Situasi yang Tak Menguntungkan

972 50 5
                                    

Sesekali Beni melirik ke spion untuk melihat kedua anaknya, yang tengah tertidur pulas. Kedua bocah itu kelelahan pasca bermain di restoran, rintik hujan bergulir di kaca depan. Wiper perlahan mulai digerakkan untuk menghalau air hujan yang menghalangi pandangan.

Beni untuk kesekian kalinya juga melirik Ayu, gadis manis itu menyangga dagu dengan tangan dan memandang keluar jendela. Memandangi air hujan yang membasahi bumi.

"Capek?" Suara Beni hanya mendapat respon gerakan menggeleng pelan oleh Ayu.

"Plisss, Ay! Have fun, lah sedikit! Kita ini mau bersenang-senang. Lihatlah Hanum dan Hakim, sampek ketiduran karena capek."

"Jangan samakan aku dengan anak-anak! Jika mereka tahu apa sebabnya aku ada di sini, mereka juga tidak mungkin senang," sergah Ayu ketus.

Sejenak ia menatap tajam ke bola mata Beni. Namun gadis itu malah tertunduk. Ia menyesali kata-kata kasarnya barusan. Beni tengah memandang dirinya dengan tatapan lembut, membuat jantung Ayu berdegup tak menentu.

"Nggak, aku nggak boleh luluh dengan tatapan matanya. Dia harimau buas yang nggak punya hati."

"Aku tahu, kita memulai semuanya dengan keliru. Semua penuh dengan salah paham dan amarah. Bagaimana kalau kita mulai dari awal, tanpa amarah. Aku mau kamu nyaman bersama kami, Ay," pinta Beni lirih. Pandangannya lurus ke depan mengawasi dengan saksama riuh jalanan.

"Apa yang bisa kita mulai dengan baik? Bukankah hasil akhirnya akan sama saja? Aku hanya tawanan," desis Ayu tak kalah sengit. Meski suara lembutnya mendayu tapi menusuk bak belati di telinga Beni.

"Terserah! Aku hanya berusaha bersikap lembut padamu. Demi anak-anakku, tapi kalau kau tak bisa menerimanya. Aku tak peduli."

Kali ini giliran Beni yang bersuara keras dan menyentak. Ia putus asa selalu mendapat jawaban yang tak mengenakan dari Ayu. Gadis manis itu meremas tas yang ada di pangkuan. Dia tak menyangka Beni akan membentak dirinya.

Kendaraan roda empat milik Beni perlahan memasuki pelataran parkir hotel megah. Ayu heran mengapa pria itu malah menuju hotel? Bukankah seharusnya mereka ke pusat perbelanjaan?

"Anak-anak sedang tidur. Tidak mungkin kita gendong mereka satu per satu saat belanja. Tunggulah sampai mereka bangun!" perintah Beni tegas.

Seorang petugas parkir mengarahkan laju kendaraan, setelah berhenti dengan sempurna, Beni mengisyaratkan agar Ayu menggendong Hanum. Ayu hanya menurut sambil meraih tubuh mungil Hanum dengan perlahan. Untung saja ia mengenakan dkat shoes, kalau tidak apa jadinya. Meski tubuh Hanum tidak terlalu besar dan berat, tetap saja Ayu perlu perjuangan untuk mengangkat tubuh Hanum.

Beni merasa tak nyaman memerintah Ayu, tapi ia merasa tak mungkin jika harus menggendong kedua bocah itu bersamaan. Belum lagi ia harus melakukan check in.

Ayu mematung tak jauh dari sisi Beni saat pria itu melakukan pembayaran. Bahkan Ayu membantu Beni membuka kancing celana bagian belakang, untuk mengeluarkan dompet. Mereka terlihat serasi, seperti sebuah keluarga.

Sebuah kamar super deluxe dengan balkon menghadap pusat kota, membuat pemandangan dari sini indah. Ayu beberapa kali mencuri pandang ke luar, ini kali pertama dia berada di kamar hotel semewah ini.

"Bagus, ya?" tanya Beni saat merapikan selimut di tubuh kedua anaknya.

"Hu-um," jawab Ayu dengan gumaman. Rintik hujan dan suasana sore, menyajikan nuansa syahdu. Gadis itu tak menyadari jika Beni sudah berdiri di sisinya.

"Aku senang kalau kamu suka, artinya nggak sia-sia uang yang kukeluarkan. Bajumu sedikit basah, pakai saja kimono yang ada di lemari! Aku mau keluar sebentar," ucap Beni seraya memutar tubuhnya menjauh.

"M-mau ke mana?" tanya Ayu ragu.

"Aku mau beli kopi. Jaga anak-anak sebentar, ya!"

Usai memberi perintah, Beni mencabut kunci dan menghilang di balik pintu. Tinggallah Ayu mematung tak mengerti. Namun Beni benar, baju gadis itu sedikit basah terkena tetesan air hujan. Ayu bergegas membuka lemari, ada sepasang kimono berwarna biru langit terlipat rapi. Kemudian mengganti bajunya yang basah.

Setelah menggantung baju, Ayu berbaring di samping Hanum. Bocah perempuan itu terlihat tidur pulas. Ayu merasa ia juga amat mengantuk, sana beberapa menit kemudian ia mengalah pada rasa kantuknya.

***

Beni tersenyum geli saat Ayu begitu saja menerima alasannya hendak membeli kopi. Harusnya Ayu ingat jika ada room service untuk memudahkan minum kopi. Benar-benar gadis yang lugu, pikir Beni. Ia menenteng tas dan keluar dari butik yang terletak di bagian depan hotel. Beni membelikan dress Midi cheongsam berwarna gelap.

Menurut Beni, kulit Ayu bersih. Cocok mengenakan gaun berwarna gelap. Tak lupa ia juga membeli sebuah kemeja untuk dirinya. Karena bajunya juga terkena tetesan air hujan. Dengan sangat hati-hati pria itu memutar handle pintu, terdengar suara televisi, tanpa terlihat keberadaan Ayu.

Beni mengedarkan pandangan dan matanya tertuju pada pemandangan yang menggetarkan kalbu. Ayu tertidur pulas memeluk Hanum. Mata Beni berkaca-kaca, hatinya terharu. Ayu si gadis polos itu tampak menyayangi Hanum, perlahan Beni mendekat dan mengusap puncak kepala putrinya.

"Kamu beruntung, Nak. Papa menemukan orang yang tepat," bisiknya teramat lirih. Kemudian ia juga mengusap pipi ranum Ayu. Jiwa lelakinya bergolak, dadanya naik turu  melihat belahan dada Ayu.

Beni segera mengalihkan pandangan, kemudian beranjak menjauh. Ia tak mau merusak suasana indah ini dengan egoisme lelaki dalam dirinya. Ia ingin Ayu percaya bahwa ia tulus ingin memperistri dan memberikan kehidupan yang baik padanya. Bukan nafsu yang dibalut arogansi. Beni bukan pria jahat, ia hanya berada pada waktu yang keliru.

Ayu menggeliat beberapa kali, gadis itu tak sadar jika gerakannya makin membuat dadanya terbuka lebar. Beni hanya mematung di sisi jendela yang mengarah ke balkon, ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap diam dan acuh pada tubuh Ayu. Ia akan menunggu hingga Ayu bangun.

Sungguh godaan ini luar biasa, pemandangan yang erotis terpampang di depan mata. Sudah satu tahun ini Beni tak menyentuh wanita, hanya demi Hanum dan Hakim ia bertahan. Beni ingin mendapatkan wanita yang benar-benar bisa menyayangi mereka dengan tulus. Meski tak dapat menggantikan ibu kandung mereka.

"Ya Tuhan, tolong aku! Buatlah aku bertahan dan kuat menghadapi ini semua. Aku tak ingin di benci oleh Ayu, hanya karena kenikmatan sesaat. Aku ingin memiliki Ayu dengan jalan yang baik," pinta Beni dalam hati.

Meski matanya berkali-kali melirik Ayu, tapi ia tetap berdiri di tempat semula. Seluruh persendian di tubuhnya menegang, pendingin ruangan seolah tak berfungsi. Ia kegerahan dan segera membuka kancing kemeja di bagian dada. Beni merasa bisa gila jika terus seperti ini. Dengan perlahan ia mendekati tubuh Ayu dan menaikkan selimut untuk menutupi bagian dadanya yang terbuka.

Perlahan dan sangat hati-hati. Beni tak ingin Ayu terbangun dan salah sangka padanya. Kulit bersih yang seketika tampak menyilaukan begitu sempurna, dada ranum yang terbalut bra berwarna cokelat susu itu sangat menggoda.

Beni luruh dan kalah pada dorongan hasratnya. Ia memagut bibir Ayu dengan lembut. Menyentuh pipinya dengan sebelah tangan, kemudian mengusap puncak kepala gadis yang masih terlelap itu. Pria itu memejamkan mata, menikmati setiap inci bibir Ayu yang terasa manis. Menghirup napasnya yang harum, kemudian melumat bibir mungil itu berkali-kali.

"Maafkan aku, Ay! Aku lelaki normal," bisik Beni dalam hati.

Adegan itu seketika berakhir saat Ayu menggeliat dan memiringkan tubuh. Untung saja ia tak terbangun, gerutu Beni. Pria itu mengacak rambutnya sendiri, untuk mengumpulkan kesadaran dan membuang pikirannya yang kotor. Ia harus menyegarkan pikiran. Mungkin mandi bisa membuat akal sehatnya kembali, dan meredam gejolak adik kecilnya.

😁😁😁

Bara Dalam PelukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang