pergi jauh dari kehidupannya."
Ayu tersentak mendengar perkataan Beni, bagaimana mungkin ia berniat membawa Ayu pergi jauh. Mata indah gadis itu menatap Beni lekat. Seolah tengah meminta penjelasan.
"Aku tak suka rumah tanggaku dicampuri orang lain. Meskipun mertuaku sendiri. Anak gadisnya sudah menjadi tanggung jawabku, mau apa lagi dia ikut campur? Aku berniat menikahimu, bukan mencampurimu secara asal. Kemudian menikmati tubuhmu begitu saja. Makanya aku memerintahkan bapakmu untuk mengurus kelengkapan berkas pernikahan," jelas Beni lagi.
Kali ini penjelasan Beni membuat mata Ayu berkaca-kaca. Gadis itu memang benci dengan kebiasaan buruk bapaknya, tapi ia tak pernah membenci pria itu. Handoko tetaplah ayah kandungnya.
"Sudahlah! Jangan bahas masalah ini dulu. Kita makan baru jalan-jalan," kata Beni. Sepanjang waktu hanya ia yang selalu berbicara, Ayu hanya menyimak. Perutnya terasa penuh dengan kata-kata pria itu. Bagaimana ia akan makan nanti?
"Bagaimana kalau kau ceritakan masa kecilmu, Ay!" pinta Beni dengan menyebut nama Ayu hanya dengan Ay. Gadis itu merasa sedikit geli dengan cara Beni memanggil dirinya.
"Masa kecilku tidak indah, apalagi manis. Kehidupan kami keras, Bapak bukan orang yang mapan finansialnya. Kami pun tak banyak waktu untuk menikmati hidup. Besok makan dengan cukup saja sudah bagus," jawab Ayu lirih. Beni jadi sedikit menyesal menyinggung masa kecil Ayu.
"Harusnya masa kecilmu bahagia, Ay. Seperti anak-anakku. Meski mereka kini tak lagi punya Ibu secara status, tapi mereka harus bahagia. Hanum dan Hakim, harus bahagia."
"Jika saja sikap Bapak sepertimu, aku pasti punya masa kecil yang bahagia."
Bahu Ayu berguncang, suara isaknya lirih terdengar. Sungguh Beni merasa jadi orang bodoh di hadapan seorang gadis yang sedang menangis.
"Maaf!" pinta Beni tulus. Pria itu menyerahkan beberapa lembar tisu pada Ayu.
"Meski Bapak bukan orang baik, tolong jangan pisahkan aku dengan beliau! Cuma dia jejak masa kecilku yang masih bisa kulihat. Cuma dia obat rindu ini pada sosok Ibu. Cuma lewat Bapak aku ingat bahwa ada seorang Ibu yang begitu menyayangiku."
Kali ini mata sembab Ayu menatap bola mata Beni yang hitam. Mata indah berwarna kecokelatan itu basah oleh air mata. Beni gamang, pandangan mata indah itu menerobos dinding kesombongannya serta meruntuhkan dan meluluhlantakkan tanpa sisa.
"Maaf, Ay!" ucap Beni dengan suara lirih. Ia meraih tangan Ayu dengan perlahan lalu menggenggamnya erat.
"Aku tak bisa menjanjikan apa pun tentang Bapakmu, tapi aku akan berusaha supaya komunikasi di antara kalian tetap lancar. Kita semua tahu, penjudi itu tidak bisa dipelihara, Ay. Kamu pasti sudah merasakan itu. Aku nggak mau kebiasaan bapakmu itu berimbas pada rumah tangga kita nanti. Ay, aku ini tidak ingin main-main denganmu. Aku ingin menempuh jalan yang baik dengan menikah. Seandainya kau tahu bagaimana rasa hati ini jika memikirkan tentang pernikahan. Hancur, Ay," keluh Beni lagi.
Ayu mengusap matanya dengan sebelah tangan, kemudian ia menatap Beni dengan tatapan tak percaya. Mengapa dalam waktu singkat pria itu terlihat begitu rapuh? Apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahannya? Hingga ia begitu terluka.
"Papa, Hanum mau minum!" pinta anak perempuan Beni mengejutkan adegan sedih keduanya. Beni segera mengambil alih gelas berisi air putih untuk Hanum. Bocah perempuan itu menenggak hingga tak tersisa. Beni hanya tersenyum melihat tingkah putrinya.
"Anak Papa ini habis jogging, ya?" tanya Beni sambil mengusap puncak kepala putrinya.
"Kak Hakim ngabisin air di gelas Hanum, Pa," ucap bocah itu lugu. Sepertinya berada di antara kedua bocah itu akan menyenangkan, batin Ayu.
Beni segera memangku Hanum, ia membujuk supaya bocah itu tidak merajuk. Seorang wanita mengenakan rok mini mendekati Beni dan mengelus bahunya.
"Hallo, ganteng. Sorry aku telat," ucapnya sambil mengerling manja pada pria itu.
"Biasa aja, Mon! Aku sama Ayu baru datang, kok," jawab pria itu ramah. Sesaat Monica menatap Ayu, dari ujung rambut hingga kaki. Kemudian kembali beralih pada Beni. Wanita itu bahkan tak menyapa Ayu sebagai tindakan sopan santun. Rupanya Beni lebih menarik, tapi Ayu tak peduli. Di hati Ayu belum ada rasa memiliki Beni, wajar jika ia tak peduli.
Ayu juga tak pernah mengidamkan akan berada di sini bersama Beni. Semua hanya karena Bapaknya yang penjudi itu, bagaimanakah kehidupan Ayu selanjutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara Dalam Pelukan
RomanceAyu adalah seorang gadis yang terpaksa menikah dengan seorang duda beranak dua. Ayahnya terlilit hutang dan menyerahkan Ayu sebagai jaminan. Pernikahan ini bukan impian Ayu, hidupnya mengalir datar tanpa kesulitan. Kecukupan materi tak membuatnya ba...