Ayu tampak menangis di sudut kamar yang mewah, dengan tangan bersedakap di lutut. Isaknya teramat lirih hingga nyaris tanpa suara.
"Ya Allah, kenapa nasibku seperti ini? Kenapa Bapak tega, kenapa?" ratapnya pilu. Beberapa kali ia menyeka air mata yang terus mengalir di pipi. Betapa sakit hatinya saat ini.
"Apa kau ingin menangis di sana sepanjang hari?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke kamarnya. Buru-buru gadis manis itu mengusap air mata dan mendongak menatap wajah Beni.
"Bersihkan wajahmu! Kita akan makan siang dengan kedua anakku," katanya tegas.
"Apa urusannya makan siang dengan anak-anakmu?" tanya Ayu ketus. Suaranya yang serak terdengar seksi, mata yang cantik itu bengkak dan memerah.
"Kau adalah calon ibu bagi mereka, jadi harus belajar mengenal mereka!" perintahnya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana.
"Mengapa kau pilih aku? Kita tidak saling kenal. Mengapa kau buat aku seperti ini," cecar Ayu berapi-api. Air mata kembali menetes di pipi, ia memandang wajah Beni dengan tatapan sendu beralaskan kesedihan.
"Karena Bapakmu itu menjual dirimu padaku. Dengan harga yang tidak murah. Jadi sekarang kalau kamu mau hidup enak, tugasmu hanya nurut. Simple kan?"
"Kau jahat," desis Ayu lirih.
"Iya aku jahat. Karena istri yang kubanggakan meninggalkan luka pada pernikahan kami. Aku jahat karena harus mencarikan ibu pengganti bagi anak-anakku. Pilihanku jatuh padamu," jelasnya marah.
"Jadi karena hidupmu hancur, lalu kau menghancurkan hidupku? Iya?" sergah Ayu tak kalah marah.
"Kau hanya hadir di saat yang salah," jawabnya begitu saja. Beni menatap wajah manis Ayu dengan bengis.
"Wajah gadis sepertimu itu banyak menipu. Kau tahu? Penuh tipu daya, termasuk air mata itu," ucap Beni lagi.
"Apa aku salah ditakdirkan punya wajah seperti ini?" jawab Ayu sendu.
"Yang salah adalah kita dipertemukan, cuma itu salahnya. Sudahlah! Bersiap untuk makan siang di luar dengan anak-anakku. Tunjukkan wajah malaikatmu pada mereka! Kenakan ini!" perintah Beni sambil melempar paper bag ke atas tempat tidur.
"Aku tak sudi," jawab Ayu berani.
"Kalau kau tak sudi, apa yang kau harap dari bapakmu? Dia menjualmu demi kesenangannya. Bukankah kau seharusnya menikmati kehidupan saat ini? Kau hanya tinggal bersikap manis di sini!" kata Beni lagi. Ia tak habis pikir mengapa Ayu masih terlalu keras kepala. Bukankah ia tak pernah berniat menyengsarakan Ayu?
"Aku tunggu di depan, waktumu hanya lima belas menit!" Pria berbadan tegap itu berlalu dan menutup pintu dengan kasar. Ayu hanya bisa mengelus dada, menurut gadis itu, wajah tampan Beni tak cocok dengan sikap ketusnya.
Ayu membuka bungkusan yang dilempar Beni di atas ranjang. Sebuah gaun bermotif tulip tampak indah, dengan panjang lengan sepertiga. Kemudian di lipatan baju terselip perhiasan cantik terbuat dari emas. Dengan tak bergairah ia segera mencuci muka lalu meloloskan riasan sederhana si wajahnya. Kemudian mengenakan gaun yang indah itu.
Gaun itu melekat indah di tubuhnya. Kembali ia mengenakan flat shoes seraya beranjak meninggalkan kamar yang ia tempati. Sesampainya di ruang tamu, Beni sudah menunggunya. Pria itu masih mengenakan baju yang sama, hanya saja kali ini oandnagannya berubah lembut. Ada dua bocah yang sedang bergelayut manja dengannya, laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki ciri rambut yang sama dengan Beni, ikal.
"Nah, itu Ibu Ayu. Salim dulu, ya! Baru kita makan di luar sambil beli es krim," ucap Beni pada kedua bocah itu. Seperti dikomando kedua bocah itu segera berebut untuk menyalami tangan Ayu. Dengan ragu gadis manis itu membiarkan punggung tangannya dikecup. Tak lupa ia menyunggingkan senyum manis pada mereka.
"Ibu Ayu cantik, Pa," ucap bocah laki-laki itu pada Beni.
"Iya, dong. Karena dia cantik makanya Papa suka," jawab Beni lembut. Ia berkali-kali mengusap puncak kepala kedua bocah itu.
"Ayo kita jalan! Nanti kita ngobrol lagi, ya," ucap Beni masih dengan penuh kelembutan. Ayu mengekor saat isyarat mata Beni tujukan padanya. Sebuah kendaraan mewah sudah siap di halaman depan. Beberapa pria mengangguk sopan pada Beni.
"Kalian makan di dapur, ya! Kami akan jalan sampai malam. Ingat, jaga yang bener!" titah Beni pada pria-pria tegap yang menjadi anak buahnya. Tak lupa ia membukakan pintu untuk Ayu. Beni mengemudikan sendiri mobil mewahnya, Ayu duduk di sisinya di bagian depan. Sedangkan anak-anakmu berada di kabin belakang.
"Pemandangan di sini bagus, harusnya kamu bisa lebih menikmatinya!" Beni melontarkan pujian untuk pemandangan, tapi Ayu malah merasakan sebagai perintah untuknya.
"Kalau kamu menikmatinya, pasti kamu akan suka tinggal di sini. Apalagi nanti kau akan lama di sini, bisa jadi selamanya."
Gadis manis berambut sebahu itu hanya diam, pandangannya lurus ke depan. Meski matanya dimanjakan dengan pemandangan indah, tapi hatinya merasa asing dan penuh nestapa saat ini. Apakah ia akan selamanya berada di tempat ini? Bagaimana nasibnya nanti? Apakah Beni memang berniat memperistri, atau jangan-jangan hanya mempermainkan saja?
Terlalu banyak tanya yang bergelayut dalam kepala Ayu. Membuat kepalanya berdenyut nyeri, hingga ia memijit pelipisnya.
"Kenapa? Pusing?" tanya Beni dengan nada suara yang lembut.
"Nggak apa-apa, cuma pusing."
"Ini ada minyak angin. Pakailah!" pinta Beni seraya menyerahkan sebotol mini minyak angin. Sejenak Ayu terdiam, ia merasakan pria yang tengah berada di balik kemudi itu sebenarnya adalah orang baik. Gadis manis berambut sebahu itu dengan ragu meraih botol berwarna putih dari tangan Beni.
Kehidupan Ayu berubah hanya dalam beberapa jam, dari seorang gadis biasa di pagi hari. Kini ia seorang calon istri dari pria kaya dan tampan, juga akan jadi ibu tiri dari kedua bocah yang terlihat lucu itu. Perlahan Ayu mengoleskan minyak angin di pelipis, menghirup aromanya dalam-dalam.
Jika boleh meminta, ia ingin kembali menjadi gadis biasa seperti tadi pagi. Meski ia harus menghadapi kemarahan bapaknya setiap saat.
"Sudah lebih baik?" Pertanyaan Beni membuat Ayu tergagap. Ia tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"I-iya," jawabnya terbata. Tatapan mata Beni berubah teduh saat ia menanyakan keadaan Ayu. Mata yang indah dan kecokelatan dengan bulu mata yang panjang. Ditambah lagi alis lebat bak semut berarak, benar-benar menunjukkan karisma dari seorang Beni.
"Setelah makan kita akan belanja keperluanmu, kita tinggal agak jauh dari kota. Kulihat pakaianmu terlalu sederhana untuk jadi istri Beni Sanjaya. Apalagi beberapa hari ke depan setelah kita menikah, akan banyak tamu yang datang. Nanti akan ada make up artis di rumah, untuk mengajarimu memoles wajah."
Penjelasan Beni benar-benar membuat Ayu makin pusing. Gadis itu tak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya kelak setelah diperistri oleh Beni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara Dalam Pelukan
RomanceAyu adalah seorang gadis yang terpaksa menikah dengan seorang duda beranak dua. Ayahnya terlilit hutang dan menyerahkan Ayu sebagai jaminan. Pernikahan ini bukan impian Ayu, hidupnya mengalir datar tanpa kesulitan. Kecukupan materi tak membuatnya ba...